Mengawasi Pilkada Serentak
A
A
A
Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Apakah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak Desember 2015 ini akan dipenuhi keluarga petahana (incumbent) ? Pertanyaan berikutnya: apakah kontestasi politik pemilihan pemegang jabatan eksekutif tertinggi daerah ini akan dipenuhi pula oleh kandidat yang pernah menjadi narapidana?
Kedua pertanyaan ini muncul karena perubahan mendasar yang dihadirkan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi pada 8-9 Juli lalu.
Ibarat luapan banjir bandang, rangkaian putusan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman ini menerabas sejumlah pembatasan yang diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dengan rangkaian putusan tersebut, hampir dipastikan pertarungan pemilihan kepala daerah serentak pada gelombang pertama akan lebih beragam.
Artinya, tak akan ada lagi larangan bagi keluarga petahana ikut pemilihan kepala daerah. Begitu pula, mereka yang pernah menjadi terpidana terbuka ruang menjadi calon orang nomor satu di daerah. Sekalipun demikian, tidak semua pihak yang berniat menjadi calon kepala daerah menyambut gembira putusan Mahkamah Konstitusi.
Misalnya, salah satu pihak yang merasa amat dirugikan adalah peminat yang kebetulan saat ini sedang menjabat sebagai anggota legislatif. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/ 2015, mereka yang sedang menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD mesti bersiap berhenti pada masa jabatannya begitu ditetapkan sebagai calon oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.
Ya, secara substantif, berbagai pihak yang concern terhadap penyelenggaraan pemilu kepala daerah pasti akan terus berdebat di sekitar alasan hukum Mahkamah Konstitusi saat mengabulkan permohonan pemohon.
Misalnya, dalam soal pengabulan inkonstitusionalitas batasan bagi keluarga petahana yang diatur dalam Pasal 7 huruf r UU No. 8/2015 bahwa calon kepala daerah/ wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Sebagaimana diketahui, ide dasar memunculkan ketentuan ini didasarkan kepada menjamurnya praktik politik dinasti di berbagai daerah. Akan tetapi, formula rumusan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU No 8/2015 mendorong berbagai kalangan untuk menguji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi.
Merujuk rumusan penjelasan, ”konflik kepentingan” dimaknai sebagai tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana: yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Hanya, semua keluhan yang diteruskan dan diarahkan ke Mahkamah Konstitusi dan semua pihak yang mendukung ide yang termaktub di dalam semua rangkaian putusan harus mulai dikanalisasi.
Bagaimanapun, lantaran alasan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, akan jauh lebih produktif jika perdebatan dan energi diarahkan kepada langkah- langkah strategis yang mestinya dilakukan dalam menghadapi kontestasi politik lokal yang begitu masif.
Memperkuat Pengawasan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus Pasal 7 huruf r UU No. 8/2015 tentu saja menghadirkan pekerjaan ekstra bagi penyelenggara pemilu. Dalam pengertian ini, KPU provinsi dan KPU kabupaten/ kota serta pengawas pemilu pada tingkat serupa harus mampu bekerja keras menutup semua peluang yang diciptakan petahana untuk calon yang mereka dukung.
Bahkan, merujuk bentangan fakta yang tersedia, kemungkinanpetahanamemberikan keuntungan tidak melulu kepada pola hubungan sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Pasal 7 huruf r UU No 8/2015.
Demi pertimbangan strategis menghindari segala kemungkinan ancaman hukuman, sangat mungkin petahana mendorong pihak lain yang sama sekali tidak terkait dengan pola hubungan dalam Pasal 7 huruf r dan penjelasannya. Secara teknis, pasti jauh dari sederhana mengawasi pemberian dukungan kepada pihak lain yang dikehendaki petahanadiluarpolahubungankekerabatan.
Bilamana menggunakan pola hubungan sebagaimana dimaksudkan dalam Penjelasan Pasal 7 huruf r, pola pengawasan dan pelacakan pun akan menjadi lebih mudah dilakukan penyelenggara pemilihankepaladaerah. Namun di atas itu semua, yang jauh lebih membahayakan adalah keuntungan posisi petahana yang akan ikut bertarung lagi untuk periode kedua.
Sadar atau tidak, kedudukan sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah tetap saja lebih menguntungkan menuju proses pemilihan. Posisi sebagai petahana, baik secara langsung maupun tidak telah menempatkan calon petahana ada di posisi garis start paling depan.
Apalagi, dengan segala fasilitas jabatan yang melekat pada jabatannya, petahana bisa mendesain kemenangan pilkada melalui cara-cara yang sulit dikatakan melanggar hukum. Pasalnya, hampir semua langkah yang dilakukan dapat dibungkus dengan program atau anggaran pemerintah daerah yang dipimpinnya.
Seandainya pembaca sempat berkunjung ke daerah-daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak gelombang pertama, akan terlihat bagaimana persebaran baliho- baliho para petahana. Lautan baliho tersebut tidak hanya didominasi petahana yang berniat bertarung ulang untuk periode kedua, tetapi juga petahana yang hendak bertarung memperebutkan posisi yang lebih tinggi.
Dalamhalini, petahanayangbaru periode pertama menjadi gubernur/ wakil gubernur akan menggunakan posisi tersebut untuk mendayung ke proses pemilihan kedua. Sementara itu, petahana kabupaten/kota juga menggunakan posisi mereka untuk bertarung menjadi gubernur/wakil gubernur.
Dengan contoh kemungkinan menyalahgunakan posisi tersebut, tantangan terberat adalah mengawasi para petahana menyalahgunakan posisi mereka sebagai kepala daerah untuk mempertahankan posisi mereka atau berebut posisi yang lebih tinggi. Karena itu, pola pengawasan harus dengan mengoptimalkan larangan bagi petahana sebagaimana ditentukan dalam UU No. 8/2015.
Sekiranya mampu mengoptimalkan larangan yang ada, hampir dapat dipastikan sulit bagi petahana memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri dan termasuk bagi pihak lain yang potensial memanfaatkan posisi petahana.
Bahkan, demi menjaga posisi yang sejajar dan adil dalam proses pemilihan, calon yang terbukti mendapatkan keuntungan dari petahana dapat dibatalkan sebagai calon.
Calon dari Legislatif
Sebagai buah dari putusan Mahkamah Konstitusi, pengawasan ekstra ketat diperlukan bagi calon yang berasal dari anggota legislatif. Dalam hal ini, titik pengawasan harus ditujukan pada memastikan calon yang sedang menjadi anggota legislatif benar-benar diberhentikan begitu yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Catatan ini menjadi penting karena sejauh ini belum dapat dibaca secara jelas bagaimana proses pemberhentian anggota legislatif yang telah ditetapkan menjadi calon. Terkait hal ini, guna memastikan berhentinya anggota legislatif yang menjadi calon, partai politik tempat bernaung sang calon segera mengajukan pemberhentian ke KPU.
Atau yang jauh lebih sederhana, keputusan KPU yang menetapkan calon sekaligus dimaknai sebagai permohonan berhenti sehingga begitu ditetapkan sebagai calon, KPU dengan segera memulai proses pergantian anggota legislatif tersebut. Jika hal ini tidak dipersiapkan secara cepat, sangat mungkin akan ada rekayasa untuk menunda-nunda pemberhentian.
Akibatnya, pemilihan selesai namun pemberhentian dan pergantian belum terjadi. Jikalau yang terjadi calon dari anggota legislatif kalah, pemberhentian dan pergantian sangat mungkin tak akan terjadi. Terlepas dari itu semua, putusan Mahkamah Konstitusi tentu membuat pengawasan menjadi lebih berat. Namun, tanpa putusan itu pun, pengawasan pemilihan kepala daerah tetap jauh dari sederhana. Karena pemilihan langsung kepala daerah merupakan keinginan mayoritas, demi kualitas pemilihan dan hadirnya pemimpin daerah yang lahir dari sebuah proses yang beradab, semua pihak harus ikut serta melakukan pengawasan.
Bagaimanapun, melihat rentetan bentangan empirik yang ada, pengawasan oleh penyelenggara pemilu jauh dari cukup. Karena itu, mari berpartisipasi mengawasi pemilihan kepala daerah yang segera hadir di hadapan kita.
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Apakah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak Desember 2015 ini akan dipenuhi keluarga petahana (incumbent) ? Pertanyaan berikutnya: apakah kontestasi politik pemilihan pemegang jabatan eksekutif tertinggi daerah ini akan dipenuhi pula oleh kandidat yang pernah menjadi narapidana?
Kedua pertanyaan ini muncul karena perubahan mendasar yang dihadirkan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi pada 8-9 Juli lalu.
Ibarat luapan banjir bandang, rangkaian putusan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman ini menerabas sejumlah pembatasan yang diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dengan rangkaian putusan tersebut, hampir dipastikan pertarungan pemilihan kepala daerah serentak pada gelombang pertama akan lebih beragam.
Artinya, tak akan ada lagi larangan bagi keluarga petahana ikut pemilihan kepala daerah. Begitu pula, mereka yang pernah menjadi terpidana terbuka ruang menjadi calon orang nomor satu di daerah. Sekalipun demikian, tidak semua pihak yang berniat menjadi calon kepala daerah menyambut gembira putusan Mahkamah Konstitusi.
Misalnya, salah satu pihak yang merasa amat dirugikan adalah peminat yang kebetulan saat ini sedang menjabat sebagai anggota legislatif. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/ 2015, mereka yang sedang menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD mesti bersiap berhenti pada masa jabatannya begitu ditetapkan sebagai calon oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.
Ya, secara substantif, berbagai pihak yang concern terhadap penyelenggaraan pemilu kepala daerah pasti akan terus berdebat di sekitar alasan hukum Mahkamah Konstitusi saat mengabulkan permohonan pemohon.
Misalnya, dalam soal pengabulan inkonstitusionalitas batasan bagi keluarga petahana yang diatur dalam Pasal 7 huruf r UU No. 8/2015 bahwa calon kepala daerah/ wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Sebagaimana diketahui, ide dasar memunculkan ketentuan ini didasarkan kepada menjamurnya praktik politik dinasti di berbagai daerah. Akan tetapi, formula rumusan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU No 8/2015 mendorong berbagai kalangan untuk menguji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi.
Merujuk rumusan penjelasan, ”konflik kepentingan” dimaknai sebagai tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana: yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Hanya, semua keluhan yang diteruskan dan diarahkan ke Mahkamah Konstitusi dan semua pihak yang mendukung ide yang termaktub di dalam semua rangkaian putusan harus mulai dikanalisasi.
Bagaimanapun, lantaran alasan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, akan jauh lebih produktif jika perdebatan dan energi diarahkan kepada langkah- langkah strategis yang mestinya dilakukan dalam menghadapi kontestasi politik lokal yang begitu masif.
Memperkuat Pengawasan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus Pasal 7 huruf r UU No. 8/2015 tentu saja menghadirkan pekerjaan ekstra bagi penyelenggara pemilu. Dalam pengertian ini, KPU provinsi dan KPU kabupaten/ kota serta pengawas pemilu pada tingkat serupa harus mampu bekerja keras menutup semua peluang yang diciptakan petahana untuk calon yang mereka dukung.
Bahkan, merujuk bentangan fakta yang tersedia, kemungkinanpetahanamemberikan keuntungan tidak melulu kepada pola hubungan sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Pasal 7 huruf r UU No 8/2015.
Demi pertimbangan strategis menghindari segala kemungkinan ancaman hukuman, sangat mungkin petahana mendorong pihak lain yang sama sekali tidak terkait dengan pola hubungan dalam Pasal 7 huruf r dan penjelasannya. Secara teknis, pasti jauh dari sederhana mengawasi pemberian dukungan kepada pihak lain yang dikehendaki petahanadiluarpolahubungankekerabatan.
Bilamana menggunakan pola hubungan sebagaimana dimaksudkan dalam Penjelasan Pasal 7 huruf r, pola pengawasan dan pelacakan pun akan menjadi lebih mudah dilakukan penyelenggara pemilihankepaladaerah. Namun di atas itu semua, yang jauh lebih membahayakan adalah keuntungan posisi petahana yang akan ikut bertarung lagi untuk periode kedua.
Sadar atau tidak, kedudukan sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah tetap saja lebih menguntungkan menuju proses pemilihan. Posisi sebagai petahana, baik secara langsung maupun tidak telah menempatkan calon petahana ada di posisi garis start paling depan.
Apalagi, dengan segala fasilitas jabatan yang melekat pada jabatannya, petahana bisa mendesain kemenangan pilkada melalui cara-cara yang sulit dikatakan melanggar hukum. Pasalnya, hampir semua langkah yang dilakukan dapat dibungkus dengan program atau anggaran pemerintah daerah yang dipimpinnya.
Seandainya pembaca sempat berkunjung ke daerah-daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak gelombang pertama, akan terlihat bagaimana persebaran baliho- baliho para petahana. Lautan baliho tersebut tidak hanya didominasi petahana yang berniat bertarung ulang untuk periode kedua, tetapi juga petahana yang hendak bertarung memperebutkan posisi yang lebih tinggi.
Dalamhalini, petahanayangbaru periode pertama menjadi gubernur/ wakil gubernur akan menggunakan posisi tersebut untuk mendayung ke proses pemilihan kedua. Sementara itu, petahana kabupaten/kota juga menggunakan posisi mereka untuk bertarung menjadi gubernur/wakil gubernur.
Dengan contoh kemungkinan menyalahgunakan posisi tersebut, tantangan terberat adalah mengawasi para petahana menyalahgunakan posisi mereka sebagai kepala daerah untuk mempertahankan posisi mereka atau berebut posisi yang lebih tinggi. Karena itu, pola pengawasan harus dengan mengoptimalkan larangan bagi petahana sebagaimana ditentukan dalam UU No. 8/2015.
Sekiranya mampu mengoptimalkan larangan yang ada, hampir dapat dipastikan sulit bagi petahana memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri dan termasuk bagi pihak lain yang potensial memanfaatkan posisi petahana.
Bahkan, demi menjaga posisi yang sejajar dan adil dalam proses pemilihan, calon yang terbukti mendapatkan keuntungan dari petahana dapat dibatalkan sebagai calon.
Calon dari Legislatif
Sebagai buah dari putusan Mahkamah Konstitusi, pengawasan ekstra ketat diperlukan bagi calon yang berasal dari anggota legislatif. Dalam hal ini, titik pengawasan harus ditujukan pada memastikan calon yang sedang menjadi anggota legislatif benar-benar diberhentikan begitu yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Catatan ini menjadi penting karena sejauh ini belum dapat dibaca secara jelas bagaimana proses pemberhentian anggota legislatif yang telah ditetapkan menjadi calon. Terkait hal ini, guna memastikan berhentinya anggota legislatif yang menjadi calon, partai politik tempat bernaung sang calon segera mengajukan pemberhentian ke KPU.
Atau yang jauh lebih sederhana, keputusan KPU yang menetapkan calon sekaligus dimaknai sebagai permohonan berhenti sehingga begitu ditetapkan sebagai calon, KPU dengan segera memulai proses pergantian anggota legislatif tersebut. Jika hal ini tidak dipersiapkan secara cepat, sangat mungkin akan ada rekayasa untuk menunda-nunda pemberhentian.
Akibatnya, pemilihan selesai namun pemberhentian dan pergantian belum terjadi. Jikalau yang terjadi calon dari anggota legislatif kalah, pemberhentian dan pergantian sangat mungkin tak akan terjadi. Terlepas dari itu semua, putusan Mahkamah Konstitusi tentu membuat pengawasan menjadi lebih berat. Namun, tanpa putusan itu pun, pengawasan pemilihan kepala daerah tetap jauh dari sederhana. Karena pemilihan langsung kepala daerah merupakan keinginan mayoritas, demi kualitas pemilihan dan hadirnya pemimpin daerah yang lahir dari sebuah proses yang beradab, semua pihak harus ikut serta melakukan pengawasan.
Bagaimanapun, melihat rentetan bentangan empirik yang ada, pengawasan oleh penyelenggara pemilu jauh dari cukup. Karena itu, mari berpartisipasi mengawasi pemilihan kepala daerah yang segera hadir di hadapan kita.
(ars)