Lagi, Ekonomi Lesu
A
A
A
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua kembali menjauhi target pemerintah. Badan Pusat Statistik (BPS) memublikasikan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tercatat 4,67%, lebih rendah dibandingkan kuartal pertama yang mencapai 4,72%.
Dan, secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi sepanjang semester pertama 2015 masih di bawah 5% atau tepatnya 4,7%. Pengumuman BPS itu disambut negatif pasar uang, posisi rupiah melemah di level Rp13.513 per dolar AS pada penutupan perdagangan kemarin, dibandingkan pada penutupan perdagangan sehari sebelumnya di posisi Rp13.448 per dolar AS.
Sebaliknya, indeks harga saham gabungan (IHSG) mengalami rebound 69 poin yang didongkrak aksi beli investor domestik. Awalnya, investor saham menahan diri untuk bertransaksi sambil menunggu pengumuman BPS.
Ternyata hasilnya, pertumbuhan ekonomi tidak jauh meleset dari prediksi sejumlah analis saham yang berkisar 4,6% hingga 4,7%. Investor pun tak peduli angka pertumbuhan ekonomi kuartal kedua yang lebih rendah dari kuartal pertama.
Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks melesat sekitar 1,45% ke level 4.850,532 dibandingkan pada penutupan perdagangan sebelumnya. Selain itu, mayoritas bursa saham Asia memang berada di zona hijau, kecuali bursa saham Tiongkok.
Pertumbuhan ekonomi yang masih di luar harapan itu, seperti dilansir BPS, terganjal berbagai persoalan mulai daya serap anggaran yang tidak sesuai dengan prediksi sebelumnya alias masih lemah, harga sejumlah komoditas yang turun baik minyak dan gas (migas) maupun nonmigas, dan pertumbuhan ekonomi sejumlah negara mitra dagang Indonesia yang melambat, serta pelemahan kurs rupiah yang makin dalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat pelaku usaha memilih wait and see karena situasi tak menentu. Sebelumnya, baik Bank Indonesia (BI) maupun BPS sudah memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal kedua kembali melambat dan lebih rendah dibandingkan kuartal pertama. Belanja pemerintah yang semula diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua ternyata meleset, realisasi belanja modal pemerintah tercatat masih minim. Realisasi belanja modal berdasarkan data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru tercatat Rp30,2 triliun atau sekitar 11% dari pagu yang dipatok sebesar Rp275,8 triliun sepanjang semester pertama tahun ini.
Meski demikian, Kemenkeu menganggap wajar saja sebab belanja negara, khususnya belanja modal, akan menguat pada semester kedua dengan perkiraan daya serap mencapai 80% hingga 85% hingga akhir tahun. Sementara itu, faktor eksternal yang juga menentukan arah pertumbuhan ekonomi nasional adalah kondisi negara mitra dagang.
Pada kuartal kedua ini, sejumlah negara mitra dagang Indonesia juga mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengalami stagnan di level 7%, dan perekonomian Negeri Paman Sam juga tumbuh melambat dari 2,9% pada kuartal pertama menjadi 2,3% pada kuartal kedua tahun ini.
Padahal, kedua negara tersebut adalah pangsa pasar utama ekspor Indonesia selama ini. Meski pertumbuhan ekonomi pada dua kuartal dalam tahun ini tidak mencapai target yang dipatok pemerintah, pihak BPS mengklaim bahwa masih terdapat optimisme membaik dalam pada dua kuartal ke depan.
Peluang itu, sebagaimana dikutip BPS, terlihat dari perkiraan indeks tendensi bisnis (ITB) yang meningkat dari 105,46 pada kuartal kedua menjadi 106,9 pada kuartal ketiga tahun ini. ITB adalah indikator perkembangan ekonomi berdasarkan survei tendensi bisnis bersama BI, yang melibatkan 3.280 perusahaan besar dan sedang.
Pertanyaan besarnya adalah bagaimana pemerintah menjaga optimisme dari kalangan dunia usaha di tengah pelambatan ekonomi? Jawabannya cukup sederhana, percepat penyerapan anggaran belanja. Hanya, implementasinya tidak sesederhana yang dibayangkan.
Kendala penyerapan anggaran belakangan ini justru muncul dari ketakutan para pengelola negara baik pejabat di tingkat pusat maupun daerah untuk membelanjakan anggaran dengan alasan unsur kehati-hatian dalam menggunakan anggaran agar tidak bersentuhan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dan, secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi sepanjang semester pertama 2015 masih di bawah 5% atau tepatnya 4,7%. Pengumuman BPS itu disambut negatif pasar uang, posisi rupiah melemah di level Rp13.513 per dolar AS pada penutupan perdagangan kemarin, dibandingkan pada penutupan perdagangan sehari sebelumnya di posisi Rp13.448 per dolar AS.
Sebaliknya, indeks harga saham gabungan (IHSG) mengalami rebound 69 poin yang didongkrak aksi beli investor domestik. Awalnya, investor saham menahan diri untuk bertransaksi sambil menunggu pengumuman BPS.
Ternyata hasilnya, pertumbuhan ekonomi tidak jauh meleset dari prediksi sejumlah analis saham yang berkisar 4,6% hingga 4,7%. Investor pun tak peduli angka pertumbuhan ekonomi kuartal kedua yang lebih rendah dari kuartal pertama.
Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks melesat sekitar 1,45% ke level 4.850,532 dibandingkan pada penutupan perdagangan sebelumnya. Selain itu, mayoritas bursa saham Asia memang berada di zona hijau, kecuali bursa saham Tiongkok.
Pertumbuhan ekonomi yang masih di luar harapan itu, seperti dilansir BPS, terganjal berbagai persoalan mulai daya serap anggaran yang tidak sesuai dengan prediksi sebelumnya alias masih lemah, harga sejumlah komoditas yang turun baik minyak dan gas (migas) maupun nonmigas, dan pertumbuhan ekonomi sejumlah negara mitra dagang Indonesia yang melambat, serta pelemahan kurs rupiah yang makin dalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat pelaku usaha memilih wait and see karena situasi tak menentu. Sebelumnya, baik Bank Indonesia (BI) maupun BPS sudah memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal kedua kembali melambat dan lebih rendah dibandingkan kuartal pertama. Belanja pemerintah yang semula diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua ternyata meleset, realisasi belanja modal pemerintah tercatat masih minim. Realisasi belanja modal berdasarkan data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru tercatat Rp30,2 triliun atau sekitar 11% dari pagu yang dipatok sebesar Rp275,8 triliun sepanjang semester pertama tahun ini.
Meski demikian, Kemenkeu menganggap wajar saja sebab belanja negara, khususnya belanja modal, akan menguat pada semester kedua dengan perkiraan daya serap mencapai 80% hingga 85% hingga akhir tahun. Sementara itu, faktor eksternal yang juga menentukan arah pertumbuhan ekonomi nasional adalah kondisi negara mitra dagang.
Pada kuartal kedua ini, sejumlah negara mitra dagang Indonesia juga mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengalami stagnan di level 7%, dan perekonomian Negeri Paman Sam juga tumbuh melambat dari 2,9% pada kuartal pertama menjadi 2,3% pada kuartal kedua tahun ini.
Padahal, kedua negara tersebut adalah pangsa pasar utama ekspor Indonesia selama ini. Meski pertumbuhan ekonomi pada dua kuartal dalam tahun ini tidak mencapai target yang dipatok pemerintah, pihak BPS mengklaim bahwa masih terdapat optimisme membaik dalam pada dua kuartal ke depan.
Peluang itu, sebagaimana dikutip BPS, terlihat dari perkiraan indeks tendensi bisnis (ITB) yang meningkat dari 105,46 pada kuartal kedua menjadi 106,9 pada kuartal ketiga tahun ini. ITB adalah indikator perkembangan ekonomi berdasarkan survei tendensi bisnis bersama BI, yang melibatkan 3.280 perusahaan besar dan sedang.
Pertanyaan besarnya adalah bagaimana pemerintah menjaga optimisme dari kalangan dunia usaha di tengah pelambatan ekonomi? Jawabannya cukup sederhana, percepat penyerapan anggaran belanja. Hanya, implementasinya tidak sesederhana yang dibayangkan.
Kendala penyerapan anggaran belakangan ini justru muncul dari ketakutan para pengelola negara baik pejabat di tingkat pusat maupun daerah untuk membelanjakan anggaran dengan alasan unsur kehati-hatian dalam menggunakan anggaran agar tidak bersentuhan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(bhr)