Merdeka dari Konsumerisme
A
A
A
Mochammad Iqbal Tawakal
Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Memasuki umurnya yang ke-70 tahun, Indonesia sedang menghadapi tantangan multidimensi lintas zaman yang cukup serius.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta gempuran globalisasi adalah beberapa contoh di mana sebuah bangsa, seperti Indonesia, sedang berinteraksi dengan pusatpusat perkembangan zaman di dunia.
Salah satu aspek yang secara gamblang langsung dirasakan dampaknya adalah perubahan pola dan gaya hidup. Gaya hidup merupakan aspek interaksi sosial sehari-hari yang sangat dekat dengan masyarakat kita.
Gaya hidup meliputi bagaimana kita berinteraksi dalam mencukupi berbagai kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan sandang, pangan, papan, dan teknologi komunikasi. Dewasa ini kita secara langsung dapat merasakan, orientasi terdapat kebutuhan-kebutuhan tersebut sedang mengalami pergeseran dan perubahan nilai-nilai mendasar.
Mantan ketua KPK Busyro Muqoddas dalam suatu kesempatan pernah bercerita mengenai sebuah penelitian yang menyatakan bahwa kualitas dosen dan mahasiswa Indonesia kini berada pada posisi yang paling rendah di Asia Tenggara. Sementara itu, pembangunan pusat- pusat perbelanjaan di kota-kota besar di Indonesia adalah catatan angka yang terbesar dan paling pesat di dunia.
Ini menunjukkan, minat dan orientasi pembangunan nasional dalam aspek peningkatan kualitas manusia berbanding terbalik dengan angka perkembangan gaya hidup masyarakat yang semakin tinggi. Masyarakat kini terdidik dengan satu doktrin baru yang berbunyi ”Saya membeli maka saya ada”.
Kemampuan seseorang dalam membeli suatu produk tertentu dapat menentukan status sosialnya di masyarakat. Seseorang boleh jadi beranggapan bukan bagian dari apa yang disebut dengan ”modern”, jika melewatkan hiruk- pikuk kepemilikan sebuah barang mewah dan berharga. Status sosial tersebut kini dikejar dan penting. Eksistensi manusia dinilai dari sejauh mana kemampuan mereka dalam menjadi ”modern” dengan membeli.
Perilaku konsumtif ini bertentangan dengan apa yang seharusnya diperjuangkan masyarakat suatu bangsa yang merdeka. Pasalnya, masyarakat akan melakukan apa saja untuk memperoleh yang diinginkannya. Masyarakat terjebak dengan janji-janji manis produk kapitalisme yang terus menggempur sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai yang ditawarkan mampu menjerumuskan masyarakat pada jebakan hedonisme yang berorientasi pada materi belaka. Secara tidak langsung, aspek kemanusiaan kita tengah memudar. Hedonisme tersebut telah menghilangkan kesadaran solidaritas kolektif kita. Gaya hidup konsumtif tersebut dapat direduksi dengan tiga langkah. Pertama, masyarakat perlu menempatkan diri sebagai penyedia, bukan lagi penikmat konten.
Produktivitas dan kreativitas menjadi kunci dalam upaya menyajikan produk dan memberikan nilai tambah. Kedua, kita harus mampu berpikir jernih dalam membuat keputusan antara apa yang kita inginkan dan apa yang kita perlukan.
Ketiga, pemerintah perlu segera mendorong geliat perekonomian mikro dan merangsang pertumbuhan ekonomi kreatif. Badan Ekonomi Kreatif yang telah dibentuk perlu bergegas dalam menyelesaikan agenda dan tugas-tugasnya.
Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Memasuki umurnya yang ke-70 tahun, Indonesia sedang menghadapi tantangan multidimensi lintas zaman yang cukup serius.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta gempuran globalisasi adalah beberapa contoh di mana sebuah bangsa, seperti Indonesia, sedang berinteraksi dengan pusatpusat perkembangan zaman di dunia.
Salah satu aspek yang secara gamblang langsung dirasakan dampaknya adalah perubahan pola dan gaya hidup. Gaya hidup merupakan aspek interaksi sosial sehari-hari yang sangat dekat dengan masyarakat kita.
Gaya hidup meliputi bagaimana kita berinteraksi dalam mencukupi berbagai kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan sandang, pangan, papan, dan teknologi komunikasi. Dewasa ini kita secara langsung dapat merasakan, orientasi terdapat kebutuhan-kebutuhan tersebut sedang mengalami pergeseran dan perubahan nilai-nilai mendasar.
Mantan ketua KPK Busyro Muqoddas dalam suatu kesempatan pernah bercerita mengenai sebuah penelitian yang menyatakan bahwa kualitas dosen dan mahasiswa Indonesia kini berada pada posisi yang paling rendah di Asia Tenggara. Sementara itu, pembangunan pusat- pusat perbelanjaan di kota-kota besar di Indonesia adalah catatan angka yang terbesar dan paling pesat di dunia.
Ini menunjukkan, minat dan orientasi pembangunan nasional dalam aspek peningkatan kualitas manusia berbanding terbalik dengan angka perkembangan gaya hidup masyarakat yang semakin tinggi. Masyarakat kini terdidik dengan satu doktrin baru yang berbunyi ”Saya membeli maka saya ada”.
Kemampuan seseorang dalam membeli suatu produk tertentu dapat menentukan status sosialnya di masyarakat. Seseorang boleh jadi beranggapan bukan bagian dari apa yang disebut dengan ”modern”, jika melewatkan hiruk- pikuk kepemilikan sebuah barang mewah dan berharga. Status sosial tersebut kini dikejar dan penting. Eksistensi manusia dinilai dari sejauh mana kemampuan mereka dalam menjadi ”modern” dengan membeli.
Perilaku konsumtif ini bertentangan dengan apa yang seharusnya diperjuangkan masyarakat suatu bangsa yang merdeka. Pasalnya, masyarakat akan melakukan apa saja untuk memperoleh yang diinginkannya. Masyarakat terjebak dengan janji-janji manis produk kapitalisme yang terus menggempur sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai yang ditawarkan mampu menjerumuskan masyarakat pada jebakan hedonisme yang berorientasi pada materi belaka. Secara tidak langsung, aspek kemanusiaan kita tengah memudar. Hedonisme tersebut telah menghilangkan kesadaran solidaritas kolektif kita. Gaya hidup konsumtif tersebut dapat direduksi dengan tiga langkah. Pertama, masyarakat perlu menempatkan diri sebagai penyedia, bukan lagi penikmat konten.
Produktivitas dan kreativitas menjadi kunci dalam upaya menyajikan produk dan memberikan nilai tambah. Kedua, kita harus mampu berpikir jernih dalam membuat keputusan antara apa yang kita inginkan dan apa yang kita perlukan.
Ketiga, pemerintah perlu segera mendorong geliat perekonomian mikro dan merangsang pertumbuhan ekonomi kreatif. Badan Ekonomi Kreatif yang telah dibentuk perlu bergegas dalam menyelesaikan agenda dan tugas-tugasnya.
(ars)