70 Tahun Indonesia, Menuju Kedaulatan Energi

Kamis, 20 Agustus 2015 - 08:00 WIB
70 Tahun Indonesia,...
70 Tahun Indonesia, Menuju Kedaulatan Energi
A A A
Muhammad Ali Husein
Mahasiswa FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Presiden BEM Unsoed 2015



70 tahun merdeka, bangsa ini haruslah terhindar dari sikap intoleran- absolutisme yang seringkali mendasari paradoks berpikir publik bahwa bangsa ini sedang tidak apa-apa.

70 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk melahirkan sebuah negara yang emerging force, terus tumbuh dan berkembang, semakin matang dan dewasa. Bangsa ini adalah perwujudan dari akumulasi antargenerasi, haruslah berdaulat dan mandiri, namun salah satu determinan yang belum menandakan negeri ini berdaulat adalah sektor energi.

Indonesia sebagai emerging force adalah implikasi dari kedaulatan energi. Menjadi keharusan sebuah negara menguasai segala bentuk yang menguasai hajat hidup orang banyak. Karena itulah, 70 tahun Indonesia merdeka haruslah menuju kedaulatan energi. Namun, bangsa ini tak sadar bahwa perjuangan kita belumlah usai. Minyak dan gas (migas) adalah salah satu sumber energi yang harus kita daulatkan.

Banyak informasi yang publik tak tahu mengenai kedaulatan energi Indonesia di antaranya : Pertama, BUMN Indonesia hanya menguasai 15% pertambangan migas di negara sendiri. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusra mengungkapkan bahwa dari 100% ladang pertambangan migas di Indonesia, yang dikuasai oleh Pertamina sebagai BUMN hanyalah 15%, sedangkan 85% sisanya dikuasai asing.

Di antaranya Chevron, ExxonMobile, PT Total, Inpex Ltd, Vico, Arabco, British Petroleum, dan sebagainya yang kalau ditotal mencapai 85%. Kedua, Indonesia masih menggunakan prinsip production sharing contract (PSC) atau bagi hasil dan cost-recovery atau biaya ganti operasi. Misal Indonesia punya lahan pertambangan migas, lalu yang beroperasi adalah perusahaan asing. Indonesia pemilik ”sawah” mengamanatkan lahan kepada ”petani penggarap”.

Maka itu, migas yang diproduksi pun akan dibagi hasilnya antara Indonesia dan asing. Tak hanya bagi hasil, ada juga cost-recovery, biaya ganti operasi. Karena yang mengerjakan lahan pertambangan adalah perusahaan asing, Indonesia juga harus membayar biaya ganti operasi kepada perusahaan asing tersebut sekitar 30% atau 60% dari bagi hasil. Ketiga, lifting (produksi) minyak Indonesia hanya 825.000 barel/hari, sedangkan konsumsi BBM Indonesia per hari sebesar 1,9 juta barel/hari.

Kalau lihat data APBN-P 2015, lifting minyak Indonesia menurun dari 900.000 barel/hari menjadi 825.000 barel/ hari. Di sisi lain, konsumsi BBM Indonesia sebesar 1,9 juta barel/hari. Jurang antara produksi dan konsumsi tersebut ditutupi dengan impor. Sudah saatnya bangsa ini mandiri dan berdaulat di sektor energi karena sebagai negara emerging force, dibutuhkan kekuatan di sektor energi agar menjadikan bangsa ini berwibawa di mata internasional.

Tak perlu terburu-buru, tak perlu memutus kontrak 85% perusahaan asing yang menguasai pertambangan karena hal tersebut bertentangan dengan UU Migas No 22/2001. Namun, cukup mengambil alih blok pertambangan yang sudah mau habis masa kontraknya.

Sebut saja Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang kontraknya akan habis pada 2017. Direktur IRESS Marwan Batubara menyebutkan potensi Blok Mahakam masih sekitar Rp1.000 triliun. Angka yang cukup fantastis untuk menambah penerimaan APBN Indonesia.

Kalau saja kita komitmen mewujudkan kedaulatan energi dan dengan mengambil alih blok pertambangan yang sudah habis masa kontraknya dengan tidak lagi diperpanjang ke asing, pastilah kita bisa menjadi bangsa yang maju, berperadaban tinggi, dan modern. Selamat HUT Indonesia yang ke-70. Merdeka!
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5364 seconds (0.1#10.140)