Rumahku, Riwayatku

Minggu, 16 Agustus 2015 - 09:12 WIB
Rumahku, Riwayatku
Rumahku, Riwayatku
A A A
Setiap rumah memiliki cerita masing-masing. Begitu juga yang dirasakan oleh Arswendo Atmowiloto. Bagi dia, rumah adalah segalanya.

”Apa yang secara batiniah tidak bisa didapatkan di luar, cuma bisa didapatkan di dalam rumah,” ujar Wendo, sapaan Arswendo.

Wendo mengaku hafal betul riwayat setiap inci griya yang telah dihuninya sejak 1984 ini. Dia bahkan dengan cepat mampu menjawab dan menjelaskan tempat dan waktu mendapatkan berbagai perabotan, mulai yang baru hingga yang sudah lama.

Sebut saja gorden, lemari, meja, kursi, dan peralatan rumah lain. Penulis skenario drama seri televisi Keluarga Cemara ini lalu menjelaskan keberadaan sebuah lemari antik di ruang makan. Menurutnya, lemari tersebut merupakan pesanan, bahkan dia sendiri yang langsung memandori tukang saat proses pembuatannya. Di atas lemari itu, terpatri foto ayah dan ibu Wendo.

”Setiap rumah pasti memiliki riwayat masing-masing. Seperti pertama kali punya rumah, kemudian berkeluarga. Ini menjadi kisah dan sejarah yang bisa Anda ceritakan kepada anak cucu serta orang lain,” tutur pemilik nama lahir Sarwendo ini, saat dijumpai di kediamannya di kawasan Pesanggarahan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Tak heran jika di setiap sudut dalam hunian tersebut, Wendo bisa selalu merasakan memori dan kenangan yang tersimpan.

”Kenangan dan memori itu yang membuat rumah menjadi sesuatu yang luar biasa. Nyamannya suasana rumah tidak tergantikan,” kata Wendo. Meja makan menjadi spot favorit Wendo. Di meja inilah dia bersama istri, anak-anak, dan para cucu bercengkerama. ”Sebenarnya semua tempat di rumah ini menjadi favorit saya. Tapi, bisa dikatakan di meja makan ini semua aktivitas kami berlangsung,” kata ayah tiga anak itu.

Di atas meja makan tersebut terdapat beragam barang , mulai komputer jinjing, kertas-kertas, hingga camilan. Menurut Wendo, semua penghuni ketika baru pulang selalu meletakkan barang mereka pertama kali di meja makan ini. Dari area meja makan itu juga Wendo biasa menonton televisi atau memandangi aktivitas anggota keluarga lain yang berada di ruang keluarga. Posisi meja makan ini strategis.

Letaknya tak jauh dengan ruang keluarga. Seolah terpisah karena di ruang keluarga ada beberapa kursi panjang. Kursi tersebut cukup menjadi sekat antara ruang keluarga dan meja makan. Di depan meja makan, agak ke kanan, terdapat sebuah organ. ”Istri saya yang suka main piano. Saya paling tidak mengerti musik. Cukup menulis,” ungkap Wendo. Penulis novel Senopati Pamungkas ini tidak banyak mengubah bentuk bangunan rumahnya sejak awal membeli. Dia juga tidak berniat melakukan perombakan total.

”Paling kami perluas. Kami kembangkan ke belakang. Ada tetangga yang menjual lahannya, kemudian kami beli untuk perluasan,” jelas Wendo. Pengembangan ini membuat lahan kediaman Wendo yang tadinya sekitar 300 meter persegi (m2) menjadi 800 m2. Untuk luas bangunan, Wendo mengaku tidak bisa memastikan. Di sayap kiri pekarangan depan terdapat carport, sementara sayap kanan dihiasi taman nan cantik.

Ada kolam ikan yang dikelilingi rerumputan hijau serta aneka bunga dan tanaman hias. Tepat di depan teras ada patung berbentuk bayi laki-laki yang sedang berbaring di atas daun telinga raksasa. Di teras juga terdapat ukiran gantungan dan hiasan dinding berbentuk kepala gajah. Hiasan berbentuk gajah banyak ditemukan di beberapa bidang lain di rumah Wendo. Pria kelahiran Surakarta, 26 November 1948 ini mengaku menyenangi hiasan berupa kepala gajah sebagai pajangan.

”Tidak ada alasan khusus. Hanya, tempat saya tinggal dulu di daerah Gajahan, Solo, dekat dengan kandang gajah. Itu saja,” terangnya, seraya tertawa. Bangunan utama tidak bertingkat dan terdiri atas ruang tamu, kamar utama, ruang kerja, ruang keluarga, dapur, dan meja makan. Ruangan yang ada meja makan merupakan batas akhir dari bangunan awal. Di bagian belakang rumah ini terdapat beberapa bangunan tambahan. Ada yang bertingkat, ada juga yang hanya satu lantai.

Dari bangunan utama terdapat jalan setapak akses menuju tiga bangunan di belakangnya. Jalan setapak ini biasa digunakan Wendo sebagai tempat jogging di pagi hari. Lantai bahwa bangunan tambahan pertama dijadikan sanggar terbuka berisi berbagai lukisan kapas karya Wendo. Ada juga kamar bagi cucunya yang tinggal di sana. Kamarkamar di lantai atas menjadi gudang. Tak jauh dari bangunan itu ada bangunan tambahan lain yang menyerupai rumah panggung.

Tangganya terbuat dari bata tanpa plester. Di bangunan ini terpajang lebih banyak lagi lukisan kapas karya Wendo. Di bawah bangunan ini terdapat kolam ikan lele jumbo. ”Lele itu diberi makan atau tidak, tidak akan mati. Bisa hidup sendiri, jadi tidak memerlukan perhatian dan perawatan berlebihan,” kata penulis novel Kau Memanggilku Malaikat .

Wendo mengoleksi mesin ketik antik. Jumlahnya mencapai sekitar 200. Ada mesin tik yang hurufnya sangat kecil, sangat besar, berhuruf Jepang, Arab, Thailand, Ibrani, hingga India. Bahkan ada mesin ketik produksi 1918. Peraih ASEAN Awards Culture Communication & Literary Works , Bangkok, Thailand (1987) ini mengoleksi mesin ketik sejak keluar dari hotel prodeo. Uniknya, beberapa mesin ketik ditata di atas kayu bekas rel kereta api. Kayu tersebut dibiarkan apa adanya tanpa polesan apa pun.

”Suatu waktu ketika saya masih sangat muda dulu, saya sangat ingin memiliki mesin ketik, tapi tidak punya uang. Jadi, sekarang saat uang sudah ada, ya saya belikan mesin ketik, he he he,” tutup Wendo.

Dina angelina
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7660 seconds (0.1#10.140)