Langkah Pemerintah Inkonstitusional
A
A
A
JAKARTA - Upaya pemerintah lewat Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menghidupkan kembali pasal pidana penghinaan presiden dalam RUU KUHP dinilai inkonstitusional.
Bahkan, usulan tersebut dapat berujung pada pemakzulan presiden lantaran pasal itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Peringatan ini disampaikan pakar hukum tata negara Irman Putra Siddin dan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie.
Hingga kemarin Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus meyakinkan bahwa pengajuan RUU ini akan membedakan mereka yang mengkritik presiden dan menghina presiden. ”Tidak bisa. Itu inkonstitusional. Kalau presiden mengajukan yang inkonstitusional maka DPR bisa interpelasi, bahkan menyatakan pendapat bahwa presiden melanggar konstitusi, bisa berujung pada pemakzulan presiden,” ujar Irman Putra Sidin di Jakarta, kemarin.
Dengan alasan tersebut tidak ada alasan lagi bagi DPR untuk menerima rancangan undang- undang itu. Bahkan, DPR bisa menilai usulan itu melanggar konstitusi lewat sejumlah mekanisme yang berlaku di DPR. ”Tidak hanya ditolak, tapi bisa berujung pada pemakzulan presiden,” kata Irman.
Jimly membenarkan pasal penghinaan sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional oleh MKkarena sudah ketinggalanzaman dan tidak sesuai dengan peradaban berdemokrasi. ”Sejarahnya pasal itu masih sangat feodal. Dulu kepala negara dianggap sebagai simbol negara. Ini teori lama. Sekarang simbol atau lambang negara kan sudah ada di Pasal 36 UUD 1945. Bukan lagi presiden,” katanya.
Kalangan DPR juga mengingatkan langkah pemerintah menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden itu sebagai melanggar konstitusi. Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa, misalnya, memastikan bila pasal itu kembali dihidupkan maka akan digugurkan kembali di MK. ”Makanya itu dibatalkan karena tidak sesuai konstitusi dan digugat. Kalau ini tetap (diusulkan), berarti pemerintah tidak sesuai konstitusi,” kata Desmond.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo melihat Presiden dan para stafnya tidak teliti membaca kembali 768 pasal dalam rancangan KUHP itu. ”Jadi tidak mungkin DPR meloloskan pasal itu. Utamanya karena pasal dimaksud sudah dibatalkan MK pada 2006,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Jazuli Juwaini juga mengingatkan bahwa pasal itu telah dicabut oleh MK pada 2006 dengan argumen konstitusionalitas yang jelas serta mempertimbangkan kemajuan kehidupan berdemokrasi.
”Jangan sampai sikap pemerintah ini menjadi preseden buruk atas terjadinya pelanggaran atau pengabaian putusan-putusan MK sehingga menjatuhkan marwah lembaga demokrasi ini,” tolak Ketua Fraksi PKS itu.
Serahkan ke DPR
Presiden Jokowi menyerahkan sepenuhnya RUU KUHP menyangkut pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden kepada DPR. Menurut Presiden, apakah RUU akan disetujui oleh DPR atau tidak, sepenuhnya merupakan kewenangan para wakil rakyat.
”Ya itu kan juga rancangan, terserah di Dewan (DPR) dong, itu kan baru rancangan saja kok sudah ramai. Masalah seperti itu sudah saya sampaikan kemarin, kalau saya sejak wali kota, sejak jadi gubernur, setelah jadi presiden sudah dicemooh, diejek, dijelek- jelekkan, (itu) sudah makanan sehari-hari,” kilah Presiden di Istana Bogor, Jawa Barat.
Presiden menilai wajar banyaknya berbagai pihak yang mengkritik usulan pemerintah mengajukan RUU KUHP ini ke dalam Prolegnas 2015. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga menilai perbedaan pendapat mengenai pengajuan rancangan undang-undang ini bukan masalah besar.
Dia lantas menuturkan, pengajuan rancangan undang-undang tersebut justru akan melindungi orang-orang yang akan mengkritik presiden. Sebaliknya, yang menghina presiden justru akan dikenai pasal penghinaan. Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, draf RUU KUHP tersebut saat ini baru masuk ke DPR dan akan dibahas dalam waktu dekat.
Namun, bila mayoritas anggota Dewan tidak menyetujui draf tersebut, anggota Dewan akan mencabut usulan itu, mengingat keputusan pasal penghinaan sudah ditetapkan dalam putusan MK tahun 2006.
Kiswondari/Rarasati syarief/Nurul adriyana
Bahkan, usulan tersebut dapat berujung pada pemakzulan presiden lantaran pasal itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Peringatan ini disampaikan pakar hukum tata negara Irman Putra Siddin dan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie.
Hingga kemarin Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus meyakinkan bahwa pengajuan RUU ini akan membedakan mereka yang mengkritik presiden dan menghina presiden. ”Tidak bisa. Itu inkonstitusional. Kalau presiden mengajukan yang inkonstitusional maka DPR bisa interpelasi, bahkan menyatakan pendapat bahwa presiden melanggar konstitusi, bisa berujung pada pemakzulan presiden,” ujar Irman Putra Sidin di Jakarta, kemarin.
Dengan alasan tersebut tidak ada alasan lagi bagi DPR untuk menerima rancangan undang- undang itu. Bahkan, DPR bisa menilai usulan itu melanggar konstitusi lewat sejumlah mekanisme yang berlaku di DPR. ”Tidak hanya ditolak, tapi bisa berujung pada pemakzulan presiden,” kata Irman.
Jimly membenarkan pasal penghinaan sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional oleh MKkarena sudah ketinggalanzaman dan tidak sesuai dengan peradaban berdemokrasi. ”Sejarahnya pasal itu masih sangat feodal. Dulu kepala negara dianggap sebagai simbol negara. Ini teori lama. Sekarang simbol atau lambang negara kan sudah ada di Pasal 36 UUD 1945. Bukan lagi presiden,” katanya.
Kalangan DPR juga mengingatkan langkah pemerintah menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden itu sebagai melanggar konstitusi. Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa, misalnya, memastikan bila pasal itu kembali dihidupkan maka akan digugurkan kembali di MK. ”Makanya itu dibatalkan karena tidak sesuai konstitusi dan digugat. Kalau ini tetap (diusulkan), berarti pemerintah tidak sesuai konstitusi,” kata Desmond.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo melihat Presiden dan para stafnya tidak teliti membaca kembali 768 pasal dalam rancangan KUHP itu. ”Jadi tidak mungkin DPR meloloskan pasal itu. Utamanya karena pasal dimaksud sudah dibatalkan MK pada 2006,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Jazuli Juwaini juga mengingatkan bahwa pasal itu telah dicabut oleh MK pada 2006 dengan argumen konstitusionalitas yang jelas serta mempertimbangkan kemajuan kehidupan berdemokrasi.
”Jangan sampai sikap pemerintah ini menjadi preseden buruk atas terjadinya pelanggaran atau pengabaian putusan-putusan MK sehingga menjatuhkan marwah lembaga demokrasi ini,” tolak Ketua Fraksi PKS itu.
Serahkan ke DPR
Presiden Jokowi menyerahkan sepenuhnya RUU KUHP menyangkut pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden kepada DPR. Menurut Presiden, apakah RUU akan disetujui oleh DPR atau tidak, sepenuhnya merupakan kewenangan para wakil rakyat.
”Ya itu kan juga rancangan, terserah di Dewan (DPR) dong, itu kan baru rancangan saja kok sudah ramai. Masalah seperti itu sudah saya sampaikan kemarin, kalau saya sejak wali kota, sejak jadi gubernur, setelah jadi presiden sudah dicemooh, diejek, dijelek- jelekkan, (itu) sudah makanan sehari-hari,” kilah Presiden di Istana Bogor, Jawa Barat.
Presiden menilai wajar banyaknya berbagai pihak yang mengkritik usulan pemerintah mengajukan RUU KUHP ini ke dalam Prolegnas 2015. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga menilai perbedaan pendapat mengenai pengajuan rancangan undang-undang ini bukan masalah besar.
Dia lantas menuturkan, pengajuan rancangan undang-undang tersebut justru akan melindungi orang-orang yang akan mengkritik presiden. Sebaliknya, yang menghina presiden justru akan dikenai pasal penghinaan. Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, draf RUU KUHP tersebut saat ini baru masuk ke DPR dan akan dibahas dalam waktu dekat.
Namun, bila mayoritas anggota Dewan tidak menyetujui draf tersebut, anggota Dewan akan mencabut usulan itu, mengingat keputusan pasal penghinaan sudah ditetapkan dalam putusan MK tahun 2006.
Kiswondari/Rarasati syarief/Nurul adriyana
(ftr)