Meredam Arus Urbanisasi
A
A
A
Alek Karci Kurniawan
Mahasiswa Fakultas Hukum
Disparitas pertumbuhan ekonomi antara desa dan kota yang begitu besar laksana penyulut motivasi penduduk desa melakukan urbanisasi.
Hal ini terkonfigurasi pada pertumbuhan tenaga kerja di desa tidak menambah output desa. Sebagai gambaran sederhana, penambahan satu tenaga kerja tidak menambah satu kilogram beras (Siko Dian Sigit Wiyanto, 2015). Data dari Kemenkeu menerangkan fenomena ketimpangan pendapatan antardaerah yang stagnan 0,41 dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Di kota-kota tujuan urbanisasi, mengapungkan ekses yang ruwet. Berbagai masalah membelenggu.
Mulai dari kemacetan, tata kota yang semrawut, kepadatan penduduk, hingga tingkat kriminalitas yang tinggi yang secara sporadis berlangsung di kota-kota. Sedangkan desa lapuk, menjadi wilayah terpinggirkan dan terbelakang. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pun ternisbikan. Masalahnya berasal dari kegagalan berbagai program pembangunan perdesaan masa lalu disebabkan antara lain penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi program-program pembangunan tidak melibatkan masyarakat.
Maka itu, mengubah paradigma pembangunan adalah sebuah keniscayaan guna menyejahterakan masyarakat desa. Gerakan kolektif pembangunan itu mesti dimulai dari desa atau dengan pola desa membangun. Dalam artian penempatan desa sebagai subjek pemerintahan dan pembangunan. Malcolm J Moseley dalam Rural Development: Principles and Practice (2003) Moseley merumuskan bahwa pembangunan perdesaan layak ditandai dengan penekanan pada strategi pemberdayaan atau pembangunan ekonomi yang diproduksi secara lokal.
Pembangunan pemberdayaan inilah yang dalam UU Desa dimainkan dengan pemberian wewenang, pendelegasian wewenang atau pemberian otonomi kejajaran bawah. Penerbitan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa menandakan dua hal. Pertama, perhatian pada upaya pembangunan desa semakin kuat.
Kedua, paham otonomi asli desa yang semakin kuat dipedomani dengan konsekuensi meletakkan lokus pembangunan pada satuan pemerintahan/komunitas yang paling bawah dan langsung berhubungan dengan rakyat. Dana desa memiliki potensi luar biasa dalam upaya mempercepat pertumbuhan dan pembangunan desa dalam rangka mengatasi berbagai persoalan yang selama ini ada.
Namun, bagaimana menjaga supaya pemanfaatan tersebut tetap di koridor yang diharapkan, menjadi tugas bersama seluruh elemen bangsa di Indonesia. Maka itu, guna meredam arus urbanisasi dalam kerangka mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum, sudah saatnya kita memberdayakan desa.
Bak kata Duta Desa Indonesia kita, Iwan Fals, “.. desa harus jadi kekuatan ekonomi . Agar warganya tak hijrah ke kota. Sepinya desa adalah modal utama. Untuk bekerja dan mengembangkan diri “.
Mahasiswa Fakultas Hukum
Disparitas pertumbuhan ekonomi antara desa dan kota yang begitu besar laksana penyulut motivasi penduduk desa melakukan urbanisasi.
Hal ini terkonfigurasi pada pertumbuhan tenaga kerja di desa tidak menambah output desa. Sebagai gambaran sederhana, penambahan satu tenaga kerja tidak menambah satu kilogram beras (Siko Dian Sigit Wiyanto, 2015). Data dari Kemenkeu menerangkan fenomena ketimpangan pendapatan antardaerah yang stagnan 0,41 dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Di kota-kota tujuan urbanisasi, mengapungkan ekses yang ruwet. Berbagai masalah membelenggu.
Mulai dari kemacetan, tata kota yang semrawut, kepadatan penduduk, hingga tingkat kriminalitas yang tinggi yang secara sporadis berlangsung di kota-kota. Sedangkan desa lapuk, menjadi wilayah terpinggirkan dan terbelakang. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pun ternisbikan. Masalahnya berasal dari kegagalan berbagai program pembangunan perdesaan masa lalu disebabkan antara lain penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi program-program pembangunan tidak melibatkan masyarakat.
Maka itu, mengubah paradigma pembangunan adalah sebuah keniscayaan guna menyejahterakan masyarakat desa. Gerakan kolektif pembangunan itu mesti dimulai dari desa atau dengan pola desa membangun. Dalam artian penempatan desa sebagai subjek pemerintahan dan pembangunan. Malcolm J Moseley dalam Rural Development: Principles and Practice (2003) Moseley merumuskan bahwa pembangunan perdesaan layak ditandai dengan penekanan pada strategi pemberdayaan atau pembangunan ekonomi yang diproduksi secara lokal.
Pembangunan pemberdayaan inilah yang dalam UU Desa dimainkan dengan pemberian wewenang, pendelegasian wewenang atau pemberian otonomi kejajaran bawah. Penerbitan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa menandakan dua hal. Pertama, perhatian pada upaya pembangunan desa semakin kuat.
Kedua, paham otonomi asli desa yang semakin kuat dipedomani dengan konsekuensi meletakkan lokus pembangunan pada satuan pemerintahan/komunitas yang paling bawah dan langsung berhubungan dengan rakyat. Dana desa memiliki potensi luar biasa dalam upaya mempercepat pertumbuhan dan pembangunan desa dalam rangka mengatasi berbagai persoalan yang selama ini ada.
Namun, bagaimana menjaga supaya pemanfaatan tersebut tetap di koridor yang diharapkan, menjadi tugas bersama seluruh elemen bangsa di Indonesia. Maka itu, guna meredam arus urbanisasi dalam kerangka mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum, sudah saatnya kita memberdayakan desa.
Bak kata Duta Desa Indonesia kita, Iwan Fals, “.. desa harus jadi kekuatan ekonomi . Agar warganya tak hijrah ke kota. Sepinya desa adalah modal utama. Untuk bekerja dan mengembangkan diri “.
(ars)