Pendidikan Berbasis Entrepreneurship!
A
A
A
Muhammad Fathan Mubina
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, FISIP UI, Alumni Rumah Kepemimpinan Regional 1 Jakarta
”Nak, kamu itu sudah Nak, kamu itu sudah mengambilmengambil hak berjuta-juta orang dengan duduk di bangku kuliah ini. Maka, setelah kamu lulus, jangan kau hak berjuta-juta orang dengan duduk di bangku kuliah ini. Maka, setelah kamu lulus, jangan kau ambilambil lagi hak mereka di dunia lapangan pekerjaan. Justru kamulah yang harus memberikan hak mereka, dengan membuka lapangan pekerjaan. ” -Nasihat seorang dosen.
Tenaga kerja terdidik bagi sebuah negara merupakan sebuah aset penting yang sangat perlu untuk dijaga dan diperhatikan. Hanya, di negeri kita data riset menyebutkan jumlah penduduk Indonesia yang mendapatkan pendidikan masih sangat kecil. Jauh lebih sedikit ketimbang jumlah penduduk Indonesia yang tidak berpendidikan.
Sampai saat ini tidak lebih dari 8% anak bangsa ini yang dapat menikmati bangku kuliah. Artinya, hanya satu dari 12 orang di Indonesia yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan ilmu di jenjang sarjana. Sayangnya dari 8% tenaga kerja terdidik yang ada di Indonesia tersebut sebagian besar dari mereka justru saling memperebutkan lapangan kerja yang semakin hari semakin sedikit. Padahal, jumlah entrepreneur atau pengusaha di negeri ini masih kurang dari 2% saja.
Dalam beberapa waktu ke depan, kita akan menghadapi banyak sekali momentum yang akan memiliki pengaruh besar terhadap keberlangsungan negeri kita ini. Pada ujung 2015 nanti kita akan menghadapi sebuah upaya perwujudan komunitas ekonomi level Asia Tenggara, yang berarti dalam kacamata ekonomi tenaga kerja kita akan bersaing dengan tenaga dari seluruh Asia Tenggara.
Beberapa peneliti demografis menyebutkan bahwa pada 2035 negara ini akan mendapatkan puncak bonus demografisnya. Bonus demografis adalah periode ketika lebih dari separuh penduduk bangsa ini berada dalam usia produktifnya. Kondisi tersebut tentu tidak sehat. Kita melihat pengangguran tidak terdidik yang harus bersaing dengan tenaga kerja terdidik yang mengeluarkan jutaan sarjana baru setiap tahunnya.
Jutaan sarjana baru tersebut ”mengambil hak” pekerjaan dari orang-orang di luar mereka sementara seharusnya mereka menjadi pembuka lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang tidak menikmati pendidikan seperti mereka. Menjalankan sistem pendidikan dengan berbasis entrepreneurship adalah sebuah langkah mendasar yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut di masa depan.
Setiap mahasiswa yang keluar dari kampusnya dan mendapatkan gelar sarjana perlu untuk memahami bahwa mereka memiliki beban moral untuk membuka lapangan kerja bagi orang-orang yang tidak mendapatkan pendidikan seperti mereka. Kurikulum berbasis entrepreneurship ini sebetulnya bukan hal baru di dunia pendidikan.
Negara-negara dengan tingkat pendidikan yang maju seperti Jepang dan beberapa negara Eropa juga sudah menerapkannya dalam dunia pendidikan mereka. Mungkin dampaknya tidak akan dengan cepat dirasakan, akan tetapi perlu kita sadari bahwa panggung pertarungan bangsa ini masih menunggu di depan.
Bagi sebuah negara yang mendapatkan bonus demografis, mereka memiliki dua kemungkinan; muncul sebagai sebuah negara berhasil yang mampu mengelola tenaga kerja produktif mereka, atau jatuh sebagai failed state di mana pengangguran semakin banyak karena bonus demografis tidak diiringi terbukanya lahan pekerjaan bagi mereka. Tidak ada kata terlambat, mari berwirausaha!
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, FISIP UI, Alumni Rumah Kepemimpinan Regional 1 Jakarta
”Nak, kamu itu sudah Nak, kamu itu sudah mengambilmengambil hak berjuta-juta orang dengan duduk di bangku kuliah ini. Maka, setelah kamu lulus, jangan kau hak berjuta-juta orang dengan duduk di bangku kuliah ini. Maka, setelah kamu lulus, jangan kau ambilambil lagi hak mereka di dunia lapangan pekerjaan. Justru kamulah yang harus memberikan hak mereka, dengan membuka lapangan pekerjaan. ” -Nasihat seorang dosen.
Tenaga kerja terdidik bagi sebuah negara merupakan sebuah aset penting yang sangat perlu untuk dijaga dan diperhatikan. Hanya, di negeri kita data riset menyebutkan jumlah penduduk Indonesia yang mendapatkan pendidikan masih sangat kecil. Jauh lebih sedikit ketimbang jumlah penduduk Indonesia yang tidak berpendidikan.
Sampai saat ini tidak lebih dari 8% anak bangsa ini yang dapat menikmati bangku kuliah. Artinya, hanya satu dari 12 orang di Indonesia yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan ilmu di jenjang sarjana. Sayangnya dari 8% tenaga kerja terdidik yang ada di Indonesia tersebut sebagian besar dari mereka justru saling memperebutkan lapangan kerja yang semakin hari semakin sedikit. Padahal, jumlah entrepreneur atau pengusaha di negeri ini masih kurang dari 2% saja.
Dalam beberapa waktu ke depan, kita akan menghadapi banyak sekali momentum yang akan memiliki pengaruh besar terhadap keberlangsungan negeri kita ini. Pada ujung 2015 nanti kita akan menghadapi sebuah upaya perwujudan komunitas ekonomi level Asia Tenggara, yang berarti dalam kacamata ekonomi tenaga kerja kita akan bersaing dengan tenaga dari seluruh Asia Tenggara.
Beberapa peneliti demografis menyebutkan bahwa pada 2035 negara ini akan mendapatkan puncak bonus demografisnya. Bonus demografis adalah periode ketika lebih dari separuh penduduk bangsa ini berada dalam usia produktifnya. Kondisi tersebut tentu tidak sehat. Kita melihat pengangguran tidak terdidik yang harus bersaing dengan tenaga kerja terdidik yang mengeluarkan jutaan sarjana baru setiap tahunnya.
Jutaan sarjana baru tersebut ”mengambil hak” pekerjaan dari orang-orang di luar mereka sementara seharusnya mereka menjadi pembuka lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang tidak menikmati pendidikan seperti mereka. Menjalankan sistem pendidikan dengan berbasis entrepreneurship adalah sebuah langkah mendasar yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut di masa depan.
Setiap mahasiswa yang keluar dari kampusnya dan mendapatkan gelar sarjana perlu untuk memahami bahwa mereka memiliki beban moral untuk membuka lapangan kerja bagi orang-orang yang tidak mendapatkan pendidikan seperti mereka. Kurikulum berbasis entrepreneurship ini sebetulnya bukan hal baru di dunia pendidikan.
Negara-negara dengan tingkat pendidikan yang maju seperti Jepang dan beberapa negara Eropa juga sudah menerapkannya dalam dunia pendidikan mereka. Mungkin dampaknya tidak akan dengan cepat dirasakan, akan tetapi perlu kita sadari bahwa panggung pertarungan bangsa ini masih menunggu di depan.
Bagi sebuah negara yang mendapatkan bonus demografis, mereka memiliki dua kemungkinan; muncul sebagai sebuah negara berhasil yang mampu mengelola tenaga kerja produktif mereka, atau jatuh sebagai failed state di mana pengangguran semakin banyak karena bonus demografis tidak diiringi terbukanya lahan pekerjaan bagi mereka. Tidak ada kata terlambat, mari berwirausaha!
(ars)