Energi Panas Bumi
A
A
A
Kalau Arab Saudi terkenal dengan julukan raja minyak bumi maka Indonesia boleh disebut raja panas bumi. Mengapa? Ternyata letaknya yang berada di ring of fire menjadikan negeri ini sebagai pemilik harta karun energi, yakni panas bumi, terbesar di dunia.
Bayangkan kapasitas energi panas bumi yang memiliki potensi 28.000 megawatt (MW) tapi baru dimanfaatkan sebesar 1.400 MW. Sungguh ironis. Minimnya pemanfaatan potensi energi panas bumi di Tanah Air disebabkan beberapa masalah, yaitu tidak mudah dan murah, serta realisasinya butuh waktu yang lama. Pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) untuk “menyulap” panas bumi menjadi listrik paling cepat memakan waktu 10 tahun.
Kendala klasik adalah rantai birokrasi yang panjang dan penolakan warga seputar sumber energi selalu mengemuka. Setelah sekian lama tidak mendapat perhatian serius, kini pemerintah seperti tersadarkan bahwa potensi energi panas bumi ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mencanangkan pemberdayaan energi panas bumi sebagai proyek prioritas pembangkit listrik yang ramah lingkungan.
Presiden Jokowi menyebut energi panas bumi adalah berkah yang tersembunyi namun masih minim pemanfaatannya sehingga harus dimaksimalkan. Penegasan itu dikemukakan orang nomor satu di negeri ini saat meresmikan PLTP Kamojang Unit 5 di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, awal bulan ini. Presiden Jokowi menyadari, birokrasi terutama berkaitan perizinan dan pembebasan lahan adalah salah satu kendala utama selain pembiayaan yang mahal.
Presiden berjanji segera menerbitkan payung hukum yang akan memudahkan investor berinvestasi di PLTP, dan sejumlah insentif sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam mengundang investor menggarap potensi energi panas bumi. Keseriusan pemerintah memberikan insentif kepada investor PLTP belakangan ini memang sudah mulai terlihat, mulai dari penyederhanaan berbagai aturan harga jual-beli listrik hingga pembebasan pajak.
Di antaranya, revisi Undang Undang (UU) No 21 tahun 2014 tentang Energi Panas Bumi yang menetapkan harga listrik dari panas bumi berdasarkan harga keekonomian. Selain insentif tarif, pemerintah juga menghapuskan pajak pertambahan nilai (PPN) 0% untuk peralatan yang dibeli guna keperluan proyek PLTP. Pemerintah juga akan membebaskan proyek energi terbarukan ini dari pajak bumi bangunan (PBB).
Kini aturan terkait insentif tersebut sedang diproses oleh Kementerian Keuangan. Keseriusan pemerintah untuk menggarap energi panas bumi mendapat apresiasi dari pengusaha yang berkecimpung dalam bisnis PLTP. Apa yang dikemukakan Presiden Jokowi terkait dengan pemanfaatan secara maksimal potensi energi panas bumi dinilai sebagai angin segar di sektor bisnis energi yang selama ini cenderung diabaikan.
Bagi para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Panas Bumi Indonesia (APBI), pemberian insentif itu memang sangat dibutuhkan mengingat investasi di PLTP perlu modal besar. Namun, masih ada beberapa masalah di lapangan yang belum tersentuh oleh pemerintah, yaitu persoalan iuran dan pungutan yang banyak sekali. Sebagai contoh, pungutan, iuran dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP), seperti dikeluhkan Ketua Umum APBI Abadi Poernomo, mencapai 40% lebih dari pendapatan bersih perusahaan yang bergerak di bidang PLTP.
Oleh sebab itu, selain insentif untuk merangsang investor PLTP, secara internal pemerintah masih harus menyelesaikan berbagai persoalan serius. Salah satu masalah yang menjadi hambatan, sebagaimana diakui Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Rida Mulyana, adalah lemahnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.
Ini persoalan besar yang sepertinya luput dari perhatian. Celakanya, pihak yang memiliki wewenang dalam pengembangan energi baru terbarukan adalah pemerintah daerah. Sementara pemerintah pusat bertugas memfasilitasi, misalnya penetapan harga yang pantas hingga kemudahan investor untuk menanamkan modal. Sejumlah kasus di daerah yang membuat investor dongkol yaitu izin dari pemda setempat tidak turun.
Kendala lain yang paling mengherankan dan kerap terjadi adalah penolakan warga sekitar pembangunan PLTP. Karena berbagai kendala tersebut, pemanfaatan energi panas bumi Tanah Air pun jalan di tempat. Sedangkan negara tetangga sekawasan, Filipina, yang dulunya belajar ke Indonesia kini menjadi negara paling sukses di dunia dalam mengelola energi panas bumi.
Bayangkan kapasitas energi panas bumi yang memiliki potensi 28.000 megawatt (MW) tapi baru dimanfaatkan sebesar 1.400 MW. Sungguh ironis. Minimnya pemanfaatan potensi energi panas bumi di Tanah Air disebabkan beberapa masalah, yaitu tidak mudah dan murah, serta realisasinya butuh waktu yang lama. Pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) untuk “menyulap” panas bumi menjadi listrik paling cepat memakan waktu 10 tahun.
Kendala klasik adalah rantai birokrasi yang panjang dan penolakan warga seputar sumber energi selalu mengemuka. Setelah sekian lama tidak mendapat perhatian serius, kini pemerintah seperti tersadarkan bahwa potensi energi panas bumi ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mencanangkan pemberdayaan energi panas bumi sebagai proyek prioritas pembangkit listrik yang ramah lingkungan.
Presiden Jokowi menyebut energi panas bumi adalah berkah yang tersembunyi namun masih minim pemanfaatannya sehingga harus dimaksimalkan. Penegasan itu dikemukakan orang nomor satu di negeri ini saat meresmikan PLTP Kamojang Unit 5 di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, awal bulan ini. Presiden Jokowi menyadari, birokrasi terutama berkaitan perizinan dan pembebasan lahan adalah salah satu kendala utama selain pembiayaan yang mahal.
Presiden berjanji segera menerbitkan payung hukum yang akan memudahkan investor berinvestasi di PLTP, dan sejumlah insentif sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam mengundang investor menggarap potensi energi panas bumi. Keseriusan pemerintah memberikan insentif kepada investor PLTP belakangan ini memang sudah mulai terlihat, mulai dari penyederhanaan berbagai aturan harga jual-beli listrik hingga pembebasan pajak.
Di antaranya, revisi Undang Undang (UU) No 21 tahun 2014 tentang Energi Panas Bumi yang menetapkan harga listrik dari panas bumi berdasarkan harga keekonomian. Selain insentif tarif, pemerintah juga menghapuskan pajak pertambahan nilai (PPN) 0% untuk peralatan yang dibeli guna keperluan proyek PLTP. Pemerintah juga akan membebaskan proyek energi terbarukan ini dari pajak bumi bangunan (PBB).
Kini aturan terkait insentif tersebut sedang diproses oleh Kementerian Keuangan. Keseriusan pemerintah untuk menggarap energi panas bumi mendapat apresiasi dari pengusaha yang berkecimpung dalam bisnis PLTP. Apa yang dikemukakan Presiden Jokowi terkait dengan pemanfaatan secara maksimal potensi energi panas bumi dinilai sebagai angin segar di sektor bisnis energi yang selama ini cenderung diabaikan.
Bagi para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Panas Bumi Indonesia (APBI), pemberian insentif itu memang sangat dibutuhkan mengingat investasi di PLTP perlu modal besar. Namun, masih ada beberapa masalah di lapangan yang belum tersentuh oleh pemerintah, yaitu persoalan iuran dan pungutan yang banyak sekali. Sebagai contoh, pungutan, iuran dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP), seperti dikeluhkan Ketua Umum APBI Abadi Poernomo, mencapai 40% lebih dari pendapatan bersih perusahaan yang bergerak di bidang PLTP.
Oleh sebab itu, selain insentif untuk merangsang investor PLTP, secara internal pemerintah masih harus menyelesaikan berbagai persoalan serius. Salah satu masalah yang menjadi hambatan, sebagaimana diakui Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Rida Mulyana, adalah lemahnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.
Ini persoalan besar yang sepertinya luput dari perhatian. Celakanya, pihak yang memiliki wewenang dalam pengembangan energi baru terbarukan adalah pemerintah daerah. Sementara pemerintah pusat bertugas memfasilitasi, misalnya penetapan harga yang pantas hingga kemudahan investor untuk menanamkan modal. Sejumlah kasus di daerah yang membuat investor dongkol yaitu izin dari pemda setempat tidak turun.
Kendala lain yang paling mengherankan dan kerap terjadi adalah penolakan warga sekitar pembangunan PLTP. Karena berbagai kendala tersebut, pemanfaatan energi panas bumi Tanah Air pun jalan di tempat. Sedangkan negara tetangga sekawasan, Filipina, yang dulunya belajar ke Indonesia kini menjadi negara paling sukses di dunia dalam mengelola energi panas bumi.
(bbg)