Muhammadiyah, NU dan Lebaran
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected] Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas
Alangkah baiknya menjelang akhir bulan suci yang penuh ampunan dan pembebasan api neraka ini kita mengenang keluhuran sikap politik-keagamaan Muhammadiyah dan NU.
Kedua organisasi sosial keagamaan itu telah berhasil dengan gilanggemilang mengejawantahkan sikap tadi ke dalam tindakan nyata. Kelihatannya inilah wujud transformasi dunia ide ke dalam tatanan politik seharihari yang membawa suasana adem-ayem dan kesejukan yang megah.
Dengan kata lain, mungkin bisa disebutkan di sini bahwa kekuatan gabungan antara Muhammadiyah dan NU tidak hanya ngeyem-yemi (sekadar usaha menenangkan), melainkan secara nyata telah membikin ayem dalam arti sebenarnya. Ini ayem yang di dalamnya terkandung berkah.
Kita menyaksikan bahwa sikap mengenai yang agung dan mulia itu tidak lagi hanya semata berupa doktrin, kalimah thoyyibah, dan sejenis kata mutiara yang hanya cocok buat kaum muda remaja yang sedang puber.
Di dalam rutinitas kehidupan sehari-hari yang sering bersifat teknis, dan bisa saja membosankan, Muhammadiyah dan NU telah mengubahnya menjadi amal saleh yang besar pengaruhnya. Lagi pula perlu dicatat bahwa ini bukan amalan di masjid atau di dalam majlis halaqah (seminar) dan di tempat-tempat berzikir, tetapi di wilayah yang keras dan penuh konflik dan tantangan: di bidang politik.
Mungkin khususnya politik-keagamaan yang ujungnya runcing dan panasnya bisa membakar sebuah kota. Zikir itu jelas membikin suasana ayem- tentrem. Akan tetapi tindakan politik yang berani dan bersifat liberating pengaruhnya jauh lebih besar lagi, dan bisa meliputi semua bagian di dalam struktur politik kita dibanding sekadar suasana batiniah yang ayemtentrem tadi.
Jarang sekali, atau bahkan kelihatannya tak pernah, kita memberi apresiasi pada keduanya. Sudah pasti keduanya berbuat bukan karena mengharap pujian dan kekaguman massa. Tapi apa salahnya, tokoh-tokoh besar atau organisasi-organisasi besar di dalam masyarakat kita sesekali menyebutkan dengan takzim bahwa keduanya telah meratakan jalan kedamaian politik-keagamaan yang betul-betul penuh berkah.
Ini zaman ketika cara kita beragama di mana-mana diwarnai oleh pengaruh-pengaruh sikap yang penuh kekerasan. Agama yang memuja dan memuji, yang bersyukur dan memohon, yang lembut dan penuh pengampungan itu tiba-tiba telah berubah menjadi kutukan dan ancaman.
Dari lidah dan hati yang berzikir kepada Allah, muncul pula pada saat bersamaan cacian dan kedengkian mendalam. Perbedaan sedikit cukup menjadi alasan bagi timbulnya kekerasan.
Dan kita pun takut mengakui bahwa hal itu datang dari lingkungan kita, yaitu kalangan orang-orang yang seagama, tapi segala puji hanya untuk Allah yang maha terpuji: kita menyaksikan bahwa dalam kurang lebih seabad ini Muhammadiyah dan NU itu di dalamnya mengandung berbagai ketegangan doktrinal yang menimbulkan konflik.
Soal qunut dan doa talkin pernah sangat lama meruncing dan menjadi bahan perdebatan. Tapi ketegangan seperti ini tetap hanya berupa ketegangan. Tidak ada tindak kekerasan massa yang mengamuk dan mencemaskan. Alhamdulillah NU tak pernah menyerang Muhammadiyah, dan sebaliknya, Muhammadiyah pun tidak pernah merasa perlu menantang NU.
Ketegangan-ketegangan kecil yang diakibatkan o l e h kepentingan politik yang panas sesekali menimbulkan letupan kemarahan. Tapi kemarahan mereka tak meledak menjadi bencana kemanusiaan. Di dalam masyarakat memang timbul gurauan sekadar gurauan di kalangan NU yang menyatakan bahwa sebuah keluarga NU bersyukur karena para anggota keluarga tadi, alhamdulillah, semua Islam.
Minimal Muhammadiyah. Gurauan ini tak menjadi masalah. NU sendiri juga terkena sindiran oleh pihak lain, yang menggunakan nada salawat, yang selama ini dianggap milik NU, tapi diselewengkan di dalam suatu gurauan politik. ”Shalat keno ora yo keno. Sing penting mbela Bung Karno.
” Kita tidak tahu salawat yang membelok itu siapa yang menyusun. Tapi kita tahu, bagi NU ini sebuah gurauan belaka. Di dalamnya tidak ada unsur yang sengaja melukai tauhid. Namanya gurau ya gurau. Orang NU, kaum nahdliyin, dalam soal gurau ini boleh disebut rajanya.
Suatu gurau yang mungkin dibuat kalangan Muhammadiyah, mungkin pula oleh kalangan kaum nahdliyin, menggambarkan dengan malu-malu bahwa Muhammadiyah dan NU pada dasarnya tidak ada bedanya. Digambarkan, di suatu taman surga, ada orang NU duduk di bawah pohon. Di jalan ada seorang anggota Muhammadiyah sedang menempuh perjalanan.
Anggota NU tadi menegurnya dengan penuh keheranan : ”Mas, kalau tak salah sampeyan ini dulu anggota Muhammadiyah kan? Kenapa bisa masuk surga?” Si Muhammadiyah pun keheranan: ”Saya ingat sampeyan itu NU. Kenapa sampeyan juga di surga?” balas si Muhammadiyah tadi.
Di sini tampak betapa pada akhirnya NU atau Muhammadiyah itu bukan perkara penting. Bagi mereka, yang lebih penting itu apakah iman mereka memancarkan cinta kepada Allah yang mahapengasih dan cinta pada kemanusiaan apa tidak? Pendeknya, iman mereka lurus atau tidak dan wujud keimanan itu membawa berkah atau tidak.
Menjadi NU atau Muhammadiyah itu hanya panggilan keduniaan dan pilihan ideologi keagamaan untuk turut mengatur hidup yang ruwet ini agar menjadi tidak terlalu ruwet. NU dan Muhammadiyah dianggap jalan perjuangan yang duniawi sifatnya.
Kematangan jiwa NU dan Muhammadiyah dan para penganut masing-masing membuat renik-renik persoalan macam itu dianggap bukan perkara kunci dalam kehidupan duniawi dan dalam beragama, yang bicara soal hidup yang akan datang. Kecuali itu, menjelang Lebaran macam ini ketegangan NU dan Muhammadiyah selalu muncul. Kadang NU dan pemerintah berlebaran lebih dulu, dan Muhammadiyah esok harinya.
Dalam setahun kita lihat ada dua Lebaran. Kadang-kadang Muhammadiyah mendahului sehari. Tapi NU tak melarangnya. Perbedaan yang datang dari ketegangan doktrinal macam ini tak pernah menimbulkan tindak kekerasan. Ketika bertemu di jalan, mereka bukan baku hantam, tetapi saling bersalaman dan maaf memaafkan.
Ini bukan perkara salah atau benar yang bisa berujung pada saling mengutuk. Pada akhirnya kedua belah pihak menerimanya dengan senyum. Bahkan ada gurau: ”Kalau NU Lebaran dulu saya dukung NU. Kalau Muhammadiyah yang berlebaran lebih awal saya ikuti Muhammadiyah.”
Ini bukan watak oportunis dan bukan pula pandangan orang yang tak punya sikap keagamaan tertentu. Gurau ini mencairkan ketegangan yang sebetulnya tak penting itu. Beda ya beda saja. Tak perlu membuat kita tegang dan saling menyalahkan. Sikap politik-keagamaan ini sudah menjadi amal kebaikan sehari-hari di NU maupun di Muhammadiyah.
Orang fasih berbicara bahwa perbedaan itu berkah. Banyak pula yang paling gigih bicara bahwa Islam itu rahmat bagi semesta alam. Tapi tindakannya lain. Beda sedikit marah. Dan kemarahan menggiring timbulnya amuk yang begitu mencekam. Ini hari-hari menjelang Lebaran.
Kita belum tahu NU ataukah Muhammadiyah yang akan berlebaran dulu. Persoalan ini tidak begitu penting. NU tak mempersoalkan. Muhammadiyah menerimanya sebagai bagian dari rutinitas hidup. Beda ya beda. Maksudnya beda bukan persoalan. Mereka tak pernah menjadikan perbedaan itu sebagai komoditas politik.
Muhammadiyah dan NU sudah terlatih menghadapi perbedaan. Keduanya terlatih menerima berkah perbedaan itu. NU tak bisa membiarkan Muhammadiyah keliru. Muhammadiyah pun tak tega mendiamkan NU begitu saja tanpa menyerunya dengan baik. Jadi, sebenarnya perbedaan NU-Muhammadiyah itu mungkin dasarnya rasa cinta.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected] Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas
Alangkah baiknya menjelang akhir bulan suci yang penuh ampunan dan pembebasan api neraka ini kita mengenang keluhuran sikap politik-keagamaan Muhammadiyah dan NU.
Kedua organisasi sosial keagamaan itu telah berhasil dengan gilanggemilang mengejawantahkan sikap tadi ke dalam tindakan nyata. Kelihatannya inilah wujud transformasi dunia ide ke dalam tatanan politik seharihari yang membawa suasana adem-ayem dan kesejukan yang megah.
Dengan kata lain, mungkin bisa disebutkan di sini bahwa kekuatan gabungan antara Muhammadiyah dan NU tidak hanya ngeyem-yemi (sekadar usaha menenangkan), melainkan secara nyata telah membikin ayem dalam arti sebenarnya. Ini ayem yang di dalamnya terkandung berkah.
Kita menyaksikan bahwa sikap mengenai yang agung dan mulia itu tidak lagi hanya semata berupa doktrin, kalimah thoyyibah, dan sejenis kata mutiara yang hanya cocok buat kaum muda remaja yang sedang puber.
Di dalam rutinitas kehidupan sehari-hari yang sering bersifat teknis, dan bisa saja membosankan, Muhammadiyah dan NU telah mengubahnya menjadi amal saleh yang besar pengaruhnya. Lagi pula perlu dicatat bahwa ini bukan amalan di masjid atau di dalam majlis halaqah (seminar) dan di tempat-tempat berzikir, tetapi di wilayah yang keras dan penuh konflik dan tantangan: di bidang politik.
Mungkin khususnya politik-keagamaan yang ujungnya runcing dan panasnya bisa membakar sebuah kota. Zikir itu jelas membikin suasana ayem- tentrem. Akan tetapi tindakan politik yang berani dan bersifat liberating pengaruhnya jauh lebih besar lagi, dan bisa meliputi semua bagian di dalam struktur politik kita dibanding sekadar suasana batiniah yang ayemtentrem tadi.
Jarang sekali, atau bahkan kelihatannya tak pernah, kita memberi apresiasi pada keduanya. Sudah pasti keduanya berbuat bukan karena mengharap pujian dan kekaguman massa. Tapi apa salahnya, tokoh-tokoh besar atau organisasi-organisasi besar di dalam masyarakat kita sesekali menyebutkan dengan takzim bahwa keduanya telah meratakan jalan kedamaian politik-keagamaan yang betul-betul penuh berkah.
Ini zaman ketika cara kita beragama di mana-mana diwarnai oleh pengaruh-pengaruh sikap yang penuh kekerasan. Agama yang memuja dan memuji, yang bersyukur dan memohon, yang lembut dan penuh pengampungan itu tiba-tiba telah berubah menjadi kutukan dan ancaman.
Dari lidah dan hati yang berzikir kepada Allah, muncul pula pada saat bersamaan cacian dan kedengkian mendalam. Perbedaan sedikit cukup menjadi alasan bagi timbulnya kekerasan.
Dan kita pun takut mengakui bahwa hal itu datang dari lingkungan kita, yaitu kalangan orang-orang yang seagama, tapi segala puji hanya untuk Allah yang maha terpuji: kita menyaksikan bahwa dalam kurang lebih seabad ini Muhammadiyah dan NU itu di dalamnya mengandung berbagai ketegangan doktrinal yang menimbulkan konflik.
Soal qunut dan doa talkin pernah sangat lama meruncing dan menjadi bahan perdebatan. Tapi ketegangan seperti ini tetap hanya berupa ketegangan. Tidak ada tindak kekerasan massa yang mengamuk dan mencemaskan. Alhamdulillah NU tak pernah menyerang Muhammadiyah, dan sebaliknya, Muhammadiyah pun tidak pernah merasa perlu menantang NU.
Ketegangan-ketegangan kecil yang diakibatkan o l e h kepentingan politik yang panas sesekali menimbulkan letupan kemarahan. Tapi kemarahan mereka tak meledak menjadi bencana kemanusiaan. Di dalam masyarakat memang timbul gurauan sekadar gurauan di kalangan NU yang menyatakan bahwa sebuah keluarga NU bersyukur karena para anggota keluarga tadi, alhamdulillah, semua Islam.
Minimal Muhammadiyah. Gurauan ini tak menjadi masalah. NU sendiri juga terkena sindiran oleh pihak lain, yang menggunakan nada salawat, yang selama ini dianggap milik NU, tapi diselewengkan di dalam suatu gurauan politik. ”Shalat keno ora yo keno. Sing penting mbela Bung Karno.
” Kita tidak tahu salawat yang membelok itu siapa yang menyusun. Tapi kita tahu, bagi NU ini sebuah gurauan belaka. Di dalamnya tidak ada unsur yang sengaja melukai tauhid. Namanya gurau ya gurau. Orang NU, kaum nahdliyin, dalam soal gurau ini boleh disebut rajanya.
Suatu gurau yang mungkin dibuat kalangan Muhammadiyah, mungkin pula oleh kalangan kaum nahdliyin, menggambarkan dengan malu-malu bahwa Muhammadiyah dan NU pada dasarnya tidak ada bedanya. Digambarkan, di suatu taman surga, ada orang NU duduk di bawah pohon. Di jalan ada seorang anggota Muhammadiyah sedang menempuh perjalanan.
Anggota NU tadi menegurnya dengan penuh keheranan : ”Mas, kalau tak salah sampeyan ini dulu anggota Muhammadiyah kan? Kenapa bisa masuk surga?” Si Muhammadiyah pun keheranan: ”Saya ingat sampeyan itu NU. Kenapa sampeyan juga di surga?” balas si Muhammadiyah tadi.
Di sini tampak betapa pada akhirnya NU atau Muhammadiyah itu bukan perkara penting. Bagi mereka, yang lebih penting itu apakah iman mereka memancarkan cinta kepada Allah yang mahapengasih dan cinta pada kemanusiaan apa tidak? Pendeknya, iman mereka lurus atau tidak dan wujud keimanan itu membawa berkah atau tidak.
Menjadi NU atau Muhammadiyah itu hanya panggilan keduniaan dan pilihan ideologi keagamaan untuk turut mengatur hidup yang ruwet ini agar menjadi tidak terlalu ruwet. NU dan Muhammadiyah dianggap jalan perjuangan yang duniawi sifatnya.
Kematangan jiwa NU dan Muhammadiyah dan para penganut masing-masing membuat renik-renik persoalan macam itu dianggap bukan perkara kunci dalam kehidupan duniawi dan dalam beragama, yang bicara soal hidup yang akan datang. Kecuali itu, menjelang Lebaran macam ini ketegangan NU dan Muhammadiyah selalu muncul. Kadang NU dan pemerintah berlebaran lebih dulu, dan Muhammadiyah esok harinya.
Dalam setahun kita lihat ada dua Lebaran. Kadang-kadang Muhammadiyah mendahului sehari. Tapi NU tak melarangnya. Perbedaan yang datang dari ketegangan doktrinal macam ini tak pernah menimbulkan tindak kekerasan. Ketika bertemu di jalan, mereka bukan baku hantam, tetapi saling bersalaman dan maaf memaafkan.
Ini bukan perkara salah atau benar yang bisa berujung pada saling mengutuk. Pada akhirnya kedua belah pihak menerimanya dengan senyum. Bahkan ada gurau: ”Kalau NU Lebaran dulu saya dukung NU. Kalau Muhammadiyah yang berlebaran lebih awal saya ikuti Muhammadiyah.”
Ini bukan watak oportunis dan bukan pula pandangan orang yang tak punya sikap keagamaan tertentu. Gurau ini mencairkan ketegangan yang sebetulnya tak penting itu. Beda ya beda saja. Tak perlu membuat kita tegang dan saling menyalahkan. Sikap politik-keagamaan ini sudah menjadi amal kebaikan sehari-hari di NU maupun di Muhammadiyah.
Orang fasih berbicara bahwa perbedaan itu berkah. Banyak pula yang paling gigih bicara bahwa Islam itu rahmat bagi semesta alam. Tapi tindakannya lain. Beda sedikit marah. Dan kemarahan menggiring timbulnya amuk yang begitu mencekam. Ini hari-hari menjelang Lebaran.
Kita belum tahu NU ataukah Muhammadiyah yang akan berlebaran dulu. Persoalan ini tidak begitu penting. NU tak mempersoalkan. Muhammadiyah menerimanya sebagai bagian dari rutinitas hidup. Beda ya beda. Maksudnya beda bukan persoalan. Mereka tak pernah menjadikan perbedaan itu sebagai komoditas politik.
Muhammadiyah dan NU sudah terlatih menghadapi perbedaan. Keduanya terlatih menerima berkah perbedaan itu. NU tak bisa membiarkan Muhammadiyah keliru. Muhammadiyah pun tak tega mendiamkan NU begitu saja tanpa menyerunya dengan baik. Jadi, sebenarnya perbedaan NU-Muhammadiyah itu mungkin dasarnya rasa cinta.
(ars)