Mewaspadai El Nino dan Pengamanan Produksi Beras
A
A
A
TOTO SUBANDRIYO
Praktisi Sektor Pertanian,
Lulusan IPB, dan
Magister Manajemen Unsoed
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi tahun ini Indonesia akan mengalami fenomena alam El Nino dalam skala moderat. Meski intensitasnya diprediksi moderat, seluruh pemangku kepentingan harus tetap waspada dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk akibat fenomena alam tersebut.
Pengalaman empiris menunjukkan, Indonesia telah berulang kali mengalami El Nino, tapi kemampuan untuk mendeteksi secaradinidampakfenomenaini masih lemah. Akurasi ramalan yang tinggi terhadap peluang terjadinya bencana kekeringan panjang sebagai dampak fenomena alam tersebut baru dapat diketahui setelah sekitar 3-4 bulan sebelum fenomena El Nino betul-betul terjadi.
Kesulitan inilah antara lain yang menyebabkan langkah antisipasi dan penanggulangan dampak El Nino selalu terlambat. Tidak terlalu berlebihan rasanya kalau masalah ini penulis angkat dalam tulisan ini karena berbagai kondisi obyektif yang berkembang beberapa hari belakangan. Meski saat ini baru memasuki awal musim kemarau, telah banyak diberitakan oleh media tentang ancaman kekeringan yang menyebabkan ancaman gagal panen, krisis air bersih, serta kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah.
Beberapa hari terakhir berbagai media daerah dan nasional telah melaporkan terpantaunya banyak titik api yang mengindikasikan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan. Sebuah harian yang terbit di Semarang edisi 1 Juli 2015 lalu juga memuat berita dengan judul besar, “Kemarau, Lima Waduk Mengering”. Di sisi lain, ada kesan bahwa pemerintah terlalu memandang remeh terhadap dampak yang akan ditimbulkan oleh fenomena alam El Nino ini.
Hal itu antara lain tecermin dari pernyataan pejabat bahwa fenomena El Nino tidak memengaruhi produksi beras nasional. Pernyataan tersebut tentu kontraproduktif terhadap upaya antisipasi dampak yang ditimbulkan El Nino dan cenderung meninabobokan masyarakat. Rasanya terlalu dini pernyataan itu dilontarkan di tengah suasana ketidakpastian cuaca seperti sekarang ini.
Memang pernyataan itu didukung dengan data angka ramalan I (Aram I) Badan Pusat Statistik (BPS) tentang prediksi produksi padi nasional tahun 2015. Sesuai periodisasinya, setiap awal bulan Juli BPS merilis data Aram I produksi beberapa komoditas pangan utama seperti padi, jagung, dan kedelai. MenurutAramIBPSproduksi padi nasional 2015 diper-kirakan mencapai 75,55 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik 4,70 juta ton (6,64 persen) dibandingkan tahun 2014. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena kenaikan luas panen seluas 0,51 juta hektare (3,71%) dan kenaikan produktivitas sebesar 1,45 kuintal/ hektare (2,82%).
Trauma
Menurut catatan Pusat Prakiraan Iklim Amerika, sejak 1950 sedikitnya terjadi 22 kali fenomena El Nino, 6 kejadian di antaranya berlangsung dengan intensitaskuat, yaitu1957/1958, 1965/1966, 1972/1973, 1982/1983, 1987/1988 dan 1997/1998. Bencana alam kekeringan terakhir sebagai dampak El Nino yang terjadi di negara kita terparah pada 1997.
Dampak yang ditimbulkan oleh bencana ini dalam bidang penyediaan pangan sangat dirasakan hingga tahun 1999. Kondisi tersebut diperparah oleh krisis ekonomi dan krisis multidimensi pada awal bergulirnya era reformasi. Sejarah telah mencatat, krisis pangan dan krisis ekonomi yang terjadi saat itu telah menumbangkan rezim pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun lebih.
Bencana alam El-Nino tidak saja berdampak pada penurunan ketahanan pangan nasional yang ditandai dengan penurunan produksi pangan, namun juga menyentuh hampir semua sendi kehidupan. Bencana yang terjadi pada tahun 1997 terasa lebih parah mengingat bencana kekeringan tersebut juga memicu terjadinya kebakaran ribuan hektare hutan di Tanah Air.
Tidak saja mengganggu aktivitas lalu lintas udara di Tanah Air, tetapi juga ke beberapa negara tetangga. Hal ini dapat terjadi karena antisipasi terhadap fenomena El Nino kurang didasarkan pada basis sumber daya dan miskin program aksi. Menurut data yang terpantau, dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam kekeringan akibat El Nino terhadap tanaman padi menunjukkan angka yang cukup besar.
Bencana kekeringan tahun 1991 telah mengakibatkan tanaman padi seluas 867.997 hektare terkena kekeringan, 192.347 hektare di antaranya mengalami gagal panen (puso). Tahun 1994 luas terkena kekeringan sebesar 544.422 hektare, 161.144 hektare mengalami puso. Tahun 1997 luas terkena kekeringan 504.021 hektare, 88.468 hektare mengalami puso (Deptan, 2001).
Bencana kekeringan yang terjadi pada 1997 yang dampaknya berimbas pada penyediaan pangan tahun 1998-1999 telah menyisakan trauma di benak para pengambil kebijakan. Pada tahun tersebut negara kita mengukir angka impor beras terbesar sepanjang sejarah Republik ini yang angkanya mencapai lebih dari 5 juta ton. Pengalaman traumatis tersebut membuat para penentu kebijakan kemudian selalu mengambil langkah antisipatif yang cenderung mengarah pada project oriented.
Memanen Hujan
Berbagai upaya yang harus segera dilakukan adalah menyelamatkan tanaman pangan, utamanya padi, yang terancam puso. Upaya ini antara lain dapat ditempuh dengan pemanfaatan sumber-sumber air buangan yang ada dan pengaturan irigasi secara bergilir. Bagi daerah-daerah yang potensi air tanahnya bagus dapat menggunakan pompa sumur pantek untuk suplesi irigasi. Teknologi budi daya hemat air perlu dimasyarakatkan kepada petani.
Teknologi yang dianjurkan adalah System of Rice Intensification (SRI) dan Pengelolaan Tanaman Padi secara Terpadu (PTT). Salah satu komponen sistem budi daya ini berupa irigasi terputus (intermitent) berdasar fase tumbuh tanaman sehingga penggunaan air lebih efisien. Dalam situasi sulit air tidaklah rasional jika petani memaksakan menanam padi yang banyak membutuhkan air.
Petani dapat menggantinya dengan tanaman palawija seperti jagung dan kacang-kacangan yang mempunyai prospek harga cukup baik dan tidak membutuhkan banyak air. Untuk mengisi waduk-waduk yang sudah mulai mengering pemerintah perlu mengupayakan teknologi modifikasi cuaca berupa hujan buatan.
Teknologi ini telah terbukti dapat meringankan beban masyarakat yang terkena dampak kekeringan, bukan saja untuk mencegah gagal panen, tetapi juga membantu pasokan air bersih serta memadamkan kebakaran hutan/lahan. Selain itu, riset teknologi pertanian harus difokuskan untuk mengantisipasi isu-isu strategis yang berkembang.
Untuk antisipasi isu pemanasan global, ke depan riset ini harus difokuskan untuk memperoleh varietas yang memiliki keunggulan ganda, selain produktivitasnya tinggi juga mampu beradaptasi dengan baik pada tanah dan iklim suboptimal (salinitas tinggi, kekeringan, genangan tinggi, dsb). Upaya lain yang harus ditempuh adalah membangun dan merehabilitasi sarana infrastruktur penampung air seperti waduk, embung, situ, sumursumur resapan, biopori, dan tandon air lain.
Perlu upaya memanen hujan (rain harvest), yaitu menampung sebanyakbanyaknya air hujan untuk dimanfaatkan pada musim kemarau. Untuk meringankan beban para petani yang mengalami gagal panen, pemerintah perlu memikirkan pemberian bantuan sarana produksi berupa bibit dan pupuk pada musim tanam 2015/2016 mendatang.
Untuk kompensasi musim kemarau panjang, maka pada musim tanam 2015/2016 perlu diupayakan percepatan pengolahan sawah guna percepatan tanam. Untuk itu, perlu dioptimalkan pemanfaatan alat dan mesin pertanian seperti traktor dan alat tanam (transplanter).
Praktisi Sektor Pertanian,
Lulusan IPB, dan
Magister Manajemen Unsoed
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi tahun ini Indonesia akan mengalami fenomena alam El Nino dalam skala moderat. Meski intensitasnya diprediksi moderat, seluruh pemangku kepentingan harus tetap waspada dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk akibat fenomena alam tersebut.
Pengalaman empiris menunjukkan, Indonesia telah berulang kali mengalami El Nino, tapi kemampuan untuk mendeteksi secaradinidampakfenomenaini masih lemah. Akurasi ramalan yang tinggi terhadap peluang terjadinya bencana kekeringan panjang sebagai dampak fenomena alam tersebut baru dapat diketahui setelah sekitar 3-4 bulan sebelum fenomena El Nino betul-betul terjadi.
Kesulitan inilah antara lain yang menyebabkan langkah antisipasi dan penanggulangan dampak El Nino selalu terlambat. Tidak terlalu berlebihan rasanya kalau masalah ini penulis angkat dalam tulisan ini karena berbagai kondisi obyektif yang berkembang beberapa hari belakangan. Meski saat ini baru memasuki awal musim kemarau, telah banyak diberitakan oleh media tentang ancaman kekeringan yang menyebabkan ancaman gagal panen, krisis air bersih, serta kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah.
Beberapa hari terakhir berbagai media daerah dan nasional telah melaporkan terpantaunya banyak titik api yang mengindikasikan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan. Sebuah harian yang terbit di Semarang edisi 1 Juli 2015 lalu juga memuat berita dengan judul besar, “Kemarau, Lima Waduk Mengering”. Di sisi lain, ada kesan bahwa pemerintah terlalu memandang remeh terhadap dampak yang akan ditimbulkan oleh fenomena alam El Nino ini.
Hal itu antara lain tecermin dari pernyataan pejabat bahwa fenomena El Nino tidak memengaruhi produksi beras nasional. Pernyataan tersebut tentu kontraproduktif terhadap upaya antisipasi dampak yang ditimbulkan El Nino dan cenderung meninabobokan masyarakat. Rasanya terlalu dini pernyataan itu dilontarkan di tengah suasana ketidakpastian cuaca seperti sekarang ini.
Memang pernyataan itu didukung dengan data angka ramalan I (Aram I) Badan Pusat Statistik (BPS) tentang prediksi produksi padi nasional tahun 2015. Sesuai periodisasinya, setiap awal bulan Juli BPS merilis data Aram I produksi beberapa komoditas pangan utama seperti padi, jagung, dan kedelai. MenurutAramIBPSproduksi padi nasional 2015 diper-kirakan mencapai 75,55 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik 4,70 juta ton (6,64 persen) dibandingkan tahun 2014. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena kenaikan luas panen seluas 0,51 juta hektare (3,71%) dan kenaikan produktivitas sebesar 1,45 kuintal/ hektare (2,82%).
Trauma
Menurut catatan Pusat Prakiraan Iklim Amerika, sejak 1950 sedikitnya terjadi 22 kali fenomena El Nino, 6 kejadian di antaranya berlangsung dengan intensitaskuat, yaitu1957/1958, 1965/1966, 1972/1973, 1982/1983, 1987/1988 dan 1997/1998. Bencana alam kekeringan terakhir sebagai dampak El Nino yang terjadi di negara kita terparah pada 1997.
Dampak yang ditimbulkan oleh bencana ini dalam bidang penyediaan pangan sangat dirasakan hingga tahun 1999. Kondisi tersebut diperparah oleh krisis ekonomi dan krisis multidimensi pada awal bergulirnya era reformasi. Sejarah telah mencatat, krisis pangan dan krisis ekonomi yang terjadi saat itu telah menumbangkan rezim pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun lebih.
Bencana alam El-Nino tidak saja berdampak pada penurunan ketahanan pangan nasional yang ditandai dengan penurunan produksi pangan, namun juga menyentuh hampir semua sendi kehidupan. Bencana yang terjadi pada tahun 1997 terasa lebih parah mengingat bencana kekeringan tersebut juga memicu terjadinya kebakaran ribuan hektare hutan di Tanah Air.
Tidak saja mengganggu aktivitas lalu lintas udara di Tanah Air, tetapi juga ke beberapa negara tetangga. Hal ini dapat terjadi karena antisipasi terhadap fenomena El Nino kurang didasarkan pada basis sumber daya dan miskin program aksi. Menurut data yang terpantau, dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam kekeringan akibat El Nino terhadap tanaman padi menunjukkan angka yang cukup besar.
Bencana kekeringan tahun 1991 telah mengakibatkan tanaman padi seluas 867.997 hektare terkena kekeringan, 192.347 hektare di antaranya mengalami gagal panen (puso). Tahun 1994 luas terkena kekeringan sebesar 544.422 hektare, 161.144 hektare mengalami puso. Tahun 1997 luas terkena kekeringan 504.021 hektare, 88.468 hektare mengalami puso (Deptan, 2001).
Bencana kekeringan yang terjadi pada 1997 yang dampaknya berimbas pada penyediaan pangan tahun 1998-1999 telah menyisakan trauma di benak para pengambil kebijakan. Pada tahun tersebut negara kita mengukir angka impor beras terbesar sepanjang sejarah Republik ini yang angkanya mencapai lebih dari 5 juta ton. Pengalaman traumatis tersebut membuat para penentu kebijakan kemudian selalu mengambil langkah antisipatif yang cenderung mengarah pada project oriented.
Memanen Hujan
Berbagai upaya yang harus segera dilakukan adalah menyelamatkan tanaman pangan, utamanya padi, yang terancam puso. Upaya ini antara lain dapat ditempuh dengan pemanfaatan sumber-sumber air buangan yang ada dan pengaturan irigasi secara bergilir. Bagi daerah-daerah yang potensi air tanahnya bagus dapat menggunakan pompa sumur pantek untuk suplesi irigasi. Teknologi budi daya hemat air perlu dimasyarakatkan kepada petani.
Teknologi yang dianjurkan adalah System of Rice Intensification (SRI) dan Pengelolaan Tanaman Padi secara Terpadu (PTT). Salah satu komponen sistem budi daya ini berupa irigasi terputus (intermitent) berdasar fase tumbuh tanaman sehingga penggunaan air lebih efisien. Dalam situasi sulit air tidaklah rasional jika petani memaksakan menanam padi yang banyak membutuhkan air.
Petani dapat menggantinya dengan tanaman palawija seperti jagung dan kacang-kacangan yang mempunyai prospek harga cukup baik dan tidak membutuhkan banyak air. Untuk mengisi waduk-waduk yang sudah mulai mengering pemerintah perlu mengupayakan teknologi modifikasi cuaca berupa hujan buatan.
Teknologi ini telah terbukti dapat meringankan beban masyarakat yang terkena dampak kekeringan, bukan saja untuk mencegah gagal panen, tetapi juga membantu pasokan air bersih serta memadamkan kebakaran hutan/lahan. Selain itu, riset teknologi pertanian harus difokuskan untuk mengantisipasi isu-isu strategis yang berkembang.
Untuk antisipasi isu pemanasan global, ke depan riset ini harus difokuskan untuk memperoleh varietas yang memiliki keunggulan ganda, selain produktivitasnya tinggi juga mampu beradaptasi dengan baik pada tanah dan iklim suboptimal (salinitas tinggi, kekeringan, genangan tinggi, dsb). Upaya lain yang harus ditempuh adalah membangun dan merehabilitasi sarana infrastruktur penampung air seperti waduk, embung, situ, sumursumur resapan, biopori, dan tandon air lain.
Perlu upaya memanen hujan (rain harvest), yaitu menampung sebanyakbanyaknya air hujan untuk dimanfaatkan pada musim kemarau. Untuk meringankan beban para petani yang mengalami gagal panen, pemerintah perlu memikirkan pemberian bantuan sarana produksi berupa bibit dan pupuk pada musim tanam 2015/2016 mendatang.
Untuk kompensasi musim kemarau panjang, maka pada musim tanam 2015/2016 perlu diupayakan percepatan pengolahan sawah guna percepatan tanam. Untuk itu, perlu dioptimalkan pemanfaatan alat dan mesin pertanian seperti traktor dan alat tanam (transplanter).
(bbg)