1.938 Koruptor Dapat Remisi
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) akhirnya memberikan remisi khusus kepada 1.938 narapidana kasus tindak pidana korupsi.
Salahsatu yang mendapat remisi dalam rangka HUT ke-70 Kemerdekaan RI itu adalah terpidana kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet yang juga mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat M Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sri Wahyuni.
Selain itu, Kemenkumham juga memberikan remisi kepada terpidana kasus korupsi pajak Gayus Tambunan, terpidana kasus percobaan penyuapan Anggodo Widjojo, serta terpidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) kasus Satuan Kerja Khusus Pelaksana KegiatanUsaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Deviardi, dan Kosasih Abbas, mantan pejabat Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, jumlah total narapidana tindak pidana korupsi (tipikor) mencapai 2.786 orang.
Dari jumlah itu, hanya 1.938 orang yang dikabulkan remisinya oleh Kemenkumham. Sisanya, 848 orang belum dikabulkan karena masih membutuhkan pengkajian dan pendalaman menurut ketentuan perundang- undangan. Pemberian remisi kepada 1.938 narapidana tipikor ini, ungkap Yasonna, didasarkan pada dua ketentuan. Pertama, untuk 517 orang didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) 28/2006.
Kedua , untuk 1.421 terpidana menggunakan dasar hukum PP 99/2012. Mereka mendapatkan remisi karena telah membayar denda dan uang pengganti serta surat keterangan selaku justice collaborator (JC). ”Ada 16 narapidana tipikor yang ditolak remisinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” tandas Yasonna seusai upacara peringatan HUT ke-70 Kemerdekaan RI di Kantor Kemenkumham, Jakarta, kemarin.
Menkumham mengatakan, total narapidana yang mendapatkan remisi mencapai 118.405 orang yang menghuni 477 lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 5.681 di antaranya langsung bebas karena telah mendapatkan beberapa kali remisi sebelumnya selama menjalani masa pembinaan.
Yasonna mengatakan, remisi yang didapatkan para narapidana dalam rangka perayaan HUT ke-70 Kemerdekaan RI ini adalah remisi umum dan remisi dasawarsa, dengan masa potongan hukuman maksimal enambulanuntukremisiumum dan tiga bulan untuk remisi dasawarsa. ”Pemberian remisi ini bukan obral remisi. Semua ada aturan dan mekanisme. Ini hadiah bagi mereka yang berperilaku baik selama menjalani masa pembinaan di lapas atau rutan,” tandasnya.
Pengamat hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menyayangkan pemberian remisi kepada terpidana koruptor. Menurut dia, pemberianremisiitusangat tidak pasdisaat pemerintahdanpublik ingin memberantas tindak pidana korupsi (tipikor). ”Di saat aparat hukum terus membongkar dugaan tindak pidana korupsi, dilain pihak pemerintah memberikan potongan hukum kepada mereka.
Landasan hukum pemberian remisi itu apa? apakah benar semuanya menjadi justice collaborator (JC) dan uang kerugian negara dan denda sudah dikembalikan ke negara?” tanyanya. Zainal juga mempertanyakan apakah narapidana korupsi itu telah beriktikad baik untuk meminta maaf kepada publik dan membongkar semua tindak pidana korupsi yang diketahui? Bila hal itu telah dipenuhi narapidana tipikor maka tidak masalah memberikan remisi. Namun, remisi yang diberikan tetap harus diperhatikan lagi berapa lama potongan itu didapatkan narapidana.
”Jangan sampai membuat mereka menikmati hukuman yang semula divonis cukup lama, oleh hakim menjadi tidak lama,” paparnya. Senada diungkapkan pengamat hukum UIN Syarif Hidayatullah Andi Syafrani. Menurut dia, selama ini pemberian remisi dianggap sebagai sebuah tradisi bagi negara untuk para narapidana.
Bahkan, itu juga disebut sebagai hadiah. Namun, ujarnya, cara tersebut tidak mencapai harapan sebab pemberian remisi itu hanya bermanfaat bagi narapidana itu sendiri, tetapi bagi publik tidak dan sangat melukai hati rakyat.
Ilham safutra
Salahsatu yang mendapat remisi dalam rangka HUT ke-70 Kemerdekaan RI itu adalah terpidana kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet yang juga mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat M Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sri Wahyuni.
Selain itu, Kemenkumham juga memberikan remisi kepada terpidana kasus korupsi pajak Gayus Tambunan, terpidana kasus percobaan penyuapan Anggodo Widjojo, serta terpidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) kasus Satuan Kerja Khusus Pelaksana KegiatanUsaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Deviardi, dan Kosasih Abbas, mantan pejabat Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, jumlah total narapidana tindak pidana korupsi (tipikor) mencapai 2.786 orang.
Dari jumlah itu, hanya 1.938 orang yang dikabulkan remisinya oleh Kemenkumham. Sisanya, 848 orang belum dikabulkan karena masih membutuhkan pengkajian dan pendalaman menurut ketentuan perundang- undangan. Pemberian remisi kepada 1.938 narapidana tipikor ini, ungkap Yasonna, didasarkan pada dua ketentuan. Pertama, untuk 517 orang didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) 28/2006.
Kedua , untuk 1.421 terpidana menggunakan dasar hukum PP 99/2012. Mereka mendapatkan remisi karena telah membayar denda dan uang pengganti serta surat keterangan selaku justice collaborator (JC). ”Ada 16 narapidana tipikor yang ditolak remisinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” tandas Yasonna seusai upacara peringatan HUT ke-70 Kemerdekaan RI di Kantor Kemenkumham, Jakarta, kemarin.
Menkumham mengatakan, total narapidana yang mendapatkan remisi mencapai 118.405 orang yang menghuni 477 lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 5.681 di antaranya langsung bebas karena telah mendapatkan beberapa kali remisi sebelumnya selama menjalani masa pembinaan.
Yasonna mengatakan, remisi yang didapatkan para narapidana dalam rangka perayaan HUT ke-70 Kemerdekaan RI ini adalah remisi umum dan remisi dasawarsa, dengan masa potongan hukuman maksimal enambulanuntukremisiumum dan tiga bulan untuk remisi dasawarsa. ”Pemberian remisi ini bukan obral remisi. Semua ada aturan dan mekanisme. Ini hadiah bagi mereka yang berperilaku baik selama menjalani masa pembinaan di lapas atau rutan,” tandasnya.
Pengamat hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menyayangkan pemberian remisi kepada terpidana koruptor. Menurut dia, pemberianremisiitusangat tidak pasdisaat pemerintahdanpublik ingin memberantas tindak pidana korupsi (tipikor). ”Di saat aparat hukum terus membongkar dugaan tindak pidana korupsi, dilain pihak pemerintah memberikan potongan hukum kepada mereka.
Landasan hukum pemberian remisi itu apa? apakah benar semuanya menjadi justice collaborator (JC) dan uang kerugian negara dan denda sudah dikembalikan ke negara?” tanyanya. Zainal juga mempertanyakan apakah narapidana korupsi itu telah beriktikad baik untuk meminta maaf kepada publik dan membongkar semua tindak pidana korupsi yang diketahui? Bila hal itu telah dipenuhi narapidana tipikor maka tidak masalah memberikan remisi. Namun, remisi yang diberikan tetap harus diperhatikan lagi berapa lama potongan itu didapatkan narapidana.
”Jangan sampai membuat mereka menikmati hukuman yang semula divonis cukup lama, oleh hakim menjadi tidak lama,” paparnya. Senada diungkapkan pengamat hukum UIN Syarif Hidayatullah Andi Syafrani. Menurut dia, selama ini pemberian remisi dianggap sebagai sebuah tradisi bagi negara untuk para narapidana.
Bahkan, itu juga disebut sebagai hadiah. Namun, ujarnya, cara tersebut tidak mencapai harapan sebab pemberian remisi itu hanya bermanfaat bagi narapidana itu sendiri, tetapi bagi publik tidak dan sangat melukai hati rakyat.
Ilham safutra
(ars)