Etika Politik Tak Lagi Relevan?
A
A
A
Partai Amanat Nasional (PAN) membuat langkah politik yang cukup mengejutkan. Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan mendeklarasikan partai yang dipimpinnya bergabung dengan pemerintah.
Zulkifli, yang juga merupakan Ketua MPR, mengatakan bahwa jika sebelumnya posisi PAN adalah mendukung pemerintah saat ini secara resmi posisinya bergabung untuk menyukseskan program-program pemerintah. Langkah PAN bergabung ke pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) disampaikan langsung oleh Zulkifli di Istana dengan didampingi Presiden Jokowi, Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN Sutrisno Bachir, Sekjen PAN Eddy Soeparno, Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto serta Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki.
Namun, langkah PAN ini sebenarnya akan menjadi tidak terlalu mengejutkan kalau kita memperhatikan berbagai pertanda kedekatan partai ini dengan Presiden Jokowi. PAN terlihat memberikan beberapa pertanda bahwa akan merapat ke pemerintah. Di lain sisi, PAN terlihat cenderung tidak sepenuh hati berada di dalam gerbong Koalisi Merah Putih (KMP) setelah kemenangan Jokowi-JK.
Bahkan mantan ketua Fraksi PAN di DPR, Tjatur Sapto Edy, menyatakan dirinya sudah sejak lama memprediksi bahwa PAN akan menyeberang ke pemerintah dari KMP. PAN terlihat sangat menikmati perannya sebagai partai yang dianggap menentukan. Selama ini dalam perpolitikan Indonesia bisa kita lihat posisi tersebut selalu diambil oleh Golkar.
Namun, perpecahan yang tak kunjung selesai di partai yang disebut terakhir membuatnya tidak menjadi hitungan utama dalam penyeimbangan kekuatan yang dilakukan oleh Jokowi-JK dalam rangka mengamankan pemerintahannya. Namun, di tengah dinamika ini ada satu hal yang jelas menjadi ganjalan besar di ranah politik negeri ini, yaitu kian terkikisnya etika politik atau sering disebut sebagai fatsoen politik.
Terlihat sekali bahwa kepentingan menghalalkan proses apa pun banyak diambil dalam politik. Konsep the end justify the means dipertontonkan dengan semarak di dalam perpolitikan negeri ini. Apakah etika politik sudah tak lagi relevan? Memang, politik itu seni yang berbicara masalah kepentingan dan kekuasaan.
Kedua hal tersebut selalu menjadi pertimbangan akhir dalam langkah politik. Namun, sekalipun terkesan sangat longgar, dunia politik selalu punya fatsoen yang diwarnai oleh budaya dan kearifan lokal tiap negara. Salah satu etika politik yang mewarnai negeri ini adalah kesetiaan dan kejelasan dalam bersikap. Keduanya lenyap tak bersisa dalam aksi politik mutakhir PAN ini.
Jika fatsoen politik ini lenyap, maka politik negeri ini akan mencapai fase yang mengkhawatirkan. Tidak ada lagi suatu nilai yang bisa dipegang di dalam politik di sini. Segala hal buruk bisa terjadi karena kecurigaan akan membubung tinggi dalam setiap aksi politik. Konsep politik sebagai mekanisme manajemen konflik akan sia-sia karena semua pelaku politik akan larut dalam saling curiga.
Memang, langkah PAN bisa saja dirasionalisasi dalam sudut pandang menguatkan pemerintahan seperti yang didengungkan selama ini, tapi tentu masyarakat tidak sedemikian polosnya untuk menerimanya mentah-mentah. Kita bisa lihat tokoh yang ditahbiskan sebagai Bapak Reformasi, Amien Rais, mengeluarkan segala bentuk ilmu politik sebagai guru besar ilmu politik serta praktisi politik.
Dalam pepatah, sampai berbusa-busa, menjelaskan rasionalisasi langkah yang diambil PAN. Namun bisa dikatakan bahwa publik tetap saja memandang miring langkah tersebut, sekalipun sang Ketua Dewan Kehormatan PAN berusaha keras menjelaskannya. Bagi-bagi kekuasaan langsung menjadi tudingan utama. Partai politik perlu ingat, dalam berkomunikasi dengan publik hal yang utama bukanlah bagaimana memenangkan perdebatan mengenai langkah yang diambil, melainkan bagaimana memenangkan hati publik.
Orang terpintar dalam politik hampir pasti selalu bisa memenangkan perdebatan di ruang publik, namun jika semua argumen yang dilontarkan tak mampu mengambil hati publik maka semuanya hanyalah buih-buih di udara.
Zulkifli, yang juga merupakan Ketua MPR, mengatakan bahwa jika sebelumnya posisi PAN adalah mendukung pemerintah saat ini secara resmi posisinya bergabung untuk menyukseskan program-program pemerintah. Langkah PAN bergabung ke pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) disampaikan langsung oleh Zulkifli di Istana dengan didampingi Presiden Jokowi, Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN Sutrisno Bachir, Sekjen PAN Eddy Soeparno, Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto serta Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki.
Namun, langkah PAN ini sebenarnya akan menjadi tidak terlalu mengejutkan kalau kita memperhatikan berbagai pertanda kedekatan partai ini dengan Presiden Jokowi. PAN terlihat memberikan beberapa pertanda bahwa akan merapat ke pemerintah. Di lain sisi, PAN terlihat cenderung tidak sepenuh hati berada di dalam gerbong Koalisi Merah Putih (KMP) setelah kemenangan Jokowi-JK.
Bahkan mantan ketua Fraksi PAN di DPR, Tjatur Sapto Edy, menyatakan dirinya sudah sejak lama memprediksi bahwa PAN akan menyeberang ke pemerintah dari KMP. PAN terlihat sangat menikmati perannya sebagai partai yang dianggap menentukan. Selama ini dalam perpolitikan Indonesia bisa kita lihat posisi tersebut selalu diambil oleh Golkar.
Namun, perpecahan yang tak kunjung selesai di partai yang disebut terakhir membuatnya tidak menjadi hitungan utama dalam penyeimbangan kekuatan yang dilakukan oleh Jokowi-JK dalam rangka mengamankan pemerintahannya. Namun, di tengah dinamika ini ada satu hal yang jelas menjadi ganjalan besar di ranah politik negeri ini, yaitu kian terkikisnya etika politik atau sering disebut sebagai fatsoen politik.
Terlihat sekali bahwa kepentingan menghalalkan proses apa pun banyak diambil dalam politik. Konsep the end justify the means dipertontonkan dengan semarak di dalam perpolitikan negeri ini. Apakah etika politik sudah tak lagi relevan? Memang, politik itu seni yang berbicara masalah kepentingan dan kekuasaan.
Kedua hal tersebut selalu menjadi pertimbangan akhir dalam langkah politik. Namun, sekalipun terkesan sangat longgar, dunia politik selalu punya fatsoen yang diwarnai oleh budaya dan kearifan lokal tiap negara. Salah satu etika politik yang mewarnai negeri ini adalah kesetiaan dan kejelasan dalam bersikap. Keduanya lenyap tak bersisa dalam aksi politik mutakhir PAN ini.
Jika fatsoen politik ini lenyap, maka politik negeri ini akan mencapai fase yang mengkhawatirkan. Tidak ada lagi suatu nilai yang bisa dipegang di dalam politik di sini. Segala hal buruk bisa terjadi karena kecurigaan akan membubung tinggi dalam setiap aksi politik. Konsep politik sebagai mekanisme manajemen konflik akan sia-sia karena semua pelaku politik akan larut dalam saling curiga.
Memang, langkah PAN bisa saja dirasionalisasi dalam sudut pandang menguatkan pemerintahan seperti yang didengungkan selama ini, tapi tentu masyarakat tidak sedemikian polosnya untuk menerimanya mentah-mentah. Kita bisa lihat tokoh yang ditahbiskan sebagai Bapak Reformasi, Amien Rais, mengeluarkan segala bentuk ilmu politik sebagai guru besar ilmu politik serta praktisi politik.
Dalam pepatah, sampai berbusa-busa, menjelaskan rasionalisasi langkah yang diambil PAN. Namun bisa dikatakan bahwa publik tetap saja memandang miring langkah tersebut, sekalipun sang Ketua Dewan Kehormatan PAN berusaha keras menjelaskannya. Bagi-bagi kekuasaan langsung menjadi tudingan utama. Partai politik perlu ingat, dalam berkomunikasi dengan publik hal yang utama bukanlah bagaimana memenangkan perdebatan mengenai langkah yang diambil, melainkan bagaimana memenangkan hati publik.
Orang terpintar dalam politik hampir pasti selalu bisa memenangkan perdebatan di ruang publik, namun jika semua argumen yang dilontarkan tak mampu mengambil hati publik maka semuanya hanyalah buih-buih di udara.
(ars)