Pertamina Digoda OJK

Kamis, 20 Agustus 2015 - 08:02 WIB
Pertamina Digoda OJK
Pertamina Digoda OJK
A A A
Petinggi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) tak bosan menggoda Pertamina dan anak perusahaan agar secepatnya tercatat sebagai emiten BEI.

Dalam seminar bertajuk ”Optimalisasi Potensi Penawaran Umum Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Entitas Anak di Pasar Modal Indonesia” yang menandai awal pekan ini di Jakarta, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida berkalikali mengimbau BUMN khususnya perusahaan minyak gas (migas) nasional dan anak perusahaan mencatatkan saham di BEI.

Nurhaida meyakini masuknya perusahaan pelat merah di pasar modal bakal menimbulkan gairah dan minat para investor yang kini sedang lesu. Sayangnya, godaan petinggi OJK dan BEI kepada Pertamina untuk go public tidak mempan. Pihak Pertamina bukannya menutup diri untuk mengubah status sebagai perusahaan terbuka. Persoalannya, sebagai perusahaan yang 100% sahamnya milik pemerintah merupakan integrated company.

Artinya, kalau perusahaan ini akan go public, sebagaimana diungkapkan Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman yang hadir dalam seminar dengan pimpinan OJK dan BEI, terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan perseroan. Karena itu, walau manajemen paham bahwa sumber pembiayaan yang murah dari pasar modal, tetap tidak bisa memilih opsi go public . Kendati demikian, peluang masuk bursa tetap terbuka melalui anak perusahaan untuk dimiliki sahamnya oleh masyarakat.

Alasan yang dikemukakan manajemen Pertamina itu ternyata bukanlah hambatan untuk menjajal lantai bursa. Pihak OJK berbeda pendapat, simak saja pandangan Nurhaida yang menyatakan salah satu persyaratan go public adalah perusahaan terbatas (PT). ”Selama itu PT ya bisa masuk bursa, termasuk Pertamina,” tegasnya. Memang ada syarat khusus bahwa Pertamina sebagai milik negara harus mendapat persetujuan DPR bila hendak menggelar penawaran umum saham perdana alias initial public offering (IPO).

Di sini peran OJK tidak hanya dituntut meyakinkan calon emiten, tetapi jauh lebih penting bagaimana melakukan pendekatan ke DPR agar lebih paham manfaat bila BUMN go public. Sebenarnya, kisah sukses BUMN go public bukan berita lagi, melainkan mengapa ketika perusahaan pelat merah berencana IPO ributnya sejagat, orang tidak berkepentingan hingga yang tidak paham pasar modal pun berkomentar tak karuan. Intinya, BUMN yang menawarkan saham ke masyarakat segera tamat riwayatnya.

Namun, faktanya kinerja BUMN yang sudah melepas saham ke publik baik-baik saja dan menjadi sumber pemberi dividen terbesar kepada negara. Tidak hanya itu, emiten BUMN juga salah satu motor penggerak di BEI. Menarik disimak ketika pemerintah memutuskan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) melakukan IPO pada 2003. Dua belas tahun yang lalu, nilai perusahaan gas itu masih sebesar Rp1,4 triliun, kini telah meningkat sekitar 74 kali lipat atau Rp100 triliun lebih. Dana yang diperoleh PGN dari hasil IPO selain dimanfaatkan untuk pengembangan infrastruktur, sebagian masuk ke kas negara.

Dengan status perusahaan terbuka, pengelolaan PGN sesuai prinsip good corporate governance (GCG). Karena itu, manajemen terus berupaya melakukan tata kelola yang baik karena langsung diawasi pemegang saham publik. Sukses PGN itu menjadi harapan pihak OJK agar lebih banyak BUMN lagi menjadi perusahaan terbuka dan lebih transparan dalam pengelolaannya.

Fakta lain yang tak terbantahkan dari 119 perusahaan pelat merah yang ada tercatat sebanyak 20 perusahaan yang meraih laba bersih di atas 900 miliar pada tahun lalu. Dari 20 perusahaan tersebut menghasilkan laba bersih sekitar 97,94% atau Rp145,13 triliun dari total perolehan laba bersih BUMN sebesar Rp148,17 triliun.

Keuntungan tersebut disumbangkan dari sembilan perusahaan negara yang sudah go public. Peringkat pertama diduduki PT Bank Rakyat Indonesia Tbk dengan laba bersih sebesar Rp24,25 triliun. Peringkat kedua tercatat PT Telekomunikasi Indonesia Tbk sekitar 21,44 triliun. Peringkat ketiga bercokol PT Bank Mandiri Tbk sebesar 20,65 triliun. Dan, Pertamina turun ke peringkat empat sebesar Rp18,23 triliun. Lalu, apalagi yang diragukan?

Jadi, tak salah kalau Direktur Utama BEI Tito Sulistio merasa heran kalau ada pejabat tidak setuju BUMN go public.
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5143 seconds (0.1#10.140)