Urbanisasi dan Derajat Kesehatan
A
A
A
Berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang lebih menjamin kehidupannya adalah naluri alami setiap manusia. Maka dari itu, urbanisasi tiap tahunnya adalah hal yang tak terelakkan.
Perpindahan ini terjadi karena daya tarik kehidupan urban dan sulitnya mencari lapangan kerja di rural area. Berdasarkan BPS, tingkat urbanisasi pada tahun 2015 mencapai angka 53,3%. Bahkan, di beberapa kota besar di Pulau Jawa, tingkat urbanisasi sudah berada di atas angka 80%. Ledakan populasi pada suatu area yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan berbagai masalah-masalah baru.
Penduduk desa yang pindah ke kota akan membawa banyak manfaat jika mereka memiliki keterampilan. Akan tetapi, jika mereka tidak memiliki skill tertentu, mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan dan malah semakin terpinggirkan. Masalah yang muncul dapat langsung terasa ataupun tidak langsung dan berjangka panjang. Efek langsung dari urbanisasi misalnya penyakit menular tertentu.
Perpindahan manusia dari satu tempat yang terkena wabah ke tempat lain akan menyebarkan kuman penyakit ke penduduk di tempat baru tersebut. Sedangkan, efek jangka panjang yang timbul antara lain adalah permasalahan sampah yang dapat menyebabkan banjir, berbagai penyakit menular seperti diare dan tifus karena sanitasi buruk, malnutrisi bagi ibu dan anak karena ketidakmampuan mengakses makanan bergizi hingga ke pelayanan sosial yang buruk.
Data Riskesdas 2013 menyebutkan bahwa saat ini masih ada 50,1% orang yang membakar sampah dan 10,4% yang membuangnya ke parit, kali dan laut. Selain itu masih ada 6 juta masyarakat miskin Indonesia yang membeli air bersih dari penjual keliling. Lahan hijau perkotaan pun sedikit, misalnya Jakarta yang hanya berkisar antara 10%.
Maka dari itu, permasalahan urbanisasi ini haruslah diperhatikan dan ditangani secara serius oleh pemerintah. Ada dua pendekatan untuk menangani urbanisasi. Pertama adalah pendekatan supply side. Pertumbuhan populasi di kota wajib diikuti dengan peningkatan fasilitas kesehatan yang memadai, baik SDM seperti dokter dan perawat maupun infrastruktur seperti puskesmas dan rumah sakit.
Selain itu, bantaran aliran sungai juga harus bebas dari tempat tinggal penduduk untuk memastikan sungai tetap terjaga. Di saat yang bersamaan, perlu dilakukan pula pendekatan demand side . Pemerintah harus menekan kebutuhan-kebutuhan di atas dengan menekan angka urbanisasi.
Pemerataan pembangunan seperti berbagai fasilitas publik untuk kebutuhan ekonomi, pendidikan maupun kesehatan di desa. Pembangunan yang merata akan menambah jumlah kebutuhan tenaga kerja di desa.
Industri lahan pertanian juga perlu diperhatikan secara serius, mengingat keterampilan utama penduduk desa adalah bertani. Penduduk desa pun tak akan berpikir untuk pindah ke kota.
FAUZAN BUDI PRASETYA
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, Aktivis HMI Universitas Indonesia
Perpindahan ini terjadi karena daya tarik kehidupan urban dan sulitnya mencari lapangan kerja di rural area. Berdasarkan BPS, tingkat urbanisasi pada tahun 2015 mencapai angka 53,3%. Bahkan, di beberapa kota besar di Pulau Jawa, tingkat urbanisasi sudah berada di atas angka 80%. Ledakan populasi pada suatu area yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan berbagai masalah-masalah baru.
Penduduk desa yang pindah ke kota akan membawa banyak manfaat jika mereka memiliki keterampilan. Akan tetapi, jika mereka tidak memiliki skill tertentu, mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan dan malah semakin terpinggirkan. Masalah yang muncul dapat langsung terasa ataupun tidak langsung dan berjangka panjang. Efek langsung dari urbanisasi misalnya penyakit menular tertentu.
Perpindahan manusia dari satu tempat yang terkena wabah ke tempat lain akan menyebarkan kuman penyakit ke penduduk di tempat baru tersebut. Sedangkan, efek jangka panjang yang timbul antara lain adalah permasalahan sampah yang dapat menyebabkan banjir, berbagai penyakit menular seperti diare dan tifus karena sanitasi buruk, malnutrisi bagi ibu dan anak karena ketidakmampuan mengakses makanan bergizi hingga ke pelayanan sosial yang buruk.
Data Riskesdas 2013 menyebutkan bahwa saat ini masih ada 50,1% orang yang membakar sampah dan 10,4% yang membuangnya ke parit, kali dan laut. Selain itu masih ada 6 juta masyarakat miskin Indonesia yang membeli air bersih dari penjual keliling. Lahan hijau perkotaan pun sedikit, misalnya Jakarta yang hanya berkisar antara 10%.
Maka dari itu, permasalahan urbanisasi ini haruslah diperhatikan dan ditangani secara serius oleh pemerintah. Ada dua pendekatan untuk menangani urbanisasi. Pertama adalah pendekatan supply side. Pertumbuhan populasi di kota wajib diikuti dengan peningkatan fasilitas kesehatan yang memadai, baik SDM seperti dokter dan perawat maupun infrastruktur seperti puskesmas dan rumah sakit.
Selain itu, bantaran aliran sungai juga harus bebas dari tempat tinggal penduduk untuk memastikan sungai tetap terjaga. Di saat yang bersamaan, perlu dilakukan pula pendekatan demand side . Pemerintah harus menekan kebutuhan-kebutuhan di atas dengan menekan angka urbanisasi.
Pemerataan pembangunan seperti berbagai fasilitas publik untuk kebutuhan ekonomi, pendidikan maupun kesehatan di desa. Pembangunan yang merata akan menambah jumlah kebutuhan tenaga kerja di desa.
Industri lahan pertanian juga perlu diperhatikan secara serius, mengingat keterampilan utama penduduk desa adalah bertani. Penduduk desa pun tak akan berpikir untuk pindah ke kota.
FAUZAN BUDI PRASETYA
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, Aktivis HMI Universitas Indonesia
(ftr)