Untuk Apa Reshuffle?
A
A
A
Belum genap satu tahun usia Kabinet Kerja, isu bongkar-pasang pembantu Presiden sudah menyeruak ke permukaan. Berita yang santer beredar di media massa ialah beberapa menteri dari bidang perekonomian akan diganti oleh Jokowi.
Sebabnya disebutkan adalah perekonomian Indonesia yang cenderung lesu dan dikhawatirkan, jika mereka yang ada di posisi tersebut tidak diganti, kondisi ekonomi Indonesia akan makin memburuk. Dilihat dari sisi waktu, jika benar reshuffle dilakukan pada Juli ini, itu tentu di luar kelaziman.
Menurut temuan Christopher Kam dan Indridi Indridason (2005) dalam artikel mereka, ”The Timing of Cabinet Reshuffles in Five Westminster Parliamentary Systems”, di negara-negara dengan sistem pemerintahan parlementer yang lebih volatile ketimbang sistem presidensial saja, ratarata reshuffle kabinet di lima negara (Australia, Inggris, Kanada, Irlandia, dan Selandia Baru) adalah setiap 11 (sebelas) bulan.
Apalagi, Indonesia tidak menganut sistem parlementer di mana dalam sistem tersebut jabatan kepala pemerintahan dan kabinetnya relatif rentan. Sebaliknya, negara kita menggunakan sistem presidensial di mana jabatan presiden bersifat fixed kecuali sosok presiden melanggar aturan dalam konstitusi.
Belum lagi, seperti digembar- gemborkan sebelumnya oleh Jokowi, proses penentuan menteri-menterinya telah melalui proses yang tidak hanya panjang, namun juga dibantu oleh tim transisi yang bekerja selama kurang lebih dua bulan. Adanya reshuffle kabinet yang akan datang menjadi sinyal bahwa yang didengungkan sebelumnya layak untuk dipertanyakan kebenarannya.
Political vs Performance
Secara teoritis, ada dua pendekatan dalam melihat alasan di balik keputusan melakukan reshuffle kabinet yang dilakukan oleh seorang kepala pemerintahan. Pertama, political-based. Dalam pendekatan ini, Indridi Indridason dan Christopher Kam (2008) dalam tulisan mereka yangberjudul”Cabinet Reshuffles and Ministerial Drift” menyebutkan reshuffle kabinet dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk mengakomodasi kepentingan politik yang ada seperti mengubah konstruksi koalisi partai politik atau memberikan konsesi yang lebih besar kepada partai politik pendukung, termasuk partai politik dari pemimpin pemerintahan sendiri.
Kedua, performance-based. Dalam konteks pendekatan ini, kebijakan pergantian menteri diambil karena faktor tidak perform -nya kinerja menteri dan dikhawatirkan bila tidak ada rotasi kabinet, dapat mengganggu kinerja kabinet secara keseluruhan. Yang termasuk dalam kategori ini ialah pergantian menteri yang disebabkan menteri tersebut membuat skandal seperti korupsi atau pelanggaran-pelanggaran sejenisnya.
Dalam konteks negara yang sudah maju bahkan pergantian menteri didahului oleh tindakan pengunduran diri oleh menteri yang tersangkut kasus ataupun underperform karena kuatnya rasa tanggung jawab dan berpegangan erat dengan masalah etika jabatan publik. Dalam kenyataannya, memang bisa saja kedua pendekatan di atas tidak berdiri sendiri, melainkan hadir secara bersamaan.
Tetapi, meski terjadi hal yang demikian, umumnya ada salah satu pendekatan yang lebih kuat ketimbang yang lain sebagai dasar penentu keputusan reshuffle. Lantas, bagaimana kemudian dengan reshuffle yang akan datang? Jokowi dan JK seperti dikutip sejumlah media massa mengatakan bahwa mereka melakukan proses evaluasi kinerja terhadap para menteri.
Sayangnya, baikalat, indikator, maupun hasil evaluasi yang dimaksud tidak pernah dilempar kepada publik. Padahal, publik berhak untuk tahu perihal evaluasi tersebut apakah benar objektif ada atau tidak. Ditambah lagi, periode evaluasi dan rencana reshuffle di bawah periode satu tahun pemerintahan Jokowi juga menimbulkan pertanyaan di benak rakyat banyak.
Yang justru ”terlihat lebih objektif” dan dapat diketahui publik adalah penilaian yang dilakukan lembaga survei atau media massa. Menurut hasil survei Poltracking Institute yang diselenggarakan dalam rentang tanggal 23- 31 Maret 2015, mayoritas responden (41,8%) setuju dilakukan reshuffle karena ketidakpuasan publik terhadap kinerja Jokowi-JK dan kabinetnya.
Selain itu, merujuk hasil survei lain dari Indo Barometer yang dilakukan pada 15- 25 Maret 2015, tingkat kepuasan publik kepada kinerja Joko-wi hanya 5 7 , 5 % , sedangkan Jusuf Kalla hanya 53,3%. Adapunterhadap kinerja para menteri secara keseluruhan hanya 46,8%. Angka ini dinilai di bawah nilai standar yaitu 75%.
Namun, tampaknya yang lebih kuat dan menjadi intidari alasan reshuffle adalah faktor politik yaitu desakan dari partai politik pendukung, terutama partai politik pengusung Jokowi sendiri, yang menginginkan kader partai tersebut lebih banyak lagi mengisi kabinet.
Sinyalemen itu tampak terang datang dari lontaran kader atau pengurus partai politik tersebut yang mengatakan Jokowi perlu melakukan reshuffle kabinet. Meski merupakan hak istimewa Presiden, wajar jika Presiden ”berkonsultasi” dengan PDIP karena merupakan partai pengusung.
Bukan Akomodasi
Reshuffle sepenuhnya adalah hak prerogatif Presiden. Meski demikian, idealnya reshuffle kabinet tidak ditempatkan sebagai instrumen untuk melakukan akomodasi politik terhadap kekuatan politik yang ada. Lebih dari itu, reshuffle mesti ditempatkan sebagai cara Presiden membongkar menteri yang tidak berhasil menunjukkan kinerjanya dan memasang penggantinya yang bisa bekerja sesuai harapan rakyat banyak.
Tak hanya itu, sampai saat ini belum pernah ada penelitian dan studi yang dapat diandalkan dengan mengambil contoh di pemerintahan sebelumnya bahwa kinerja kementerian sesudah reshuffle pasti lebih baik daripada sebelum di-reshuffle. Jika terkait kinerja, boleh jadi masalahnya bukan selalu ada pada menterinya, tapi ada pada hal lain seperti misalnya birokrasi di bawah menteri tersebut. Jika demikian yang terjadi, pertanyaannya kemudian, untuk apa reshuffle kabinet? Wallahualam.
Jazuli Juwaini
Ketua Fraksi PKS DPR RI
Sebabnya disebutkan adalah perekonomian Indonesia yang cenderung lesu dan dikhawatirkan, jika mereka yang ada di posisi tersebut tidak diganti, kondisi ekonomi Indonesia akan makin memburuk. Dilihat dari sisi waktu, jika benar reshuffle dilakukan pada Juli ini, itu tentu di luar kelaziman.
Menurut temuan Christopher Kam dan Indridi Indridason (2005) dalam artikel mereka, ”The Timing of Cabinet Reshuffles in Five Westminster Parliamentary Systems”, di negara-negara dengan sistem pemerintahan parlementer yang lebih volatile ketimbang sistem presidensial saja, ratarata reshuffle kabinet di lima negara (Australia, Inggris, Kanada, Irlandia, dan Selandia Baru) adalah setiap 11 (sebelas) bulan.
Apalagi, Indonesia tidak menganut sistem parlementer di mana dalam sistem tersebut jabatan kepala pemerintahan dan kabinetnya relatif rentan. Sebaliknya, negara kita menggunakan sistem presidensial di mana jabatan presiden bersifat fixed kecuali sosok presiden melanggar aturan dalam konstitusi.
Belum lagi, seperti digembar- gemborkan sebelumnya oleh Jokowi, proses penentuan menteri-menterinya telah melalui proses yang tidak hanya panjang, namun juga dibantu oleh tim transisi yang bekerja selama kurang lebih dua bulan. Adanya reshuffle kabinet yang akan datang menjadi sinyal bahwa yang didengungkan sebelumnya layak untuk dipertanyakan kebenarannya.
Political vs Performance
Secara teoritis, ada dua pendekatan dalam melihat alasan di balik keputusan melakukan reshuffle kabinet yang dilakukan oleh seorang kepala pemerintahan. Pertama, political-based. Dalam pendekatan ini, Indridi Indridason dan Christopher Kam (2008) dalam tulisan mereka yangberjudul”Cabinet Reshuffles and Ministerial Drift” menyebutkan reshuffle kabinet dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk mengakomodasi kepentingan politik yang ada seperti mengubah konstruksi koalisi partai politik atau memberikan konsesi yang lebih besar kepada partai politik pendukung, termasuk partai politik dari pemimpin pemerintahan sendiri.
Kedua, performance-based. Dalam konteks pendekatan ini, kebijakan pergantian menteri diambil karena faktor tidak perform -nya kinerja menteri dan dikhawatirkan bila tidak ada rotasi kabinet, dapat mengganggu kinerja kabinet secara keseluruhan. Yang termasuk dalam kategori ini ialah pergantian menteri yang disebabkan menteri tersebut membuat skandal seperti korupsi atau pelanggaran-pelanggaran sejenisnya.
Dalam konteks negara yang sudah maju bahkan pergantian menteri didahului oleh tindakan pengunduran diri oleh menteri yang tersangkut kasus ataupun underperform karena kuatnya rasa tanggung jawab dan berpegangan erat dengan masalah etika jabatan publik. Dalam kenyataannya, memang bisa saja kedua pendekatan di atas tidak berdiri sendiri, melainkan hadir secara bersamaan.
Tetapi, meski terjadi hal yang demikian, umumnya ada salah satu pendekatan yang lebih kuat ketimbang yang lain sebagai dasar penentu keputusan reshuffle. Lantas, bagaimana kemudian dengan reshuffle yang akan datang? Jokowi dan JK seperti dikutip sejumlah media massa mengatakan bahwa mereka melakukan proses evaluasi kinerja terhadap para menteri.
Sayangnya, baikalat, indikator, maupun hasil evaluasi yang dimaksud tidak pernah dilempar kepada publik. Padahal, publik berhak untuk tahu perihal evaluasi tersebut apakah benar objektif ada atau tidak. Ditambah lagi, periode evaluasi dan rencana reshuffle di bawah periode satu tahun pemerintahan Jokowi juga menimbulkan pertanyaan di benak rakyat banyak.
Yang justru ”terlihat lebih objektif” dan dapat diketahui publik adalah penilaian yang dilakukan lembaga survei atau media massa. Menurut hasil survei Poltracking Institute yang diselenggarakan dalam rentang tanggal 23- 31 Maret 2015, mayoritas responden (41,8%) setuju dilakukan reshuffle karena ketidakpuasan publik terhadap kinerja Jokowi-JK dan kabinetnya.
Selain itu, merujuk hasil survei lain dari Indo Barometer yang dilakukan pada 15- 25 Maret 2015, tingkat kepuasan publik kepada kinerja Joko-wi hanya 5 7 , 5 % , sedangkan Jusuf Kalla hanya 53,3%. Adapunterhadap kinerja para menteri secara keseluruhan hanya 46,8%. Angka ini dinilai di bawah nilai standar yaitu 75%.
Namun, tampaknya yang lebih kuat dan menjadi intidari alasan reshuffle adalah faktor politik yaitu desakan dari partai politik pendukung, terutama partai politik pengusung Jokowi sendiri, yang menginginkan kader partai tersebut lebih banyak lagi mengisi kabinet.
Sinyalemen itu tampak terang datang dari lontaran kader atau pengurus partai politik tersebut yang mengatakan Jokowi perlu melakukan reshuffle kabinet. Meski merupakan hak istimewa Presiden, wajar jika Presiden ”berkonsultasi” dengan PDIP karena merupakan partai pengusung.
Bukan Akomodasi
Reshuffle sepenuhnya adalah hak prerogatif Presiden. Meski demikian, idealnya reshuffle kabinet tidak ditempatkan sebagai instrumen untuk melakukan akomodasi politik terhadap kekuatan politik yang ada. Lebih dari itu, reshuffle mesti ditempatkan sebagai cara Presiden membongkar menteri yang tidak berhasil menunjukkan kinerjanya dan memasang penggantinya yang bisa bekerja sesuai harapan rakyat banyak.
Tak hanya itu, sampai saat ini belum pernah ada penelitian dan studi yang dapat diandalkan dengan mengambil contoh di pemerintahan sebelumnya bahwa kinerja kementerian sesudah reshuffle pasti lebih baik daripada sebelum di-reshuffle. Jika terkait kinerja, boleh jadi masalahnya bukan selalu ada pada menterinya, tapi ada pada hal lain seperti misalnya birokrasi di bawah menteri tersebut. Jika demikian yang terjadi, pertanyaannya kemudian, untuk apa reshuffle kabinet? Wallahualam.
Jazuli Juwaini
Ketua Fraksi PKS DPR RI
(ftr)