Kutu Buku untuk Kemerdekaan

Senin, 31 Agustus 2015 - 10:38 WIB
Kutu Buku untuk Kemerdekaan
Kutu Buku untuk Kemerdekaan
A A A
Muhammad Hamzah
Mahasiswa Jurusan Bioengineering, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati

Indeks minat baca Indonesia menurut UNESCO adalah 0,001, yang berarti di antara 1.000 orang penduduk di Indonesia, hanya 1 orang yang mempunyai minat membaca.

Meningkatkan indeks minat membaca merupakan sebuah fase krusial yang dapat mengantarkan Indonesia menjadi peradaban yang lebih maju.

Sayangnya, bangsa kita masih lekat akan budaya lisan, sehingga tukar-menukar informasi menggunakan media audiovisual seperti televisi dan video lebih disenangi karena lebih mudah dicerna. Budaya lisan yang tidak diupgrade ke budaya baca dapat mempengaruhi sektor pendidikan di Indonesia, berakibat pada kejumudan kualitas sumber daya manusia.

Future starts with the alphabet. Begitulah jargon yang dicetuskan oleh UNESCO menjelang The International Literacy Day pada September 8 2015 mendatang. Masa depan suatu bangsa ditentukan oleh kapasitas penduduknya dalam membaca. Membaca berpengaruh pada pembentukan kapasitas intelektual seorang manusia.

Produktivitas jurnal ilmiah, kemajuan teknologi, dan standar pendidikan bisa dibilang berbanding lurus dengan kapasitas sebuah negara dalam membangun budaya membaca. Hal tersebut telah dibuktikan oleh beberapa negara maju. Penduduk Jepang membawa kebiasaan membacanya sampai bangku-bangku bus dan kereta. Di Irlandia, mahasiswa mengantre di depan perpustakaan sebelum jam bukanya.

Cluj-Napoca, sebuah kota di Roma menerapkan sebuah kebijakan yang unik, yakni orang yang membaca buku di bus tak perlu membayar. Bukusangatberperan dalam membentuk pemikiranseorangSoekarno sehingga dapat memimpin bangsa menuju kemerdekaan. Sang tokoh kunci kemerdekaan ternyata adalah seorang kutu buku garis keras. Masa muda beliau habiskan dengan membaca buku di perpustakaan besar milik ayahnya.

Ketika Soekarno diasingkan ke Ende, beliau masih sempat minta dikirim buku dari gurunya, Tjokroaminoto. Ketika beliau terbaring sakit di atas kasur, di samping beliau terdapat banyak koleksi buku di berbagai bidang. Kecintaan Soekarno terhadap buku membuat beliau mampu berdiskusi dan membangun jaringan dengan tokoh-tokoh seperti Thomas Jefferson, George Washington, dan Jean Jacques Rousseau.

Berbagai upaya menumbuhkan minat baca sudah dilakukan oleh berbagai organisasi nonprofit dan instansi pemerintah seperti membuat taman baca dan perpustakaan keliling. Namun apakah dengan disediakannya fasilitas berupa buku, penduduk akan tertarik begitu saja? Minat membaca sangat berkaitan dengan habit atau kebiasaan yang dibangun oleh individu.

Membangun kebiasaan yang baik berawal dari lingkungan yang baik untuk mendukung terbentuknya kebiasaan tersebut. Idealnya, sejak bangku sekolah dasar siswa sudah disediakan waktu khusus membaca buku di kelas. Dapat diterapkan sistem kontrol dan reward bagi pembaca buku terbanyak pada selang waktu tertentu. Tentunya dengan diterapkannya hal tersebut, perpustakaan di sekolah akan semakin ramai.

Jikalau anak-anak Indonesia me-miliki semangat kutu buku seperti Soekarno, tak perlu diragukan bahwa peradaban Indonesia akan mengalami perkembangan yang signifikan. Kata kemerdekaan yang sekarang kita cari bukan lagi mencirikan lombalomba tradisional, namun sebuah bangsa yang rakyatnya sudah siap secara intelektual menerjunkan diri ke peradaban yang lebih maju.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1364 seconds (0.1#10.140)