Rizal Ramli dan Kotak Pandora Pertarungan
A
A
A
Masyarakat Indonesia baru saja disuguhi sebuah drama yang melibatkan ring satu Istana Negara. Menko Kemaritiman Rizal Ramli terlibat perang kritik dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Drama elite tersebut terbilang seru, sampai Rizal Ramli menantang JK berdebat secara terbuka. Terlepasdari apa fokus persoalan yang menjadi pangkal debat serta pihak mana yang benar dalam program pembangunan pembangkit listrik 35.00 MW dan rencana pembelian 30 pesawat Garuda, munculnya saling kritik seakan telah membuka kontak pandora betapa kerasnya persaingan faksi dan kepentingan di internal kabinet.
Lantangnya kritik yang disampaikan Rizal Ramli pada satu sisi dan reaksi keras yang ditunjukkan JK dan Rini Soemarno di sisi lainnya, tentu terlalu sederhana jika ditafsirkan sebatas politik ideal, yakni untuk mewujudkan kebaikan pemerintah dan masyarakat. Dalam konteks politik kekuasaan, sudah pasti ada udang di balik kerasnya pertarungan. Seperti apa? Reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Jokowi belum lama ini sejatinya bukanlah bagian dari konsolidasi untuk meningkatkan kinerja pemerintah.
Jika hal itu goal -nya, tentu saja pergantian menteri murni berbasis evaluasi dan kompetensi. Nyatanya, sejumlah menteri yang kinerjanya dipertanyakan masih duduk nyaman. Begitu pun menteri yang disebut pernah meremehkan Jokowi, aman-aman saja. Sebaliknya, reshuffle malah mengindikasikan berakhirnya bulan madu pemerintahan Jokowi. Para menteri yang hanya berakar pada kelompok relawan atau profesional, terbukti hanya sebagai pupuk bawang di arena pertarungan.
Lihat saja nasib yang menimpa Andrinof Chaniago yang tergusur dari jabatan menteri PPN/kepala Bappenas, Andi Widjajanto (sekretaris kabinet), Indroyono Susilo (menko kemaritiman). Selain itu, yang terdepan dari kabinet adalah mereka yang tergencet atau terkalahkan dalam sengitnya pertarungan. Hal ini seperti dialami Rahmat Gobel yang harus meninggalkan posisinya sebagai menteri perdagangan.
Selama di kabinet, chairman Panasonic Gobel Group itu keras menghadapi mafia beras dan mendorong Jepang masuk dalam proyek kereta api cepat di Indonesia. Adapun yang bertahan adalah mereka yang benar-benar mempunyai posisi tawar berupa akar kekuasaan yang kuat di mata Jokowi, baik itu berupa partai politik pengusung, kapital, atau lainnya. Sedangkan nama-nama baru yang masuk kabinet pun tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan meningkatkan kinerja, tapi masih berbau pertarungan kepentingan.
Masuknya Rizal Ramli,walaupun berpengalaman duduk di pemerintahan, tidak sepenuhnya dalam agenda peningkatan kinerja pemerintah. Bisa jadi dia menjadi watch dog Jokowi, sehingga dia bersuara kencang mengkritik program di luar domainnya, termasuk menantang JK yang pernah menjadi seterunya di era pemerintahan Gus Dur. Atau bisa jadi, dia menjadi bagian dari pertarungan itu sendiri.
Kegaduhan yang muncul membuka mata publik bahwa pertarungan kepentingan itu ada, termasuk di lingkaran utama kekuasaan. Pasca-reshuffle, pertarungan itu kian keras dan melibatkan apa yang disebut politisi PKS Fahri Hamzah pemain kelas heavy weight. Pemainnya tentu tidak bisa direduksi sekadar parpol.
Menilik isu perdebatan yang terfokus pada proyek, pemilik modal yang dekat lingkaran kekuasaan sudah pasti terlibat dalam pertarungan, termasuk di dalamnya kapitalisme global. Bagaimana akhir cerita pertarungan, semuanya tergantung sejauh mana Jokowi menunjukkan kepemimpinannya.
Secara etika, drama yang ditunjukkan Rizal Ramli, JK, dan Rini Soemarno akan mudah selesai karena ada fatsun dan aturan yang berlaku dalam pemerintahan. Rizal Ramli secara mudah akan menjadi pihak yang dipersalahkan. Tapi dalam konteks perebutan kepentingan, pertarungan akan terus terjadi dan bahkan akan semakin mengeras karena persaingan yang berujung pada reshuffle, lalu berlaku prinsip zero sum game.
Ini tantangan yang harus dikelola Jokowi. Ibarat pepatah, gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah, jangan sampai pertarungan ini merugikan bangsa dan rakyat Indonesia.
Drama elite tersebut terbilang seru, sampai Rizal Ramli menantang JK berdebat secara terbuka. Terlepasdari apa fokus persoalan yang menjadi pangkal debat serta pihak mana yang benar dalam program pembangunan pembangkit listrik 35.00 MW dan rencana pembelian 30 pesawat Garuda, munculnya saling kritik seakan telah membuka kontak pandora betapa kerasnya persaingan faksi dan kepentingan di internal kabinet.
Lantangnya kritik yang disampaikan Rizal Ramli pada satu sisi dan reaksi keras yang ditunjukkan JK dan Rini Soemarno di sisi lainnya, tentu terlalu sederhana jika ditafsirkan sebatas politik ideal, yakni untuk mewujudkan kebaikan pemerintah dan masyarakat. Dalam konteks politik kekuasaan, sudah pasti ada udang di balik kerasnya pertarungan. Seperti apa? Reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Jokowi belum lama ini sejatinya bukanlah bagian dari konsolidasi untuk meningkatkan kinerja pemerintah.
Jika hal itu goal -nya, tentu saja pergantian menteri murni berbasis evaluasi dan kompetensi. Nyatanya, sejumlah menteri yang kinerjanya dipertanyakan masih duduk nyaman. Begitu pun menteri yang disebut pernah meremehkan Jokowi, aman-aman saja. Sebaliknya, reshuffle malah mengindikasikan berakhirnya bulan madu pemerintahan Jokowi. Para menteri yang hanya berakar pada kelompok relawan atau profesional, terbukti hanya sebagai pupuk bawang di arena pertarungan.
Lihat saja nasib yang menimpa Andrinof Chaniago yang tergusur dari jabatan menteri PPN/kepala Bappenas, Andi Widjajanto (sekretaris kabinet), Indroyono Susilo (menko kemaritiman). Selain itu, yang terdepan dari kabinet adalah mereka yang tergencet atau terkalahkan dalam sengitnya pertarungan. Hal ini seperti dialami Rahmat Gobel yang harus meninggalkan posisinya sebagai menteri perdagangan.
Selama di kabinet, chairman Panasonic Gobel Group itu keras menghadapi mafia beras dan mendorong Jepang masuk dalam proyek kereta api cepat di Indonesia. Adapun yang bertahan adalah mereka yang benar-benar mempunyai posisi tawar berupa akar kekuasaan yang kuat di mata Jokowi, baik itu berupa partai politik pengusung, kapital, atau lainnya. Sedangkan nama-nama baru yang masuk kabinet pun tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan meningkatkan kinerja, tapi masih berbau pertarungan kepentingan.
Masuknya Rizal Ramli,walaupun berpengalaman duduk di pemerintahan, tidak sepenuhnya dalam agenda peningkatan kinerja pemerintah. Bisa jadi dia menjadi watch dog Jokowi, sehingga dia bersuara kencang mengkritik program di luar domainnya, termasuk menantang JK yang pernah menjadi seterunya di era pemerintahan Gus Dur. Atau bisa jadi, dia menjadi bagian dari pertarungan itu sendiri.
Kegaduhan yang muncul membuka mata publik bahwa pertarungan kepentingan itu ada, termasuk di lingkaran utama kekuasaan. Pasca-reshuffle, pertarungan itu kian keras dan melibatkan apa yang disebut politisi PKS Fahri Hamzah pemain kelas heavy weight. Pemainnya tentu tidak bisa direduksi sekadar parpol.
Menilik isu perdebatan yang terfokus pada proyek, pemilik modal yang dekat lingkaran kekuasaan sudah pasti terlibat dalam pertarungan, termasuk di dalamnya kapitalisme global. Bagaimana akhir cerita pertarungan, semuanya tergantung sejauh mana Jokowi menunjukkan kepemimpinannya.
Secara etika, drama yang ditunjukkan Rizal Ramli, JK, dan Rini Soemarno akan mudah selesai karena ada fatsun dan aturan yang berlaku dalam pemerintahan. Rizal Ramli secara mudah akan menjadi pihak yang dipersalahkan. Tapi dalam konteks perebutan kepentingan, pertarungan akan terus terjadi dan bahkan akan semakin mengeras karena persaingan yang berujung pada reshuffle, lalu berlaku prinsip zero sum game.
Ini tantangan yang harus dikelola Jokowi. Ibarat pepatah, gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah, jangan sampai pertarungan ini merugikan bangsa dan rakyat Indonesia.
(bhr)