Pasal Penghinaan Presiden, Jimly Sindir SBY
A
A
A
JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyindir Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait penghidupan kembali pasal penghinaan presiden.
Menurut Jimly, bukan pemerintahan Jokowi yang ingin menghidupkan kembali pasal itu, melainkan pemerintahan sebelumnya era SBY. Presiden SBY dinilainya sering mengeluh pasca MK menggugurkan pasal penghinaan presiden pada tahun 2006 silam.
"Mohon maaf, presiden kita itu suka ngeluh gara-gara putusan (MK gugurkan pasal penghinaan presiden) itu. Begitu dia menyampaikan keluhan, langsung semua pejabat 'wah ini harus dikembalikan lagi nih pasal'. Bukan sekarang, sejak (pemerintahan) kemarin (diajukan)," kata Jimly di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa 4 Agustus 2015 malam.
Dia menerangkan, semakin tinggi jabatan, semakin banyak kritikan. Menurut dia, seorang presiden pun tidak perlu gerah lantaran fotonya diinjak.
"Ngapain presiden ngurusin potonya diinjek, tidak perlu diurus, itu kreativitas anak-anak di jalanan, masa diurus," katanya. Lebih lanjut, kata Jimly, dalam sistem feodal terkadang yang lebih tersinggung bukan presiden melainkan polisi.
"Itu lah yang menghambat demokrasi dan kebebasan berpendapat, polisi kadang-kadang sebagai penegak hukum lebih tersinggung dari si presidennya. Begitu lihat foto presidennya, waduh presiden saya marah nih, langsung deh (dipidanakan)," kata Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini.
Tindakan tersebut, lanjut dia, merusak kebebasan. "Kalau orang mau jadi presiden, jadi pejabat, harus siap dikritik. Kalau enggak, ya jangan," imbuhnya.
Jimly berpandangan, banyak ahli hukum pidana yang larut pada teori teknis hukum pidana, sehingga mengabaikan kebebasan berpendapat atau demokrasi. "Mereka anggap presiden itu simbol suatu negara. Itu teori abad 17, kepala negara sebagai simbol," ucapnya.
Kendati demikian, dia berpendapat, siapapun tidak boleh menghina presiden. "Tapi seandainya seorang presiden merasa dihina, maka yang merasa terhina itu individu, perasaan pribadi, bukan intitusi presiden," tuturnya.
"Kalau institusi presiden tidak punya perasaan. Lembaga presiden itu tidak bisa merasa dihina, karena dia intitusi. Nah siapa yang boleh terhina? Itu pribadi," pungkasnya.
Sekadar diketahui, MK telah menggugurkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden pada 2006 silam. Saat itu, Jimly selaku ketua majelis hakim konstitusi yang memutuskan Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan MK saat itu mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan seorang pengacara, Eggi Sudjana.
PILIHAN:
Soal Pasal Penghinaan Presiden, Jokowi Diingatkan Bukan Raja
JK Nilai Wajar Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Lagi
Menurut Jimly, bukan pemerintahan Jokowi yang ingin menghidupkan kembali pasal itu, melainkan pemerintahan sebelumnya era SBY. Presiden SBY dinilainya sering mengeluh pasca MK menggugurkan pasal penghinaan presiden pada tahun 2006 silam.
"Mohon maaf, presiden kita itu suka ngeluh gara-gara putusan (MK gugurkan pasal penghinaan presiden) itu. Begitu dia menyampaikan keluhan, langsung semua pejabat 'wah ini harus dikembalikan lagi nih pasal'. Bukan sekarang, sejak (pemerintahan) kemarin (diajukan)," kata Jimly di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa 4 Agustus 2015 malam.
Dia menerangkan, semakin tinggi jabatan, semakin banyak kritikan. Menurut dia, seorang presiden pun tidak perlu gerah lantaran fotonya diinjak.
"Ngapain presiden ngurusin potonya diinjek, tidak perlu diurus, itu kreativitas anak-anak di jalanan, masa diurus," katanya. Lebih lanjut, kata Jimly, dalam sistem feodal terkadang yang lebih tersinggung bukan presiden melainkan polisi.
"Itu lah yang menghambat demokrasi dan kebebasan berpendapat, polisi kadang-kadang sebagai penegak hukum lebih tersinggung dari si presidennya. Begitu lihat foto presidennya, waduh presiden saya marah nih, langsung deh (dipidanakan)," kata Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini.
Tindakan tersebut, lanjut dia, merusak kebebasan. "Kalau orang mau jadi presiden, jadi pejabat, harus siap dikritik. Kalau enggak, ya jangan," imbuhnya.
Jimly berpandangan, banyak ahli hukum pidana yang larut pada teori teknis hukum pidana, sehingga mengabaikan kebebasan berpendapat atau demokrasi. "Mereka anggap presiden itu simbol suatu negara. Itu teori abad 17, kepala negara sebagai simbol," ucapnya.
Kendati demikian, dia berpendapat, siapapun tidak boleh menghina presiden. "Tapi seandainya seorang presiden merasa dihina, maka yang merasa terhina itu individu, perasaan pribadi, bukan intitusi presiden," tuturnya.
"Kalau institusi presiden tidak punya perasaan. Lembaga presiden itu tidak bisa merasa dihina, karena dia intitusi. Nah siapa yang boleh terhina? Itu pribadi," pungkasnya.
Sekadar diketahui, MK telah menggugurkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden pada 2006 silam. Saat itu, Jimly selaku ketua majelis hakim konstitusi yang memutuskan Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan MK saat itu mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan seorang pengacara, Eggi Sudjana.
PILIHAN:
Soal Pasal Penghinaan Presiden, Jokowi Diingatkan Bukan Raja
JK Nilai Wajar Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Lagi
(kri)