Jarak

Jum'at, 21 Agustus 2015 - 07:42 WIB
Jarak
Jarak
A A A
Kata ”jarak” (distance) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bahasa keseharian, bahkan juga hidup keseharian. Jarak bisa berupa fisik.

Misalnya jarak dari rumah ke kantor, ke pasar, ke masjid, dan sebagainya. Karena jarak telah menjadi kategori yang melekat pada pemikiran kita, maka tanpa disadari kita selalu membayangkan jarak, meskipun otak sendiri hanya bisa bertanya tetapi tidak mampu menjawabnya. Contoh, kita sering bertanya, berapa jarak antara bumi dan bulan, matahari, bahkan bintang yang terdekat dengan bumi?

Ada lagi jarak waktu, sehingga diciptakanlah arloji untuk menyusun agenda kegiatan agar aktivitas menjadi terstruktur. Betapa kegiatan manusia modern akan kacau, khususnya bisnis modern, jika manusia tidak memiliki pedoman jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun. Bahkan ritual keagamaan pun memerlukan pedoman waktu, sejak waktu salat, puasa, haji, dan kapan merayakan hari Lebaran.

Yang menjadi persoalan serius dalam masyarakat adalah jarak yang bersifat abstrak, yaitu jarak status sosial dan ekonomi sehingga muncul gambaran kaya-miskin, atasan dan bawahan. Dalam masyarakat feodal, jarak status sosial itu sangat kentara dan oleh jajaran elitenya sengaja dipelihara. Setelah memasuki 70 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, ternyata antara cita-cita kemerdekaan dan realitas sosial yang dibayangkan masih jauh jaraknya.

Negara ini dideklarasikan untuk menyatukan seluruh penduduk Nusantara yang sedemikian majemuk dan tersebar tempat tinggalnya, yang kemudian bersama seluruh rakyat bekerja demi mencerdaskan, memajukan, dan menyejahterakan warganya. Tetapi ternyata masih banyak warga negara yang miskin dan tidak mengenyam sekolah. Masih terbentang jarak yang menganga dan menyakitkan. Secara fisikal, sesama warga memang semakin dekat jaraknya.

Ini akibat dari pertumbuhan penduduk, sarana transportasi dan telekomunikasi modern yang membuat hidup terasa semakin sesak. Jarak fisik semakin pendek, meskipun sebagian dihubungkan melalui televisi maupun telepon. Masalahnya, kedekatan fisik tidak menjamin memperpendek jarak kesenjangan ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan sesama warga negara, melainkan justru membuat jarak itu semakin melebar dan menyakitkan.

Coba saja bayangkan, setiap hari berapa ratus ribu orang melewati jalan protokol kota besar semacam Jakarta. Bercampur aduk tanpa jarak antar berbagai profesi, asal etnis, agama, afiliasi politik, dan kelas sosial ekonomi. Lagi-lagi, jarak fisikal semakin dekat, namun kedekatan fisik tidak selalu berarti kedekatan nasib, dan hati. Sebagai sesama warga negara, di atas keragaman atau kemajemukan yang berjarak itu, semestinya kita juga memiliki kedekatan hati dan cita-cita untuk membuat bangsa ini berdiri tegak bermartabat dengan rakyatnya yang semakin cerdas dan sejahtera.

Yang perlu kita kejar mestinya bagaimana mendekatkan jarak antara kemajuan Indonesia dengan negara-negara lain yang larinya semakin kencang. Oleh karenanya sangat disayangkan jika kebinekaan itu terlepas dari ikatan keikaan hati dan cita-cita bersama mengisi amanat kemerdekaan. Coba saja amati kehidupan sosial di sekeliling kita. Pembangunan infrastruktur antara kota dan desa sangat timpang.

Ketika disebuah sudut kota dibangun mal atau supermarket, seketika terlihat jarak antara mereka yang peduli dan hanya mampu belanja di warung-warung tradisional dan mereka yang memilih belanja di tokotoko modern sebagai anak kandung kapitalisme global. Dulu bangunan rumah di kampung tidak ada pagarnya. Tetapi sekarang rumah-rumah gedung pasti dibuat pagar kokoh dan tinggi agar berjarak dari tetangganya.

Tidak saja jarak gedung, tetapi juga jarak ekonomi dan sosial. Ketika orang menempelkan titel pada namanya, itupun seketika memunculkan distingsi dan distansi. Sebagai liyan (other) yang berjarak. Jadi sangat benar perintah agama agar kita selalu menjaga silaturahim. Mendekatkan dan mengikatkan hati, menjaga relasi kasih sayang untuk menjembatani kehidupan sosial yang kian berjarak.

Prof DR Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1033 seconds (0.1#10.140)