E-commerce: Masa Depan Ekonomi
A
A
A
Dina Amalia Puspa
Mahasiswi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Mungkin banyak dari Anda yang pernah menggunakan jasa angkut Gojek, membeli baju Lebaran di Zalora, mencicil kamera terbaru di Lazada, atau sekadar belanja online. Perdagangan elektronik atau ecommerce memang kian marak.
Hal ini didukung oleh makin meleknya rakyat Indonesia terhadap internet. Parminder Singh, managing director Twitter untuk kawasan Asia, mengemukakan pendapatnya tentang alasan pertumbuhan internet Indonesia yang begitu tinggi. Indonesia saat ini tengah menghadapi bonus demografi, artinya jumlah usia produktif lebih banyak.
Pertumbuhan usia produktif di Indonesia bisa mencapai 280 juta orang pada 2030. Anak-anak muda ini umumnya masuk ke dalam kelas konsumen dan begitu mobile. Jika ada satu hal yang mereka inginkan, itu adalah konektivitas (melalui internet). Hal ini ikut mendongrak potensi pengembangan ecommerce Indonesia. Namun kita belumlah matang.
Jika menginginkan pertumbuhan e-commerce yang maksimal, tiga masalah berikut harus segera diselesaikan. Pertama, regulasi pemerintah. Hingga kini ecommerce masuk dalam Daftar Negatif Investasi, artinya investor luar dilarang memberi suntikan modal. Akibatnya investor yang ingin memberikan investasi biasanya memberikan dana dalam bentuk utang.
Negara pun tidak mendapat penerimaan pajak karena perusahaan e-commerce tidak mencatat laba. Kedua, sistem pembayaran. Mayoritas transaksi ecommerce masih berbasis kas dan sistem pembayaran belum terintegrasi. Tingkat pemilik tabungan di Indonesia belum merata (terutama di desa-desa), kartu kredit apalagi.
Para pelaku usaha e-commerce harus menyadari hal ini. Edukasi kepada masyarakat harus digencarkan. Ketiga, infrastruktur, baik kondisi jalan maupun internet. Sebagaimana dikutip dari Techinasia , pada 2015 Lazada menyatakan 60% konsumen mereka berada di luar Jakarta dengan 20% berada di luar Jawa. Adapun di Tokopedia, walaupun 60% vendor berasal dari Jawa, 60% barang dikirim ke luar Jawa.
Pembangunan di Indonesia belum merata, termasuk jalanannya. Jika jalanan buruk, pengiriman barang transaksi ecommerce pun terhambat. Berkembangnya e-commerce akan memiliki multiplier effect, antara lain mengurangi pengangguran, memajukan bisnis logistik, dan memperkuat sektor elektronik lainnya. Peluang emas ini tidak boleh kita lewatkan.
Mungkin benar jika Redwing Asia menjuluki ecommerce Indonesia sebagai “a Big Bang waiting to happen”. Bisa dibilang, e-commerce adalah masa depan ekonomi Indonesia.
Mahasiswi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Mungkin banyak dari Anda yang pernah menggunakan jasa angkut Gojek, membeli baju Lebaran di Zalora, mencicil kamera terbaru di Lazada, atau sekadar belanja online. Perdagangan elektronik atau ecommerce memang kian marak.
Hal ini didukung oleh makin meleknya rakyat Indonesia terhadap internet. Parminder Singh, managing director Twitter untuk kawasan Asia, mengemukakan pendapatnya tentang alasan pertumbuhan internet Indonesia yang begitu tinggi. Indonesia saat ini tengah menghadapi bonus demografi, artinya jumlah usia produktif lebih banyak.
Pertumbuhan usia produktif di Indonesia bisa mencapai 280 juta orang pada 2030. Anak-anak muda ini umumnya masuk ke dalam kelas konsumen dan begitu mobile. Jika ada satu hal yang mereka inginkan, itu adalah konektivitas (melalui internet). Hal ini ikut mendongrak potensi pengembangan ecommerce Indonesia. Namun kita belumlah matang.
Jika menginginkan pertumbuhan e-commerce yang maksimal, tiga masalah berikut harus segera diselesaikan. Pertama, regulasi pemerintah. Hingga kini ecommerce masuk dalam Daftar Negatif Investasi, artinya investor luar dilarang memberi suntikan modal. Akibatnya investor yang ingin memberikan investasi biasanya memberikan dana dalam bentuk utang.
Negara pun tidak mendapat penerimaan pajak karena perusahaan e-commerce tidak mencatat laba. Kedua, sistem pembayaran. Mayoritas transaksi ecommerce masih berbasis kas dan sistem pembayaran belum terintegrasi. Tingkat pemilik tabungan di Indonesia belum merata (terutama di desa-desa), kartu kredit apalagi.
Para pelaku usaha e-commerce harus menyadari hal ini. Edukasi kepada masyarakat harus digencarkan. Ketiga, infrastruktur, baik kondisi jalan maupun internet. Sebagaimana dikutip dari Techinasia , pada 2015 Lazada menyatakan 60% konsumen mereka berada di luar Jakarta dengan 20% berada di luar Jawa. Adapun di Tokopedia, walaupun 60% vendor berasal dari Jawa, 60% barang dikirim ke luar Jawa.
Pembangunan di Indonesia belum merata, termasuk jalanannya. Jika jalanan buruk, pengiriman barang transaksi ecommerce pun terhambat. Berkembangnya e-commerce akan memiliki multiplier effect, antara lain mengurangi pengangguran, memajukan bisnis logistik, dan memperkuat sektor elektronik lainnya. Peluang emas ini tidak boleh kita lewatkan.
Mungkin benar jika Redwing Asia menjuluki ecommerce Indonesia sebagai “a Big Bang waiting to happen”. Bisa dibilang, e-commerce adalah masa depan ekonomi Indonesia.
(ars)