PN Jaksel Gelar Sidang Praperadilan Perdana Handoko
A
A
A
JAKARTA - Sidang perdana Mantan Direktur Utama PT Arga Citra Kharisma (PT ACK) Handoko Lie digelar hari ini di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) dipimpin Hakim Tunggal Tamrin Tarigan.
Handoko adalah tersangka dalam dugaan kasus korupsi sengketa lahan yang terjadi antara PT ACK dengan PT Kereta Api (Persero) pada tahun 2013 yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Kita sudah mengajukan praperadilan. Kita mewakili Handoko Lie terkait dengan kasus tanah di Jalan Timor, Kota Medan," kata kuasa hukumnya, Nicholas Reidi, di Jakarta, Minggu 2 Agustus 2015.
Dia menjelaskan, berkas permohonan praperadilan adalah menyangkut perkara dugaan korupsi dalam pengalihan hak atas tanah PJKA menjadi hak pengelolaan (HPL) Pemerintah Daerah (Pemda) atau Pemerintah Kota (Pemkot) Tingkat II Medan Tahun 1982.
Menurutnya, dalam perolehan hak guna bangunan (HGB) tahun 1994 dan peralihan HGB tahun 2004 serta perpanjangan HGB tahun 2011 atas nama PT ACK. "Pada intinya didalam praperadilan kita fokus pada empat hal," jelasnya.
Dia menyebutkan, terkait penyidikan yang dilakukan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) atas penyelidikan yang sebelumnya dilakukan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara (Sumut) dan Kepolisian Daerah (Polda) Sumut, Namun, tidak dapat dibuktikan.
"Kedua, terkait penetapan tersangka berkaitan dengan sprindik (surat perintah penyidikan) diatas. Kemudian ketiga penahanan atas diri Handokoli dan terakhir penyitaan," terangnya.
Dia menceritakan, sengketa lahan yang terjadi antara Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) Sumatera Utara (Sumut) dengan mantan Direktur Utama (Dirut) PT Arga Citra Kharisma (PT ACK) Handoko Lie bermula dari pelimpahan sebidang tanah berukuran 34.776 meter persegi. Lokasinya berada di Jalan Timor atau Veteran, Kelurahan Gang Buntu, Kecamatan Medan Timur Kota Medan, Sumut.
Sengketa ini berujung pada penetapan tersangka Handoko oleh Kejagung atas dugaan korupsi dalam pengalihan hak atas tanah PJKA menjadi HPL Pemda atau Pemkot Tingkat II Medan Tahun 1982. Selain itu, perolehan HGB tahun 1994 dan peralihan HGB tahun 2004 serta perpanjangan HGB tahun 2011 atas nama PT ACK.
Kejadian bermula pada 22 Februari 1982, ketika Kepala Ekspolitasi PJKA Sumut Johannes Tagor Situmorang menanggalkan hak dan menyerahkan lahan tersebut kepada Pemda Tingkat II Kotamadya Medan.
"Yaitu hak dan wewenang atas tanah negara seluas 34.776 m2 berikut segala bangunan yang berdiri diatasnya secara cuma-cuma dan tanpa syarat," terangnya.
Penyataan itu dikatakan Nicholas telah mendapat persetujuan dari Departemen Perhubungan yang saat ini menjadi Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dan Menteri Keuangan (Menkeu).
Dia menambahkan, setelah dinyatakan sah dan menerbitkan sertifikat HPL, Pemkot Medan membuat perjanjian dengan PJKA.
"Perjanjian itu mengatur bahwa Pemda Medan selaku pihak pertama diminta menyediakan 288 unit rumah dinas karyawan PJKA berikut sarana dan prasarana diatas tanah tersebut," tuturnya.
Selanjutnya, Pemkot Medan dan PJKA menunjuk PT Inanta Timber dan Trading Co Ltd dalam melaksanakan pengosongan dan pembangunan tanah tersebut.
Namun, PT Inanta merasa tidak sanggup dan kemudian menjual HGB diatas HPL yang sebelumnya diberikan Pemprov Medan kepada PT Bonauli Real Estate.
"Padahal kewenangan HGB diatas HGL sudah atas nama Pemkot Medan. Inilah yang ditembak jaksa bahwa ini tindak pidana. Padahal ini juga berdasar persetujuan PJKA," jelasnya.
Akhirnya, kata dia, Menteri BUMN kala itu Laksamana Sukardi meminta pengosongan dan pembangunan tanah tersebut ditukar uang Rp13 miliar. Lanjutnya, PT Bonauli menjualnya kepada PT ACK. "Semua menjadi tanggung jawab PT ACK pada saat itu,"
tukasnya.
Sebelumnya, pada 10 Februari 2004 PJKA kemudian melakukan musyawarah dengan PT Bonauli guna menghitung ulang kompensasi yang akhirnya disepakati juga oleh Menteri BUMN sebesar Rp13 miliar.
Namun, kenyataannya PJKA yang sekarang menjadi PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) tidak pernah memberitahukan secara tertulis kepada PT ACK maupun kepada Pemkot Medan.
"Sehingga PT ACK baru pada 2010 baru mengetahui adanya surat Menteri BUMN tersebut," kata dia.
Setelah itu, PT ACK menemui PT KAI untuk melakukan pembayaran kompensasi baik
secara langsung maupun melalui surat. Namun, upaya itu kata Nicholas tidak pernah ditanggapi.
"Oleh karena itu, PT ACK menitipkan uang kompensasi ke PN Medan. Namun tetap ditolak oleh PT KAI," kata dia.
Sementara itu, PT ACK kemudian berkeinginan untuk memperpanjang sertifikat HGB
kepada Pemkot Medan selaku pemilik HPL dengan membayar Rp256.720.000 dan Rp3.130.512.000. Hal itu disetujui Walikota Medan saat itu.
Pada 2010, kepemilikan HGB diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati Sumut) dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi adanya perpanjangan HGB atas HPL tanah milik Pemkot Medan. Kemudian pada 2012, diperiksa kembali oleh Kepolisian Daerah
(Polda) Sumut.
"Keduanya penyelidikannya telah dihentikan karena belum ditemukannya bukti permulaan yang cukup," tandasnya.
Dia mengatakan, pada 2013 Kejagung melakukan penyelidikan ulang yang sama dengan penyelidikan yang dilakukan dengan Kejati dan Polda Sumut yang burujung penetapan tersangka pada Handoko yang kala itu menjabat Dirut PT ACK.
Handoko adalah tersangka dalam dugaan kasus korupsi sengketa lahan yang terjadi antara PT ACK dengan PT Kereta Api (Persero) pada tahun 2013 yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Kita sudah mengajukan praperadilan. Kita mewakili Handoko Lie terkait dengan kasus tanah di Jalan Timor, Kota Medan," kata kuasa hukumnya, Nicholas Reidi, di Jakarta, Minggu 2 Agustus 2015.
Dia menjelaskan, berkas permohonan praperadilan adalah menyangkut perkara dugaan korupsi dalam pengalihan hak atas tanah PJKA menjadi hak pengelolaan (HPL) Pemerintah Daerah (Pemda) atau Pemerintah Kota (Pemkot) Tingkat II Medan Tahun 1982.
Menurutnya, dalam perolehan hak guna bangunan (HGB) tahun 1994 dan peralihan HGB tahun 2004 serta perpanjangan HGB tahun 2011 atas nama PT ACK. "Pada intinya didalam praperadilan kita fokus pada empat hal," jelasnya.
Dia menyebutkan, terkait penyidikan yang dilakukan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) atas penyelidikan yang sebelumnya dilakukan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara (Sumut) dan Kepolisian Daerah (Polda) Sumut, Namun, tidak dapat dibuktikan.
"Kedua, terkait penetapan tersangka berkaitan dengan sprindik (surat perintah penyidikan) diatas. Kemudian ketiga penahanan atas diri Handokoli dan terakhir penyitaan," terangnya.
Dia menceritakan, sengketa lahan yang terjadi antara Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) Sumatera Utara (Sumut) dengan mantan Direktur Utama (Dirut) PT Arga Citra Kharisma (PT ACK) Handoko Lie bermula dari pelimpahan sebidang tanah berukuran 34.776 meter persegi. Lokasinya berada di Jalan Timor atau Veteran, Kelurahan Gang Buntu, Kecamatan Medan Timur Kota Medan, Sumut.
Sengketa ini berujung pada penetapan tersangka Handoko oleh Kejagung atas dugaan korupsi dalam pengalihan hak atas tanah PJKA menjadi HPL Pemda atau Pemkot Tingkat II Medan Tahun 1982. Selain itu, perolehan HGB tahun 1994 dan peralihan HGB tahun 2004 serta perpanjangan HGB tahun 2011 atas nama PT ACK.
Kejadian bermula pada 22 Februari 1982, ketika Kepala Ekspolitasi PJKA Sumut Johannes Tagor Situmorang menanggalkan hak dan menyerahkan lahan tersebut kepada Pemda Tingkat II Kotamadya Medan.
"Yaitu hak dan wewenang atas tanah negara seluas 34.776 m2 berikut segala bangunan yang berdiri diatasnya secara cuma-cuma dan tanpa syarat," terangnya.
Penyataan itu dikatakan Nicholas telah mendapat persetujuan dari Departemen Perhubungan yang saat ini menjadi Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dan Menteri Keuangan (Menkeu).
Dia menambahkan, setelah dinyatakan sah dan menerbitkan sertifikat HPL, Pemkot Medan membuat perjanjian dengan PJKA.
"Perjanjian itu mengatur bahwa Pemda Medan selaku pihak pertama diminta menyediakan 288 unit rumah dinas karyawan PJKA berikut sarana dan prasarana diatas tanah tersebut," tuturnya.
Selanjutnya, Pemkot Medan dan PJKA menunjuk PT Inanta Timber dan Trading Co Ltd dalam melaksanakan pengosongan dan pembangunan tanah tersebut.
Namun, PT Inanta merasa tidak sanggup dan kemudian menjual HGB diatas HPL yang sebelumnya diberikan Pemprov Medan kepada PT Bonauli Real Estate.
"Padahal kewenangan HGB diatas HGL sudah atas nama Pemkot Medan. Inilah yang ditembak jaksa bahwa ini tindak pidana. Padahal ini juga berdasar persetujuan PJKA," jelasnya.
Akhirnya, kata dia, Menteri BUMN kala itu Laksamana Sukardi meminta pengosongan dan pembangunan tanah tersebut ditukar uang Rp13 miliar. Lanjutnya, PT Bonauli menjualnya kepada PT ACK. "Semua menjadi tanggung jawab PT ACK pada saat itu,"
tukasnya.
Sebelumnya, pada 10 Februari 2004 PJKA kemudian melakukan musyawarah dengan PT Bonauli guna menghitung ulang kompensasi yang akhirnya disepakati juga oleh Menteri BUMN sebesar Rp13 miliar.
Namun, kenyataannya PJKA yang sekarang menjadi PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) tidak pernah memberitahukan secara tertulis kepada PT ACK maupun kepada Pemkot Medan.
"Sehingga PT ACK baru pada 2010 baru mengetahui adanya surat Menteri BUMN tersebut," kata dia.
Setelah itu, PT ACK menemui PT KAI untuk melakukan pembayaran kompensasi baik
secara langsung maupun melalui surat. Namun, upaya itu kata Nicholas tidak pernah ditanggapi.
"Oleh karena itu, PT ACK menitipkan uang kompensasi ke PN Medan. Namun tetap ditolak oleh PT KAI," kata dia.
Sementara itu, PT ACK kemudian berkeinginan untuk memperpanjang sertifikat HGB
kepada Pemkot Medan selaku pemilik HPL dengan membayar Rp256.720.000 dan Rp3.130.512.000. Hal itu disetujui Walikota Medan saat itu.
Pada 2010, kepemilikan HGB diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati Sumut) dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi adanya perpanjangan HGB atas HPL tanah milik Pemkot Medan. Kemudian pada 2012, diperiksa kembali oleh Kepolisian Daerah
(Polda) Sumut.
"Keduanya penyelidikannya telah dihentikan karena belum ditemukannya bukti permulaan yang cukup," tandasnya.
Dia mengatakan, pada 2013 Kejagung melakukan penyelidikan ulang yang sama dengan penyelidikan yang dilakukan dengan Kejati dan Polda Sumut yang burujung penetapan tersangka pada Handoko yang kala itu menjabat Dirut PT ACK.
(kur)