Tetap Berproduksi meski di Bawah Ancaman Bom

Rabu, 29 Juli 2015 - 09:08 WIB
Tetap Berproduksi meski di Bawah Ancaman Bom
Tetap Berproduksi meski di Bawah Ancaman Bom
A A A
Suriah dikenal sebagai negara konflik dan hingga kini masih dalam masa perang. Namun, di balik itu ternyata Suriah memiliki sumber daya alam yang menakjubkan.

Siapa sangka di Suriah tumbuh buah anggur berkualitas yang dapat dibuat menjadi minuman anggur (wine) terkenal. Domaine de Bargylus merupakan nama wine yang terkenal dari Suriah. Kakak beradik, Karim dan Sandro Saade, adalah pengusaha wine yang mewarisi bakat dan kebun dari sang ayah. Keduanya sukses mengelola Domaine de Bargylus hingga menghasilkan 45.000 botol per tahun.

Produk wine -nya bahkan sudah dijual hingga ke seluruh dunia. Sejak perang pecah di Suriah pada 2011, keduanya jarang mengunjungi kebun karena terlalu berbahaya. Sebelum diproses menjadi wine , buah anggur yang dipetik harus melewati perjalanan lebih dari 200 km ke pabriknya di Beirut, Lebanon. Ini hanyalah salah satu dari tantangan logistik yang harus dihadapi saudara keturunan Suriah-Lebanon ini. ”Botol anggur, gabus, dan label, semua harus diimpor dari Prancis. Tapi, produsen botol baru saja mengumumkan mereka tidak bisa lagi mengirim botol ke Suriah,” ujar Karim kepada BBC.

Pada Agustus tahun lalu, setiap tiga hari mereka membawa banyak anggur meninggalkan Latakia di wilayah barat laut Suriah menggunakan taksi. Anggur ini dikemas dalam es untuk menjaga kesegarannya. Setelah anggur siap, lalu dikirim ke gudang di Belgia. ”Anggur-anggur tersebut harus melalui Pelabuhan Said di Mesir sebelum ke Antwerp, Belgia. Perjalanan itu memakan waktu 45 hari,” kata Sandro.

Meski kini keluarga mereka sukses sebagai produsen wine , ayah mereka, Johnny, menolak untuk membeli kebun anggur di Bordeaux, Prancis yang dikenal memiliki kebun anggur produktif. Alasannya sederhana. Dia tidak ingin menghasilkan anggur dari tempat yang jauh. Dia sudah berusaha mencari tempat yang cocok di Lebanon, namun pilihannya akhirnya berlabuh di Suriah. Kembali ke Suriah telah lama menjadi mimpi Johnny.

Sebelumnya keluarganya memiliki tanah di Suriah. Tetapi, pada 1958 Mesir dan Suriah bersatu untuk membentuk Republik Persatuan Arab hingga terjadi serangkaian nasionalisasi aset. ”Suatu hari ayah saya pergi ke salah satu pabrik, tapi dia tidak diizinkan masuk. Dia diberi tahu bahwa lahan ini bukan lagi milik Anda. Itu milik negara,” cerita Sandro. Keluarga mereka kemudian pindah ke Lebanon, tanah kelahiran mereka.

Sebelum terjadi perang pada 2011, memproduksi wine di Suriah termasuk proyek ambisius. Dengan bantuan seorang ahli terkenal dari Bordeaux, Stephane Derenoncourt, mereka menemukan daerah dengan tanah yang menarik dan iklim di pegunungan pesisir Jebel Al-Ansariye. Pada 2006 perusahaan anggur ini mulai produksi pertamanya. ”Kami memiliki anggur yang sangat kuat dan rasanya sangat menarik,” tutur Sandro.

Kemudian, pada 2011, perang pecah. Meskipun daerah sekitar Latakia masih relatif damai di bawah kendali Presiden Assad, tetap saja kekhawatiran selalu menghantui mereka. Selama hampir setahun produksi anggur tidak stabil. Beberapa bom jatuh di kebun anggur, tapi tidak sampai memakan korban jiwa. Meski tidak yakin kebun mereka menjadi target pengeboman, Karim dengan vokal berkomentar.

”Hal pertama yang ditargetkan adalah kebun anggur karena wine dilarang di Suriah.” Hingga saat ini wine asal Suriah cukup populer di luar negeri. Bukan hanya karena rasanya, melainkan bagaimana wine diproduksi penuh dengan tantangan di tengah kondisi perang.

Ananda Nararya
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6322 seconds (0.1#10.140)