Pertalite Masuk Pasar
A
A
A
Selepas Lebaran, PT Pertamina memastikan menjual pertalite varian bahan bakar minyak (BBM) terbaru.
Dengan produk baru tersebut, konsumen dapat memilih BBM sesuai spesifikasi kendaraan yang dimiliki, mulai premium (RON 88), pertalite (RON 90), pertamax (RON 92), dan pertamax plus. Awalnya, ketika pertalite mulai disosialisasikan, banyak pihak memberikan penilaian keliru yang menganggap BBM tersebut sebagai pengganti premium. Namun, penilaian keliru itu disanggah karena pertalite hanya sebuah varian baru di antara BBM dagangan Pertamina.
Kehadiran pertalite membuat masyarakat kian mudah mendapatkan BBM berkualitas dengan harga terjangkau. Untuk tahap awal, peredaran pertalite masih dibatasi hanya mencakup 103 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang tersebar di wilayah Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Bagaimana dengan harga BBM varian baru tersebut? Pihak Pertamina menyatakan harga pertalite sedikit lebih mahal dari harga premium, namun di bawah harga pertamax dengan target penjualan 1.000 kiloliter per hari masih jauh di bawah penjualan pertamax yang mencapai 7.000 kiloliter per hari.
Harga pertalite bisa ditekan karena proses produksi (blending ) semuanya dilakukan di dalam negeri. Pertamina memiliki 190 terminal BBM yang diklaim bisa memproduksi pertalite dan tersebar di seluruh Indonesia. Selama ini, keberadaan premium memang sedang digugat karena dinilai tidak cocok lagi dikonsumsi untuk kendaraan produksi di atas tahun 2.000, sebab memiliki oktan yang rendah.
Selain itu, perdagangan premium ditengarai sebagai salah satu lahan subur para mafia minyak untuk mengeruk keuntungan ilegal. Namun, menghilangkan premium dari pasar ternyata akan mengundang masalah bagi Pertamina. Hal ini terkait keberadaan kilang minyak milik Pertamina yang menghasilkan premium dan nafta yang cukup banyak. Kalau premium dihapus maka otomatis kilang minyak akan berhenti berproduksi.
Meski demikian, pihak Pertamina optimistis perdagangan premium bisa dihentikan seiring dengan peningkatan teknologi dan efisiensi kilang sehingga mampu memproduksi BBM di atas RON 88. Sebelumnya, rencana Pertamina untuk menghadirkan pertalite sempat mengundang kontroversi. Pihak DPR dan pemerintah tidak serta-merta menyalakan lampu hijau kepada Pertamina. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said satu suara meminta Pertamina mengkaji ulang sebelum memasarkan pertalite.
Pemerintah berdalih bahwa Pertamina tidak boleh menghentikan produksi dan penjualan premium bila harga pertalite masih di atas harga premium. Intinya, pemerintah tidak ingin membebani masyarakat dengan harga BBM yang mahal. Sementara itu, Komisi VII DPR RI secara tegas melarang pemasaran pertalite sebelum ada kejelasan terkait perizinan dan persiapan operasional. Karena itu, Pertamina sebelum menjual pertalite harus mendapatkan persetujuan dari DPR karena menyangkut kepentingan umum.
Memang, secara tidak langsung kehadiran pertalite diharapkan dapat mengurangi konsumsi premium. Pihak Pertamina optimistis pemakai premium akan beralih mengonsumsi pertalite. Alasan logisnya adalah kualitas pertalite di atas premium dengan harga di bawah pertamax. Lalu bagaimana bila konsumen pertamax beralih ke pertalite? Bagi Pertamina, pengalihan itu tidak masalah yang penting masyarakat sudah mulai melupakan premium.
Pertanyaan berikutnya, bisakah SPBU milik perusahaan asing memasarkan pertalite? Tidak ada masalah, Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang membuka pintu lebar-lebar buat SPBU perusahaan asing karena pertalite tidak disubsidi negara. Pertamina berharap kehadiran BBM varian baru itu bisa menekan konsumsi premium 10% hingga 20%. Saat ini konsumsi premium mencapai 80.000 kiloliter per hari di mana separuh dari kebutuhan tersebut dipasok dari luar negeri.
Selain itu, Indonesia saatnya beralih ke pemakaian BBM beroktan lebih tinggi. Sekarang tinggal meyakinkan masyarakat bersediakah beralih ke Pertalite dengan harga sedikit lebih mahal dari premium dan kualitas mendekati pertamax
Dengan produk baru tersebut, konsumen dapat memilih BBM sesuai spesifikasi kendaraan yang dimiliki, mulai premium (RON 88), pertalite (RON 90), pertamax (RON 92), dan pertamax plus. Awalnya, ketika pertalite mulai disosialisasikan, banyak pihak memberikan penilaian keliru yang menganggap BBM tersebut sebagai pengganti premium. Namun, penilaian keliru itu disanggah karena pertalite hanya sebuah varian baru di antara BBM dagangan Pertamina.
Kehadiran pertalite membuat masyarakat kian mudah mendapatkan BBM berkualitas dengan harga terjangkau. Untuk tahap awal, peredaran pertalite masih dibatasi hanya mencakup 103 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang tersebar di wilayah Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Bagaimana dengan harga BBM varian baru tersebut? Pihak Pertamina menyatakan harga pertalite sedikit lebih mahal dari harga premium, namun di bawah harga pertamax dengan target penjualan 1.000 kiloliter per hari masih jauh di bawah penjualan pertamax yang mencapai 7.000 kiloliter per hari.
Harga pertalite bisa ditekan karena proses produksi (blending ) semuanya dilakukan di dalam negeri. Pertamina memiliki 190 terminal BBM yang diklaim bisa memproduksi pertalite dan tersebar di seluruh Indonesia. Selama ini, keberadaan premium memang sedang digugat karena dinilai tidak cocok lagi dikonsumsi untuk kendaraan produksi di atas tahun 2.000, sebab memiliki oktan yang rendah.
Selain itu, perdagangan premium ditengarai sebagai salah satu lahan subur para mafia minyak untuk mengeruk keuntungan ilegal. Namun, menghilangkan premium dari pasar ternyata akan mengundang masalah bagi Pertamina. Hal ini terkait keberadaan kilang minyak milik Pertamina yang menghasilkan premium dan nafta yang cukup banyak. Kalau premium dihapus maka otomatis kilang minyak akan berhenti berproduksi.
Meski demikian, pihak Pertamina optimistis perdagangan premium bisa dihentikan seiring dengan peningkatan teknologi dan efisiensi kilang sehingga mampu memproduksi BBM di atas RON 88. Sebelumnya, rencana Pertamina untuk menghadirkan pertalite sempat mengundang kontroversi. Pihak DPR dan pemerintah tidak serta-merta menyalakan lampu hijau kepada Pertamina. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said satu suara meminta Pertamina mengkaji ulang sebelum memasarkan pertalite.
Pemerintah berdalih bahwa Pertamina tidak boleh menghentikan produksi dan penjualan premium bila harga pertalite masih di atas harga premium. Intinya, pemerintah tidak ingin membebani masyarakat dengan harga BBM yang mahal. Sementara itu, Komisi VII DPR RI secara tegas melarang pemasaran pertalite sebelum ada kejelasan terkait perizinan dan persiapan operasional. Karena itu, Pertamina sebelum menjual pertalite harus mendapatkan persetujuan dari DPR karena menyangkut kepentingan umum.
Memang, secara tidak langsung kehadiran pertalite diharapkan dapat mengurangi konsumsi premium. Pihak Pertamina optimistis pemakai premium akan beralih mengonsumsi pertalite. Alasan logisnya adalah kualitas pertalite di atas premium dengan harga di bawah pertamax. Lalu bagaimana bila konsumen pertamax beralih ke pertalite? Bagi Pertamina, pengalihan itu tidak masalah yang penting masyarakat sudah mulai melupakan premium.
Pertanyaan berikutnya, bisakah SPBU milik perusahaan asing memasarkan pertalite? Tidak ada masalah, Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang membuka pintu lebar-lebar buat SPBU perusahaan asing karena pertalite tidak disubsidi negara. Pertamina berharap kehadiran BBM varian baru itu bisa menekan konsumsi premium 10% hingga 20%. Saat ini konsumsi premium mencapai 80.000 kiloliter per hari di mana separuh dari kebutuhan tersebut dipasok dari luar negeri.
Selain itu, Indonesia saatnya beralih ke pemakaian BBM beroktan lebih tinggi. Sekarang tinggal meyakinkan masyarakat bersediakah beralih ke Pertalite dengan harga sedikit lebih mahal dari premium dan kualitas mendekati pertamax
(ars)