Kisah Kusut dalam Bunga Layu

Minggu, 09 Agustus 2015 - 09:49 WIB
Kisah Kusut dalam Bunga Layu
Kisah Kusut dalam Bunga Layu
A A A
Bunga Layu di Bandar Baru -kumpulan cerpen- menceritakan tentang pedihnya kehidupan akibat kondisi ekonomi yang mendera keluarga.

Salah satu cerpen dalam Bunga Layu di Bandar Baru mengupas tokoh Nining. Nining wanita kampung yang merantau ke Jakarta hendak bertemu dengan temannya agar mendapat pekerjaan dan bisa mengubah kehidupan keluarganya. Ternyata tidak berbuah manis, teman yang ditunggu tak kunjung datang.

Menit demi menit berlalu. Ia hanya menunggu dan tak terpikir di benaknya untuk pulang ke kampung. Karena tidak mau mengecewakan keluarga dan malu dengan jiran tetangga yang beralasan merantau ke Jakarta untuk mencari kerja, Ninin mengarah ke warung dan mengambil uang sepuluh ribu dari sakunya. Sore sudah berangkat malam, yang ditunggu tak kunjung datang hingga akhirnya data seorang yang menawarkan pekerjaan. Ia yakin itu akan mengubah nasibnya, tetapi kenyataannya lain.

Nining akhirnya dijerumuskan ke dunia prostitusi. Sepenggalan kisah di atas adalah salah satu cerpen menarik yang ada di dalam buku Bunga Layu di Bandar Baru. Ada beberapa cerpen lain seperti Lelaki Pencari Tuhan, codoik, Wasiat Ayah, Cut Tak Henti Bertanya, Haji Anil, Penyair Mahmud, Pesan Rindu dari Emak, Sang Penggunjing, Jangan Panggil Aku Katua, A Cuan, Surat dari Emak, Telegram Indah, Hadiah Untuk Ibu, Cerpen, Senja di Perbukitan, dan Akhir Sebuah Berita Kota.

Buku ini sangat mudah disantap bagi kaum muda atau pun yang lain karena memiliki bahasa yang sangat sederhana dan mudah dipahami. Cerita yang ditumpahkan pun mampu membuat pembaca terhanyut di dalamnya. Pengarang buku ini seperti melakukan sebuah reportase kehidupan umat manusia. Di situ kita akan menyantap berbagai kompleksitas kehidupan orang kecil. Latar belakang Yulhasni yang pernah menggeluti dunia wartawan membuat secara keseluruhan cerpen di dalam buku ini berusaha melakukan kritik sosial.

Penulis memosisikan dirinya sebagai orang yang tengah mengontrol praktik kekuasaan yang rakus dan cenderung menafikan keberadaan orang kecil. Pada cerpen Codoik , penulis mengambil menggunakan tokoh utama seorang pria yang tidak waras. Ketidakwarasan tokoh utama justru sebagai simbol betapa negara (baca: kekuasaan) cenderung bertindak kasar kepada rakyatnya sendiri.

Codoik adalah simbolisasi orang-orang yang terpinggirkan oleh praktik kekuasaan negara. Boleh jadi ia hanyalah perwakilan dari ribuan rakyat yang telah dirampas hak tanahnya. Pada cerpen lain berjudul Akhir Sebuah Berita Kota , Yulhasni tengah melakukan otokritik terhadap dunia yang telah digelutinya bertahuntahun sebagai pekerja pers.

Pembaca dengan mudah akan memberi penilaian tentang praktik ketidakmandirian pers terhadap tekanan kekuasaan. Bisa saja cerpen ini telah berlangsung lama di dalam pers kita yang memang sering bias tersebut. Secara keseluruhan, cerpen di dalam buku ini adalah pemindahan fakta ke dalam bingkai fiksi. Yulhasni dalam pengantarnya mengakui kesulitan melakukan pemindahan itu.

Tetapi kita patut mencatat tentang kesungguhannya merekam berbagai peristiwa ketidakadilan di negeri ini. Pada aspek ini, Yulhasni telah berhasil menjadikan karya sastra sebagai perwakilan realitas sosial. Meski mudah disantap, sebagai karya sastra penulis luput untuk membuat ending yang menarik. Kekuatan cerita pendek sebenarnya terletak pada kepiawaian pengarang mengakhiri sebuah konflik.

Pada beberapa cerpen yang ditulis Yulhasni, ending sederhana kerap muncul. Pada cerpen Penyair Mahmud, penulis hanya menggambarkan tentang kericuhan kantor camat karena persoalan pekerjaan yang disandang tokoh utama. Sayangnya, di beberapa cerpen ditemukan kesalahan pengetikan kata.

Kesan bahwa buku ini terburuburu untuk diterbitkan menjadi nyata ketika beberapa kata itu ditemukan dalam teks-teks cerpen. Namun, semua itu dapat terbayar karena kehebatan penulis yang dapat merangkul kehidupan sehari-hari ke dalam buku tersebut.

Ubai Dillah Al Anshori
Mahasiswa Sastra Indonesia FKIP UMSU dan bergiat di
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8388 seconds (0.1#10.140)