Jaga Rumah Majikan, Kakek Malah Jadi Tersangka
A
A
A
DEPOK - Maksud hati menjaga dan merawat rumah milik Herawati, seorang kakek malah berurusan dengan hukum.
Abdul Munir, 70, dituduh ingin menguasai rumah tersebut. Kisah memilukan itu bermula ketika Munir diminta menjaga rumah Herawati di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, namun dia hanya dibayar seikhlasnya. Meski diupah seadanya, Munir tetap mengiyakan saat diminta kembali menjaga rumah Herawati di Perumahan Bambu Kuning, Bojong Gede. Bedanya kali ini dia tidak mendapatkan bayaran.
Dalam perjanjian lisan, Herawati memperbolehkan Munir untuk tinggal di rumahnya. Munir pun memperbaiki rumah yang dihuninya itu karena saat ditempati rumah dalam kondisi kurang layak. Tiba waktunya pada awal 2013 dia diminta keluar dari rumah Herawati. ”Tapi, saya belum dikasih uang bayaran. Saya tetap minta, tapi dia enggak kasihkasih,” ujar Munir di Pengadilan Negeri (PN) Depok kemarin.
Dia sudah berupaya menemui Herawati secara baikbaik, namun selalu ditolak. Kemudian akhir 2013 dia mendapat surat panggilan dari Polsek Tonjong, Bojong Gede terkait dugaan penguasaan rumah milik Herawati. ”Saya empat kali diperiksa. Polisi juga nekan saya, tapi setelah saya jelaskan baru polisi agak melunak,” katanya.
Polisi bahkan berupaya memediasi kedua belah pihak. Herawati juga dipanggil, tapi dia seolah tidak ada niat baik. ”Dipanggil pukul 11.00 baru datang pukul 22.30 WIB. Ini kan nyiksa namanya,” ucap Munir. Dia mengaku tidak terima dituduh sebagai tersangka dan dikenakan Pasal 167 KUHP karena memasuki pekarangan rumah tanpa izin pemiliknya.
Dia memang diminta untuk menjaga rumah Herawati, tapi tahu-tahu sekarang dituduh memasuki tanpa izin. ”Saya enggak dibayar selama bertahun-tahun sekarang malah dituduh seperti ini,” katanya. Kini Munir berupaya mencari keadilan dengan mengajukan praperadilan. Dia bersikukuh tidak merasa bersalah karena apa yang dituduhkan Herawati sangat tidak beralasan. ”Saya ingin ada titik terang. Hak saya tidak dibayarkan, malah saya dituduh begini,” ujarnya.
Kuasa hukum Munir, Eko Hariadi Sembiring dari LBH Jakarta, mengatakan, penetapan status tersangka dalam kasus ini dianggap janggal dan tidak beralasan secara hukum. Munir diancam Pasal 167 KUHP dengan ancaman sembilan bulan penjara. ”Seharusnya polisi melacak secara historis antara Ibu Herawati dengan Pak Munir. Penetapan ini tidak beralasan secara hukum,” ungkapnya.
Dalam menetapkan tersangka, polisi dianggap tidak spesifik sebab dalam pasal tersebut ada empat ayat yang seharusnya bisa ditelaah secara detail. ”Beliau hanya disangkakan dengan Pasal 167, padahal ada empatayatdidalamnya,” katanya.
Psikolog Universitas Pancasila Aully Grashinta menilai kasus yang menimpa Munir sebagai konflik kepentingan saja. Seharusnya polisi dapat menyelidiki kebenaran keterangan masingmasing pihak. ”Jika alat bukti kuat, kan baru diajukan ,” ujarnya. Menurut dia, kebenaran harus tetap diungkap, termasuk motif Herawati melaporkan Munir ke polisi. Terlebih perjanjian keduanya sebatas lisan.
Ironisnya, kondisi ini sering terjadi di sebagian besar masyarakat Indonesia. ”Hanya berdasarkan kepercayaan lisan saja. Ketidaktahuan terhadap hukum yang membuat orang seperti Pak Munir menjadi tidak berdaya,” katanya.
Lemahnya posisi Munir karena tidak ada perjanjian resmi. Kalau didalami dengan baik, kasus ini tidak perlu sampai masuk jalur pengadilan. ”Ini bisa diselesaikan tanpa jalur hukum. Polisi yang menerima laporan harus bisa menelaah,” ucap Shinta.
R ratna purnama
Abdul Munir, 70, dituduh ingin menguasai rumah tersebut. Kisah memilukan itu bermula ketika Munir diminta menjaga rumah Herawati di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, namun dia hanya dibayar seikhlasnya. Meski diupah seadanya, Munir tetap mengiyakan saat diminta kembali menjaga rumah Herawati di Perumahan Bambu Kuning, Bojong Gede. Bedanya kali ini dia tidak mendapatkan bayaran.
Dalam perjanjian lisan, Herawati memperbolehkan Munir untuk tinggal di rumahnya. Munir pun memperbaiki rumah yang dihuninya itu karena saat ditempati rumah dalam kondisi kurang layak. Tiba waktunya pada awal 2013 dia diminta keluar dari rumah Herawati. ”Tapi, saya belum dikasih uang bayaran. Saya tetap minta, tapi dia enggak kasihkasih,” ujar Munir di Pengadilan Negeri (PN) Depok kemarin.
Dia sudah berupaya menemui Herawati secara baikbaik, namun selalu ditolak. Kemudian akhir 2013 dia mendapat surat panggilan dari Polsek Tonjong, Bojong Gede terkait dugaan penguasaan rumah milik Herawati. ”Saya empat kali diperiksa. Polisi juga nekan saya, tapi setelah saya jelaskan baru polisi agak melunak,” katanya.
Polisi bahkan berupaya memediasi kedua belah pihak. Herawati juga dipanggil, tapi dia seolah tidak ada niat baik. ”Dipanggil pukul 11.00 baru datang pukul 22.30 WIB. Ini kan nyiksa namanya,” ucap Munir. Dia mengaku tidak terima dituduh sebagai tersangka dan dikenakan Pasal 167 KUHP karena memasuki pekarangan rumah tanpa izin pemiliknya.
Dia memang diminta untuk menjaga rumah Herawati, tapi tahu-tahu sekarang dituduh memasuki tanpa izin. ”Saya enggak dibayar selama bertahun-tahun sekarang malah dituduh seperti ini,” katanya. Kini Munir berupaya mencari keadilan dengan mengajukan praperadilan. Dia bersikukuh tidak merasa bersalah karena apa yang dituduhkan Herawati sangat tidak beralasan. ”Saya ingin ada titik terang. Hak saya tidak dibayarkan, malah saya dituduh begini,” ujarnya.
Kuasa hukum Munir, Eko Hariadi Sembiring dari LBH Jakarta, mengatakan, penetapan status tersangka dalam kasus ini dianggap janggal dan tidak beralasan secara hukum. Munir diancam Pasal 167 KUHP dengan ancaman sembilan bulan penjara. ”Seharusnya polisi melacak secara historis antara Ibu Herawati dengan Pak Munir. Penetapan ini tidak beralasan secara hukum,” ungkapnya.
Dalam menetapkan tersangka, polisi dianggap tidak spesifik sebab dalam pasal tersebut ada empat ayat yang seharusnya bisa ditelaah secara detail. ”Beliau hanya disangkakan dengan Pasal 167, padahal ada empatayatdidalamnya,” katanya.
Psikolog Universitas Pancasila Aully Grashinta menilai kasus yang menimpa Munir sebagai konflik kepentingan saja. Seharusnya polisi dapat menyelidiki kebenaran keterangan masingmasing pihak. ”Jika alat bukti kuat, kan baru diajukan ,” ujarnya. Menurut dia, kebenaran harus tetap diungkap, termasuk motif Herawati melaporkan Munir ke polisi. Terlebih perjanjian keduanya sebatas lisan.
Ironisnya, kondisi ini sering terjadi di sebagian besar masyarakat Indonesia. ”Hanya berdasarkan kepercayaan lisan saja. Ketidaktahuan terhadap hukum yang membuat orang seperti Pak Munir menjadi tidak berdaya,” katanya.
Lemahnya posisi Munir karena tidak ada perjanjian resmi. Kalau didalami dengan baik, kasus ini tidak perlu sampai masuk jalur pengadilan. ”Ini bisa diselesaikan tanpa jalur hukum. Polisi yang menerima laporan harus bisa menelaah,” ucap Shinta.
R ratna purnama
(ftr)