Memulihkan Optimisme

Senin, 10 Agustus 2015 - 10:10 WIB
Memulihkan Optimisme
Memulihkan Optimisme
A A A
Menjaga dan meningkatkan optimisme di kala pertumbuhan ekonomi melambat merupakan tugas berat yang harus dilakukan oleh pemerintah di setiap negara.

Penelitian ilmiah di banyak kawasan dan negara menunjukkan optimisme merupakan prasyarat penting yang membantu perekonomian suatu negara pulih secara cepat dari perlambatan, stagnasi maupun krisis ekonomi.

Sebaliknya ketika optimisme absen dalam waktu cukup lama, para aktor ekonomi maupun konsumen tidak memiliki gairah dalam perekonomian. Ini bisa mengakibatkan proses produksi terhambat lantaran dunia usaha mengambil posisi wait and see serta menunda ekspansi sampai kondisi membaik.

Kondisi ini membuat siklus yang saling melemahkan dan membutuhkan intervensi kebijakan untuk memotong lingkaran setan (vicious cycle). Baik secara teoretis maupun temuan empiris, optimisme pelaku ekonomi dan konsumen terhadap perekonomian bukanlah dimensi nonrasional.

Pelaku ekonomi selalu bertindak rasional dengan melihat arah tren ekonomi berdasarkan data, indikator, dan pengamatan di lapangan. Bahkan di tingkat konsumen yang selama ini dianggap sering kali melakukan pembelian yang tidak rasional melalui fenomena punic-buying dan impulsive-buying, proses tersebut tetap saja dengan mempertimbangkan kemampuan daya beli mereka serta prospek pendapatan yang diterima di masa depan.

Dunia usaha dan konsumen akan selalu mengamati perkembangan perekonomian saat ini dan digunakan untuk menentukan keputusan bisnis serta perilaku konsumsi di masa depan. Selain itu, optimisme pelaku ekonomi dapat dibentuk melalui stimulan kebijakan pemerintah yang dianggap kredibel dan logis di mata aktor ekonomi.

Menjadi bumerang apabila kebijakan pemerintah yang semula ditujukan untuk memulihkan ekonomi ternyata justru dianggap tidak tepat dan semakin menurunkan optimisme di kalangan pelaku ekonomi dan konsumen.

Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Konstatinuou dan Tagkalakis (2010) di Yunani bagaimana kebijakan fiskal dapat meningkatkan atau menurunkan optimisme pelaku usaha dan konsumen.

Mereka menunjukkan bahwa kebijakan seperti pemotongan pajak akan secara positif menaikkan confidence pelaku usaha dan konsumen. Sebaliknya, ketika pemerintah menaikkan gaji pegawai dan belanja pemerintah akan menurunkan confidence karena pelaku usaha dan konsumen melihat pajak akan dinaikkan oleh pemerintah.

Bagi Indonesia, memulihkan optimisme pelaku usaha dan konsumen dalam negeri menjadi prioritas saat ini. Posisi wait and see pelaku usaha dan penundaan pembelian yang dilakukan konsumen terjadi sepanjang semester I/2015. Beberapa data dan indikator menunjukkan pertumbuhan ekspansi usaha masih terbatas dan konsumsi dalam negeri tumbuh secara terbatas.

Bagi pelaku usaha, ketidakpastian arah perekonomian global, fluktuasi nilai tukar rupiah, pelemahan daya beli masyarakat, kelancaran belanja modal pemerintah dan target pajak dalam APBN-P 2015 yang ditargetkan naik secara signifikan menjadi faktor yang membuat ruang ekspansi terbatas.

Sementara dari sisi konsumen, pelemahan daya beli, kepastian lapangan kerja, stabilitas harga dan perlambatan penciptaan lapangan kerja membuat mereka sangat berhati-hati dalam melakukan belanja. Faktadilapangandiatasterekam secara jelas dari agregasi data yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2015 sebesar 4,67%, sedikit di bawah kuartal I/ 2015 sebesar 4,71%.

Realisasi pertumbuhan ekonomi di kuartal II/2015 semakin meningkatkan kekhawatiran banyak kalangan tentang risiko tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi tahunan di atas 5%.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) beberapa waktu lalu memublikasikan hasil survei Konsumen Bank Indonesia yang menunjukkan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen Juli 2015 menurun sebesar 1,4 poin menjadi 109,9 poin dari bulan sebelumnya. Pelemahan indeks ini terjadi karena terdapat penurunan dari dua indeks pembentuknya, yaitu Indeks KondisiEkonomi(IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK).

Dengan kata lain, terjadi penurunan keyakinan dan optimisme di tingkat konsumen pada Juli 2015 terkait kondisi perekonomian dan ekspektasi penghasilan serta ketersediaan lapangan kerja. Tanpa adanya kebijakan yang mampu memulihkan optimisme rasanya akan semakin sulit bagi pemerintah untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi seperti yang direncanakan.

Menurut saya, paling tidak ada tiga kelompok yang perlu dipulihkan segera optimismenya bahwa perekonomian nasional akan menjadi lebih baik pada semester I/ 2015 dan tahun-tahun berikutnya. Kelompok pertama adalah pelaku usaha.

Optimisme pelaku usaha perlu segera dipulihkan melalui serangkaian kebijakan yang lebih pro-dunia usaha. Selain kebijakan yang memudahkan doing-business, untuk membantu industri padat karya terhindar dari risiko PHK dan penghapusan hambatan investasi diperlukan kebijakan di sektor perpajakan yang lebih business-friendly.

Komunikasi dan koordinasi antara pemerintah dengan asosiasi dunia usaha yang intens dapat meningkatkan penyamaan persepsi tentang opsi-opsi kebijakan yang diperlukan. Melalui hal ini, kebijakan akan lebih kredibel, tepat dan terukur serta perlahan namun pasti akan meningkatkan optimisme pelaku usaha. Kelompok kedua yang perlu dipulihkan optimismenya adalah konsumen.

Kebijakan seperti pengendalian harga yang tepat dan terukur, mengurangi risiko kenaikan harga produk strategis seperti energi dan pangan, menjamin lapangan kerja tetap tersedia, mendorong terus bergeraknya sektor UMKM, pengamanan industri padat karya dan pertanian, serta bila dimungkinkan relaksasi pajak di sektor konsumsi yang mampu meningkatkan daya beli masyarakat sangat diperlukan untuk memulihkan kondisi permintaan domestik.

Tidak hanya pemerintah, BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga perlu secara kolektif ikut memperkuat permintaan domestik. Beberapa langkah telah dilakukan seperti kebijakan relaksasi loan to value (LTV) yang membuat sektor kredit beberapa waktu lalu terkontraksi.

Kelompok ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah optimisme para penyelenggara negara. Menggenjot penyerapan anggaran, utamanya pembangunan infrastruktur, menjadi pertaruhan pemerintah di semester II/2015 untuk mengompensasi lambatnya pertumbuhan ekonomi pada semester I/ 2015.

Selain komitmen politik dari presiden dan para anggota kabinet tentang target pembangunan infrastruktur, proses di tingkat eselon I, II, dan III juga akan sangat menentukan realisasi target serapan. Selain itu, hal ini juga sangat dipengaruhi proses dokumen proyek infrastruktur di daerah.

Birokrasi di pusat maupun di daerah perlu terus ditingkatkan kualitas kerja dan profesionalismenya agar kualitas belanja infrastruktur menjadi lebih efisien dan efektif.

Tanpa didukung lingkungan kerja yang kondusif di birokrasi dengan pengawasan yang tepat dan terukur, target pembangunan infrastruktur melalui anggaran APBN-P baik di tingkat pusat maupun daerah berisiko tidak sesuai target yang ditetapkan.

PROF FIRMANZAH PHD
Rektor Universitas Paramadina Guru Besar FEB
Universitas Indonesia
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9424 seconds (0.1#10.140)