Kitab Hukum Pemilu Perlu Jadi Prolegnas 2016
A
A
A
JAKARTA - Penggabungan empat undang-undang (UU), yakni UU Pemilihan Presiden (Pilpres), UU Pemilihan Legislatif (Pileg), UU Pemilihan Kepala Daerah(Pilkada), dan UU Penyelenggara Pemilu, menjadi satu Kitab Hukum Pemilu diharapkan menjadi prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016.
Penggabungan empat UU tersebut dinilai bisa mengefektifkan politik nasional. ”Itulah kami sudah berbicara dengan baleg (badan legislasi) bahwa kitab hukum pemilu menjadi prioritas Baleg. Kalau 2016 sudah selesai maka pemilu selanjutnya bisamemahamidan semua sudah membaca UU ini,” kata Senior Advisor Kemitraan Ramlan Surbakti saat mengunjungi Redaksi KORAN SINDO di Gedung SINDO kemarin.
Sebelumnya wacana penggabungan empat UU tersebut telah diusulkan oleh beberapa civil society. Hal ini penting dilakukan lantaran UU yang ada saat ini perlu dibenahi karena tidak saja menjadi pemilu secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil, tetapi juga mewujudkan pemilu yang berintegritas, efektif dan efisien. ”Ini tidak saja hanya digabungkan lalu jadi satu buku. Akan tetapi secara substansi juga harus diperbaiki,” tuturnya.
Menurut dia, UU yang ada saat ini masih belum sepenuhnya demokratis. Bahkan antara UU satu dengan yang lain saling tumpang tindih dan ada berbagai duplikasi ketentuan antara UU pemilu dengan UU penyelenggara pemilu. ”Dalam satu hal pengaturan di setiap UU bisa berbeda. Misalnya arti dari kata pemilih antara UU pilkada dengan Pilpres berbeda. Lalu belum ada standarisasi dan kepastian hukum di dalam UU itu,” ujarnya.
Dengan saling terintegrasi maka norma yang ada pun akan konsisten satu sama lain. Dengan begitu tidak akan ada lagi perubahan UU setiap lima tahun sekali seperti sekarang ini. Menurut dia, jika konsisten, tidak saling bertentangan dan tidak multitafsir maka UU akan konsisten. Minimal 10 tahun sekali baru ada revisi. Itu pun mungkin karena ada sensus penduduk yang berpengaruh pada alokasi daerah pemilihan.
”Yang tidak kalah penting jika sudah diubah maka sistem pemilunya menjadi sistem dan demokrasi yang kita sepakati bersama. Partai macam apa yang akan kita bangun. Apa seperti sekarang? Lalu sistem perwakilannya? Apakah sudah cukup seperti sekarang ini, ternyata juga belum. Sistem pemerintahan sekarang juga belum efektif, ” jelasnya.
Dia mengaku bahwa kitab hukum pemilu ini baru dapat direalisasikan sekarang karena setiap pemilu telah memiliki UU-nya. Sebelumnya UU Pilkada tergabung menjadi satu dengan UU Pemerintahan Daerah (Pemda). Tantangan pembentukan kitab ini adalah kepentingan partai politik di mana sering kali pembahasan UU pemilu lebih didominasi kepentingan partai dibandingkan membentuk sebuah sistem pemilu yang lebih baik.
Peneliti Kemitraan Partnership Wahidah Suaib menilai adanya perubahan yang terlalu sering dilakukan terhadap UU pemilu membuat kerja penyelenggara dan pengawas tidak efektif. Padahal banyak yang harus dipersiapkan oleh para penyelenggara.
”Penyelenggara kerepotan. Setiap pemilu ganti UU padahal mereka (penyelenggara) harus mempersiapkan segala sesuatunya. Misalnya peraturan apakah itu PKPU atau peraturan Bawaslu dan pembentukan panwas yang bersifat ad hoc ,” kata dia.
Dita angga
Penggabungan empat UU tersebut dinilai bisa mengefektifkan politik nasional. ”Itulah kami sudah berbicara dengan baleg (badan legislasi) bahwa kitab hukum pemilu menjadi prioritas Baleg. Kalau 2016 sudah selesai maka pemilu selanjutnya bisamemahamidan semua sudah membaca UU ini,” kata Senior Advisor Kemitraan Ramlan Surbakti saat mengunjungi Redaksi KORAN SINDO di Gedung SINDO kemarin.
Sebelumnya wacana penggabungan empat UU tersebut telah diusulkan oleh beberapa civil society. Hal ini penting dilakukan lantaran UU yang ada saat ini perlu dibenahi karena tidak saja menjadi pemilu secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil, tetapi juga mewujudkan pemilu yang berintegritas, efektif dan efisien. ”Ini tidak saja hanya digabungkan lalu jadi satu buku. Akan tetapi secara substansi juga harus diperbaiki,” tuturnya.
Menurut dia, UU yang ada saat ini masih belum sepenuhnya demokratis. Bahkan antara UU satu dengan yang lain saling tumpang tindih dan ada berbagai duplikasi ketentuan antara UU pemilu dengan UU penyelenggara pemilu. ”Dalam satu hal pengaturan di setiap UU bisa berbeda. Misalnya arti dari kata pemilih antara UU pilkada dengan Pilpres berbeda. Lalu belum ada standarisasi dan kepastian hukum di dalam UU itu,” ujarnya.
Dengan saling terintegrasi maka norma yang ada pun akan konsisten satu sama lain. Dengan begitu tidak akan ada lagi perubahan UU setiap lima tahun sekali seperti sekarang ini. Menurut dia, jika konsisten, tidak saling bertentangan dan tidak multitafsir maka UU akan konsisten. Minimal 10 tahun sekali baru ada revisi. Itu pun mungkin karena ada sensus penduduk yang berpengaruh pada alokasi daerah pemilihan.
”Yang tidak kalah penting jika sudah diubah maka sistem pemilunya menjadi sistem dan demokrasi yang kita sepakati bersama. Partai macam apa yang akan kita bangun. Apa seperti sekarang? Lalu sistem perwakilannya? Apakah sudah cukup seperti sekarang ini, ternyata juga belum. Sistem pemerintahan sekarang juga belum efektif, ” jelasnya.
Dia mengaku bahwa kitab hukum pemilu ini baru dapat direalisasikan sekarang karena setiap pemilu telah memiliki UU-nya. Sebelumnya UU Pilkada tergabung menjadi satu dengan UU Pemerintahan Daerah (Pemda). Tantangan pembentukan kitab ini adalah kepentingan partai politik di mana sering kali pembahasan UU pemilu lebih didominasi kepentingan partai dibandingkan membentuk sebuah sistem pemilu yang lebih baik.
Peneliti Kemitraan Partnership Wahidah Suaib menilai adanya perubahan yang terlalu sering dilakukan terhadap UU pemilu membuat kerja penyelenggara dan pengawas tidak efektif. Padahal banyak yang harus dipersiapkan oleh para penyelenggara.
”Penyelenggara kerepotan. Setiap pemilu ganti UU padahal mereka (penyelenggara) harus mempersiapkan segala sesuatunya. Misalnya peraturan apakah itu PKPU atau peraturan Bawaslu dan pembentukan panwas yang bersifat ad hoc ,” kata dia.
Dita angga
(ftr)