Hercules Jatuh karena Mesin Mati
A
A
A
MEDAN - Hasil investigasi awal kecelakaan pesawat Hercules C-130 di Jalan Jamin Ginting, Medan, Sumatera Utara, menemukan bukti tragedi maut itu dipicu kerusakan mesin. Sebelum jatuh, pesawat juga menghantam tiang pemancar radio di dekat Pangkalan Udara Soewondo.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Agus Supriatna menjelaskan, tim penyelidik sejauh ini memperoleh tiga bukti mengenai insiden yang menewaskan seluruh penumpang pesawat bernomor register A- 1310 tersebut.
Meski demikian, hasil investigasi belum final. Tim akan terus bekerja hingga menemukan detail penyebab kecelakaan. Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko menegaskan, dibutuhkan waktu setidaknya dua pekan untuk mengungkap tragedi itu secara terperinci. “Investigasi perlu waktu. Jangan sampai nanti ketika dikeluarkan enggak tahunya salah. Itu harus dihindari dan mesti seteliti mungkin. Pasti nanti akan kami publikasikan,” kata Moeldoko di Jakarta kemarin.
Agus Supriatna menjelaskan, bukti pertama adalah permintaan pilot untuk kembali ke pangkalan (return to base) setelah pesawat lepas landas. Permintaan itu menandakan ada kerusakan di pesawat. “Kedua , dilihat dari pesawat itu lari (berbelok) ke kanan, diperkirakan engine sebelah kanan mati. Kenapa mati, pada saat dicek, propeller (balingbaling) tidak berada pada posisinya. Itu stop, mati,” ujarnya.
Bukti ketiga, pesawat menghantam tiang pemancar radio yang hanya berjarak 3.200 meter dari runway. KSAU menyayangkan keberadaan tiang tersebut karena dia meyakini pesawat sanggup climb (terbang ke atas) sehingga tidak jatuh. “Jadi pilot sudah tahu untuk me-recover engine yang mati. Karena menabrak tower, kecepatan pesawat menjadi pelan sehingga jatuh,” katanya.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara (Kadispenau) Marsekal Pertama TNI Dwi Badarmanto menambahkan, tiang pemancar itu setinggi 35 meter. Berdasarkan peraturan di dunia penerbangan, sebenarnya tidak boleh ada bangunan setinggi itu di wilayah dekat bandara. Dia menuturkan, dalam kasus kecelakaan di Medan, mesin yang mati berada di sisi kanan luar atau mesin nomor 4. Dia mengakui secara teknis tak berfungsinya mesin itu masih dapat diantisipasi meski pada ketinggian rendah.
“Persoalannya ada tiang pemancar radio. Kalau saja kita berandai- andai ya, menurut pengalaman, penerbang itu (pesawat) bisa diselamatkan,” ujarnya. Seperti diberitakan, pesawat HerculesC-130yangmengangkut 101 penumpang dan 12 kru jatuh di Medan (30/6). Seluruh penumpangtewas. Belasan warga yang berada di lokasi kejadian turut menjadi korban.
Sempat simpang siur, data korban kemarindirilismenjadi142orang meninggal dunia. Ketua Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Sumut Brigjen Pol Arthur Tampi menuturkan, proses identifikasi terus berlangsung. Meski demikian, dia mengakui tim mulai kesulitan karena sejumlah jenazah sulit dikenali secara visual. Sementara data primer seperti sidik jari dan rekam gigi korban belum komplet.
“Kalau itu ada mungkin bisa lebih cepat. Karena sementara belum ada, data primer yang mendukung proses identifikasi cumaDNA,” katanya. Keadaanini memakan waktu karena untuk pengambilan DNI, tim DVI harus terlebih dulu profil DNA korban, kemudian mencari data pembanding dari pihak keluarga.
Renstra Alutsista
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mengaku telah menyusun rencana strategis (renstra) pemeliharaan dan perbaikan untuk semua alat utama sistem persenjataan (alutsista). Renstra sangat penting dalam pendataan dan mengidentifikasi kelayakan alutsista sekaligus salah satu bentuk perhatian terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki TNI. “Agar semua detail. Seperti pesawat itu, per itemnya, per menit, per jam, dan per hari, pakainya, semua tercatat dengan baik,” katanya.
Dia mengakui pemeliharaan danperbaikanalutsistamemang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Namun hal itu tetap harus dilakukan. Anggaran penyediaan alutsista, kata Moeldoko, pada 2016 sebesar Rp101 triliun sudah dibagi-bagi pada lima organisasi yang ada di TNI untuk keperluan belanja rutin dan sebagainya.
“Ini (pemeliharaan dan perbaikan) memang perlu anggaran yang tidak sedikit tapi harus seperti itu. Nggak boleh kita abai. Apakah sekarang kita abai, sebenarnya tidak. Dengan kesabaran dan ketelitian, semangat prajurit-prajurit saya di lapangan pesawat tua pun masih dipelihara dengan baik,” katanya. Mantan KSAD itu mengatakan ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan layak tidaknya sebuah pesawat untuk terbang, yakni air frame dan engine.
Berdasarkan data, kekuatan pesawat Hercules TNI sebanyak 26 unit. “Yang angkatan 1960-an ada 8 buah. Hercules yang sekarang itu (buatan) tahun 1960 digunakan tahun 64. Yang kedua, keluaran 78, jumlahnya 12 pesawat dan yang 1980-an sekitar 6 pesawat. Jadi alutsista khusus alat angkut udara kita usianya cukup tua karena memang tidak ada yang baru,” papar Panglima.
Panggabean hasibuan/ eko agustyo fb/ sucipto/arsyani s
Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Agus Supriatna menjelaskan, tim penyelidik sejauh ini memperoleh tiga bukti mengenai insiden yang menewaskan seluruh penumpang pesawat bernomor register A- 1310 tersebut.
Meski demikian, hasil investigasi belum final. Tim akan terus bekerja hingga menemukan detail penyebab kecelakaan. Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko menegaskan, dibutuhkan waktu setidaknya dua pekan untuk mengungkap tragedi itu secara terperinci. “Investigasi perlu waktu. Jangan sampai nanti ketika dikeluarkan enggak tahunya salah. Itu harus dihindari dan mesti seteliti mungkin. Pasti nanti akan kami publikasikan,” kata Moeldoko di Jakarta kemarin.
Agus Supriatna menjelaskan, bukti pertama adalah permintaan pilot untuk kembali ke pangkalan (return to base) setelah pesawat lepas landas. Permintaan itu menandakan ada kerusakan di pesawat. “Kedua , dilihat dari pesawat itu lari (berbelok) ke kanan, diperkirakan engine sebelah kanan mati. Kenapa mati, pada saat dicek, propeller (balingbaling) tidak berada pada posisinya. Itu stop, mati,” ujarnya.
Bukti ketiga, pesawat menghantam tiang pemancar radio yang hanya berjarak 3.200 meter dari runway. KSAU menyayangkan keberadaan tiang tersebut karena dia meyakini pesawat sanggup climb (terbang ke atas) sehingga tidak jatuh. “Jadi pilot sudah tahu untuk me-recover engine yang mati. Karena menabrak tower, kecepatan pesawat menjadi pelan sehingga jatuh,” katanya.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara (Kadispenau) Marsekal Pertama TNI Dwi Badarmanto menambahkan, tiang pemancar itu setinggi 35 meter. Berdasarkan peraturan di dunia penerbangan, sebenarnya tidak boleh ada bangunan setinggi itu di wilayah dekat bandara. Dia menuturkan, dalam kasus kecelakaan di Medan, mesin yang mati berada di sisi kanan luar atau mesin nomor 4. Dia mengakui secara teknis tak berfungsinya mesin itu masih dapat diantisipasi meski pada ketinggian rendah.
“Persoalannya ada tiang pemancar radio. Kalau saja kita berandai- andai ya, menurut pengalaman, penerbang itu (pesawat) bisa diselamatkan,” ujarnya. Seperti diberitakan, pesawat HerculesC-130yangmengangkut 101 penumpang dan 12 kru jatuh di Medan (30/6). Seluruh penumpangtewas. Belasan warga yang berada di lokasi kejadian turut menjadi korban.
Sempat simpang siur, data korban kemarindirilismenjadi142orang meninggal dunia. Ketua Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Sumut Brigjen Pol Arthur Tampi menuturkan, proses identifikasi terus berlangsung. Meski demikian, dia mengakui tim mulai kesulitan karena sejumlah jenazah sulit dikenali secara visual. Sementara data primer seperti sidik jari dan rekam gigi korban belum komplet.
“Kalau itu ada mungkin bisa lebih cepat. Karena sementara belum ada, data primer yang mendukung proses identifikasi cumaDNA,” katanya. Keadaanini memakan waktu karena untuk pengambilan DNI, tim DVI harus terlebih dulu profil DNA korban, kemudian mencari data pembanding dari pihak keluarga.
Renstra Alutsista
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mengaku telah menyusun rencana strategis (renstra) pemeliharaan dan perbaikan untuk semua alat utama sistem persenjataan (alutsista). Renstra sangat penting dalam pendataan dan mengidentifikasi kelayakan alutsista sekaligus salah satu bentuk perhatian terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki TNI. “Agar semua detail. Seperti pesawat itu, per itemnya, per menit, per jam, dan per hari, pakainya, semua tercatat dengan baik,” katanya.
Dia mengakui pemeliharaan danperbaikanalutsistamemang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Namun hal itu tetap harus dilakukan. Anggaran penyediaan alutsista, kata Moeldoko, pada 2016 sebesar Rp101 triliun sudah dibagi-bagi pada lima organisasi yang ada di TNI untuk keperluan belanja rutin dan sebagainya.
“Ini (pemeliharaan dan perbaikan) memang perlu anggaran yang tidak sedikit tapi harus seperti itu. Nggak boleh kita abai. Apakah sekarang kita abai, sebenarnya tidak. Dengan kesabaran dan ketelitian, semangat prajurit-prajurit saya di lapangan pesawat tua pun masih dipelihara dengan baik,” katanya. Mantan KSAD itu mengatakan ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan layak tidaknya sebuah pesawat untuk terbang, yakni air frame dan engine.
Berdasarkan data, kekuatan pesawat Hercules TNI sebanyak 26 unit. “Yang angkatan 1960-an ada 8 buah. Hercules yang sekarang itu (buatan) tahun 1960 digunakan tahun 64. Yang kedua, keluaran 78, jumlahnya 12 pesawat dan yang 1980-an sekitar 6 pesawat. Jadi alutsista khusus alat angkut udara kita usianya cukup tua karena memang tidak ada yang baru,” papar Panglima.
Panggabean hasibuan/ eko agustyo fb/ sucipto/arsyani s
(ars)