Jangan Salahkan Warga Desa
A
A
A
Setiap habis Lebaran, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu mengadakan Operasi Yustisi Kependudukan (OYK).
Sasaran utama dari operasi tersebut adalah para pendatang yang masuk ke Jakarta bersamaan dengan arus balik sehabis libur Lebaran. Pada 2015 Pemprov DKI Jakarta mengimbau para pendatang untuk memiliki usaha, pekerjaan, dan tempat tinggal tetap sebelum datang ke Jakarta. Jika ditinjau dari perspektif sederhana, operasi tersebut terasa aneh.
Para jobless justru berjejalan masuk ke Jakarta dengan tujuan untuk mencari pekerjaan. Kalau para pendatang sudah memiliki pekerjaan di tempat asalnya, justru mereka tidak akan repot-repot pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib. OYK juga dipersepsikan sebagai langkah yang kurang efektif dalam mengendalikan arus urbanisasi yang terjadi setiap tahun di Ibu Kota.
Pemerintah memerlukan skema kebijakan holistik dan menyentuh akar permasalahan untuk menyelesaikan persoalan urbanisasi ini. Otonomi daerah yang berlangsung selama satu dekade ini—sebagai manifestasi upaya desentralisasi—nyatanya tidak mampu membendung warga di daerah untuk datang ke Jakarta.
Pembangunan infrastruktur dan perekonomian di daerah tidak berjalan efektif. Perputaran roda perekonomian masif masih berlangsung di Jakarta. Otonomi daerah memang telah mengatur distribusi pendapatan nasional kepada daerah untuk pembangunan dan belanja pegawai negeri di daerah. Namun, tidak bisa ditampik bahwa pemerintah pusat masih menjadi pemeran utama dalam pengelolaan pendapatan nasional.
Selain itu, arus investasi yang masuk juga masih difokuskan pada pengembangan perusahaan yang berpusat di Ibu Kota. Perusahaan di daerah hanya berperan sebagai subkontraktor yang wewenang dan biayanya terbatas. Relevansi kondisi ini adalah kenyataan bahwa di Indonesia, bisnis tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Pusat-pusat perekonomian masih bercokol di Jakarta.
Perusahaan-perusahaan di daerah, baik BUMN maupun swasta, merasa perlu untuk mendirikan kantor pusat di Jakarta. Ini menjadikan Ibu Kota sebagai poros dari dua motor penggerak pembangunan yakni administratif pemerintahan dan bisnis. Tidak heran jika gula-gula perekonomian masih terus bertebaran dan menarik warga desa untuk mencicipi manisnya kehidupan di Ibu Kota.
Uraian singkat di atas menunjukkan, bagaimanapun Jakarta akan tetap menjadi tujuan utama kaum suburban untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Upaya untuk melarang dan mempersulit warga desa datang ke Jakarta tidak semestinya dilakukan oleh pemerintah karena bertentangan dengan asas keadilan bagi seluruh rakyat.
Selama pundi-pundi perekonomian dan perputaran uang masih berpusat di Jakarta dan desentralisasi untuk pemerataan pembangunan di Indonesia masih berjalan setengah hati, jangan salahkan warga desa untuk datang ke Jakarta.
MOCHAMMAD IQBAL TAWAKAL
Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang
Sasaran utama dari operasi tersebut adalah para pendatang yang masuk ke Jakarta bersamaan dengan arus balik sehabis libur Lebaran. Pada 2015 Pemprov DKI Jakarta mengimbau para pendatang untuk memiliki usaha, pekerjaan, dan tempat tinggal tetap sebelum datang ke Jakarta. Jika ditinjau dari perspektif sederhana, operasi tersebut terasa aneh.
Para jobless justru berjejalan masuk ke Jakarta dengan tujuan untuk mencari pekerjaan. Kalau para pendatang sudah memiliki pekerjaan di tempat asalnya, justru mereka tidak akan repot-repot pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib. OYK juga dipersepsikan sebagai langkah yang kurang efektif dalam mengendalikan arus urbanisasi yang terjadi setiap tahun di Ibu Kota.
Pemerintah memerlukan skema kebijakan holistik dan menyentuh akar permasalahan untuk menyelesaikan persoalan urbanisasi ini. Otonomi daerah yang berlangsung selama satu dekade ini—sebagai manifestasi upaya desentralisasi—nyatanya tidak mampu membendung warga di daerah untuk datang ke Jakarta.
Pembangunan infrastruktur dan perekonomian di daerah tidak berjalan efektif. Perputaran roda perekonomian masif masih berlangsung di Jakarta. Otonomi daerah memang telah mengatur distribusi pendapatan nasional kepada daerah untuk pembangunan dan belanja pegawai negeri di daerah. Namun, tidak bisa ditampik bahwa pemerintah pusat masih menjadi pemeran utama dalam pengelolaan pendapatan nasional.
Selain itu, arus investasi yang masuk juga masih difokuskan pada pengembangan perusahaan yang berpusat di Ibu Kota. Perusahaan di daerah hanya berperan sebagai subkontraktor yang wewenang dan biayanya terbatas. Relevansi kondisi ini adalah kenyataan bahwa di Indonesia, bisnis tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Pusat-pusat perekonomian masih bercokol di Jakarta.
Perusahaan-perusahaan di daerah, baik BUMN maupun swasta, merasa perlu untuk mendirikan kantor pusat di Jakarta. Ini menjadikan Ibu Kota sebagai poros dari dua motor penggerak pembangunan yakni administratif pemerintahan dan bisnis. Tidak heran jika gula-gula perekonomian masih terus bertebaran dan menarik warga desa untuk mencicipi manisnya kehidupan di Ibu Kota.
Uraian singkat di atas menunjukkan, bagaimanapun Jakarta akan tetap menjadi tujuan utama kaum suburban untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Upaya untuk melarang dan mempersulit warga desa datang ke Jakarta tidak semestinya dilakukan oleh pemerintah karena bertentangan dengan asas keadilan bagi seluruh rakyat.
Selama pundi-pundi perekonomian dan perputaran uang masih berpusat di Jakarta dan desentralisasi untuk pemerataan pembangunan di Indonesia masih berjalan setengah hati, jangan salahkan warga desa untuk datang ke Jakarta.
MOCHAMMAD IQBAL TAWAKAL
Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang
(ftr)