Sistem AHWA Jadi Polemik
A
A
A
JAKARTA - Mekanisme pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Muktamar ke-33 NU yang akan digelar 1-5 Agustus di Jombang, Jawa Timur masih menimbulkan polemik.
Sejumlah kandidat mengaku keberatan dengan mekanisme pemilihan melalui sistem formatur atau Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) atau musyawarah mufakat. Pasalnya, mekanisme tersebut dinilai tidak fair dan tidak melibatkan ulama-ulama besar.
Mantan Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah Muhammad Adnan sekaligus calon kandidat ketua umum tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan yang masih ramai diperdebatkan adalah konsep pemilihan. Adnan menyebutkan, ada dua konsep yang digunakan. Pertama, pemilihan lewat formatur atau AHWA. Kedua , pemilihan secara langsung.
”Saya tidak keberatan pemilihan secara langsung, tapi yang jadi persoalan adalah mereka yang menjadi formatur sudah ditentukan. Kitahanyamemilih sembilan orang dari 39 nama yang ada untuk duduk sebagai Ahlul Halli wal Aqdi. Ini tidak fair , apalagi nama-nama besar, ulama besar tidak dilibatkan,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Menurut Adnan, beberapa ulama besar yang tidak masuk dalam susunan AHWA adalah KH Hasyim Muzadi dan Habib Luthfi Ali bin Yahya selaku Rois Aam Thoriqoh se-Indonesia yang merupakan ulama thoriqoh yang tergabung dalam Jami’iyyah Ahlut Thoriqoh Al Mu’Tabaroh An-Nahdlyiiyah.
”Sosok Habib Luthfi ini tidak hanya terkenal di Indonesia, tapi di dunia internasional seperti di negara Arab dan Timur Tengah. Begitu juga Pak Hasyim Muzadi. Masyarakat yang tahu tentu sangat menyayangkan ini,” paparnya. Mengenai hasil munas alim ulama PBNU yang menyepakati mekanisme pemilihan melalui sistem AHWA, kata Adnan, itu hanya bersifat rekomendasi sebab kedudukannya masih di bawah muktamar.
”Kalau ingin ada perubahan mekanisme pemilihan mari dibahas bersama oleh muktamirin di muktamar. Munas memang forum tertinggi di bawah muktamar, tapi pengesahan tetap harus melalui forum muktamar,” katanya. Wakil Ketua Umum PBNU As’ad Said Ali, yang juga calon kandidat Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengaku baru mengetahui dirinya masuk dalam bursa pencalonan.
”Saya baru dengar jika nama saya masuk bursa pencalonan, sebab saya tidak pernah mempersiapkan diri untuk maju, tidak pernah. Kalau diamanati ya diterima,” ujarnya. As’ad mengakui ada dua mekanisme pemilihan dalam muktamar mendatang, yakni pemilihan secara langsung dan mekanisme AHWA.
”Mekanisme Ahlul Halli wal Aqdi memang ada dalam sejarah, tapi bukan berarti mengumpulkan orang untuk memilih dirinya sendiri. Muktamar yang sekarang dicurigai untuk memenangkan dirinya sendiri, kelihatannya dari luar bagus lewat Ahlul Halli wal Aqdi tapi busuk dalamnya,” kritiknya. Bila itu yang terjadi, Aswaja yang bermakna menjalankan sunah Nabi dan para sahabat akan bergeser menjadi Ahlu Sunah wal jamaah (Aswaja). Artinya, orang-orang busuk dan gila jabatan.
”Saya mendengar ada indikasi kearah situ Aswaja. Saya sudah bicara tapi nggak tahu, apa tidak didengarkan,” ujarnya. Mantan wakil kepala badan intelijen negara (Wakabin) ini mencium adanya permainan uang yang cukup besar agar memenangkan salah satu calon sejak Muktamar Boyolali hingga Makassar. Termasuk Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur. ”Saya katakan PBNU sudah lampu kuning,” ucapnya. As’ad menjelaskan, mengapa PBNU dalam keadaan lampu kuning.
Menurut As’ad, bila peserta muktamar nanti berorientasi pada duniawi maka tanda-tanda berakhirnya Islam di Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan terjadi. ”Kalau lampu lalu lintas dari kuning bisa merah dan hijau. Kalau merah itu bila peserta muktamar orientasinya dunia, kalau begitu ya sudah Islam dan NKRI akan berakhir,” katanya.
Namun sebaliknya, bila peserta muktamar masih berorientasi pada agama dan rida Allah maka hal itu tidak akan terjadi. Menurut As’ad, hal ini penting untuk disikapi mengingat NU memiliki jamaah yang cukup besar di Indonesia. ”Dari kuning juga bisa hijau kalau pesertanya tidak berorientasi pada dunia melainkan mencari rida agama. Pada tahun ini ada tiga ormas besar yang akan menggelar muktamar yakni, NU, MUI dan Muhammadiyah. Ketiganya juga dalam keadaan kuning,” ucapnya.
As’ad mengusulkan agar mekanisme pemilihan dilakukan dengan menggabungkan dua cara pemilihan tersebut, yakni Ahlul Halli wal Aqdi dan pemilihan secara langsung oleh para muktamirin.”Misalnya, Syuriah memilih 5-9 orang untuk jadi ketum. Mereka telah memenuhi kriteria seperti, tidak mencalonkan diri, kredibel, betul-betul melaksanakan Aswaja, tidak liberal atau terlibat dengan jaringan terorisme,” katanya.
Jika sudah terpenuhi syarat tersebut, kata As’ad, nama-nama itu selanjutnya diumumkan melalui proyektor lima jam sebelum pemilihan. Begitu juga dengan muktamirin, di mana mereka juga dilarang keluar ruangan sehingga tidak ada ruang bagi calon melakukan money politics. ”Jika seperti akan terpilih yang terbaik dari yang ada,” ucapnya.
Sucipto
Sejumlah kandidat mengaku keberatan dengan mekanisme pemilihan melalui sistem formatur atau Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) atau musyawarah mufakat. Pasalnya, mekanisme tersebut dinilai tidak fair dan tidak melibatkan ulama-ulama besar.
Mantan Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah Muhammad Adnan sekaligus calon kandidat ketua umum tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan yang masih ramai diperdebatkan adalah konsep pemilihan. Adnan menyebutkan, ada dua konsep yang digunakan. Pertama, pemilihan lewat formatur atau AHWA. Kedua , pemilihan secara langsung.
”Saya tidak keberatan pemilihan secara langsung, tapi yang jadi persoalan adalah mereka yang menjadi formatur sudah ditentukan. Kitahanyamemilih sembilan orang dari 39 nama yang ada untuk duduk sebagai Ahlul Halli wal Aqdi. Ini tidak fair , apalagi nama-nama besar, ulama besar tidak dilibatkan,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Menurut Adnan, beberapa ulama besar yang tidak masuk dalam susunan AHWA adalah KH Hasyim Muzadi dan Habib Luthfi Ali bin Yahya selaku Rois Aam Thoriqoh se-Indonesia yang merupakan ulama thoriqoh yang tergabung dalam Jami’iyyah Ahlut Thoriqoh Al Mu’Tabaroh An-Nahdlyiiyah.
”Sosok Habib Luthfi ini tidak hanya terkenal di Indonesia, tapi di dunia internasional seperti di negara Arab dan Timur Tengah. Begitu juga Pak Hasyim Muzadi. Masyarakat yang tahu tentu sangat menyayangkan ini,” paparnya. Mengenai hasil munas alim ulama PBNU yang menyepakati mekanisme pemilihan melalui sistem AHWA, kata Adnan, itu hanya bersifat rekomendasi sebab kedudukannya masih di bawah muktamar.
”Kalau ingin ada perubahan mekanisme pemilihan mari dibahas bersama oleh muktamirin di muktamar. Munas memang forum tertinggi di bawah muktamar, tapi pengesahan tetap harus melalui forum muktamar,” katanya. Wakil Ketua Umum PBNU As’ad Said Ali, yang juga calon kandidat Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengaku baru mengetahui dirinya masuk dalam bursa pencalonan.
”Saya baru dengar jika nama saya masuk bursa pencalonan, sebab saya tidak pernah mempersiapkan diri untuk maju, tidak pernah. Kalau diamanati ya diterima,” ujarnya. As’ad mengakui ada dua mekanisme pemilihan dalam muktamar mendatang, yakni pemilihan secara langsung dan mekanisme AHWA.
”Mekanisme Ahlul Halli wal Aqdi memang ada dalam sejarah, tapi bukan berarti mengumpulkan orang untuk memilih dirinya sendiri. Muktamar yang sekarang dicurigai untuk memenangkan dirinya sendiri, kelihatannya dari luar bagus lewat Ahlul Halli wal Aqdi tapi busuk dalamnya,” kritiknya. Bila itu yang terjadi, Aswaja yang bermakna menjalankan sunah Nabi dan para sahabat akan bergeser menjadi Ahlu Sunah wal jamaah (Aswaja). Artinya, orang-orang busuk dan gila jabatan.
”Saya mendengar ada indikasi kearah situ Aswaja. Saya sudah bicara tapi nggak tahu, apa tidak didengarkan,” ujarnya. Mantan wakil kepala badan intelijen negara (Wakabin) ini mencium adanya permainan uang yang cukup besar agar memenangkan salah satu calon sejak Muktamar Boyolali hingga Makassar. Termasuk Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur. ”Saya katakan PBNU sudah lampu kuning,” ucapnya. As’ad menjelaskan, mengapa PBNU dalam keadaan lampu kuning.
Menurut As’ad, bila peserta muktamar nanti berorientasi pada duniawi maka tanda-tanda berakhirnya Islam di Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan terjadi. ”Kalau lampu lalu lintas dari kuning bisa merah dan hijau. Kalau merah itu bila peserta muktamar orientasinya dunia, kalau begitu ya sudah Islam dan NKRI akan berakhir,” katanya.
Namun sebaliknya, bila peserta muktamar masih berorientasi pada agama dan rida Allah maka hal itu tidak akan terjadi. Menurut As’ad, hal ini penting untuk disikapi mengingat NU memiliki jamaah yang cukup besar di Indonesia. ”Dari kuning juga bisa hijau kalau pesertanya tidak berorientasi pada dunia melainkan mencari rida agama. Pada tahun ini ada tiga ormas besar yang akan menggelar muktamar yakni, NU, MUI dan Muhammadiyah. Ketiganya juga dalam keadaan kuning,” ucapnya.
As’ad mengusulkan agar mekanisme pemilihan dilakukan dengan menggabungkan dua cara pemilihan tersebut, yakni Ahlul Halli wal Aqdi dan pemilihan secara langsung oleh para muktamirin.”Misalnya, Syuriah memilih 5-9 orang untuk jadi ketum. Mereka telah memenuhi kriteria seperti, tidak mencalonkan diri, kredibel, betul-betul melaksanakan Aswaja, tidak liberal atau terlibat dengan jaringan terorisme,” katanya.
Jika sudah terpenuhi syarat tersebut, kata As’ad, nama-nama itu selanjutnya diumumkan melalui proyektor lima jam sebelum pemilihan. Begitu juga dengan muktamirin, di mana mereka juga dilarang keluar ruangan sehingga tidak ada ruang bagi calon melakukan money politics. ”Jika seperti akan terpilih yang terbaik dari yang ada,” ucapnya.
Sucipto
(ars)