Reshuffle Kabinet Bakal Sarat Politik Transaksional
A
A
A
JAKARTA - Isu Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan melakukan perombakan atau reshuffle kabinet, semakin menyeruak ke publik.
Meski belum tahu kapan waktu pastinya, sinyalemen reshuffle kabinet bisa dilakukan sebelum atau sesudah Idul Fitri, seperti dikatakan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK).
Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bakir Ihsan memberi catatan terhadap rencana reshuffle tersebut.
Menurutnya, syarat yang harus dikantongi Presiden Jokowi dalam merombak Kabinet Kerja adalah dengan evaluasi secara mendetail masing-masing kementerian.
"Reshuffle sejatinya didasarkan pada hasil evaluasi yang komprehensif terhadap kinerja menteri," kata Bakir saat dihubungi Sindonews, di Jakarta, Rabu (1/7/2015).
Bakir berpendapat, era sistem politik yang dianut Indonesia pasca reformasi dinilai identik dengan politik akomodatif. Menurutnya, sistem akomodasi tersebut lebih dicirikan kepada politik transaksional untuk memenuhi kuasa politik dari partai politik.
Dikatakannya, pemerintahan berkuasa tanpa dukungan penuh partai politik sulit rasanya akan mampu bertahan. Dalam konteks Kabinet Kerja Jokowi sekarang, dinilai sistem politik dalam pemerintahan belum beranjak dari yang disebut politik transaksional.
Sebab, kendati Jokowi sejak awal ingin banyak mengisi pos kementeriannya dari kalangan profesional, tetapi hal tersebut terbantahkan dengan masuknya menteri-menteri dari lingkaran partai.
Diprediksi kata Bakir, dugaan politik transaksional akan kembali dilakukan Jokowi saat merombak kabinetnya nanti. "Problem bawaan dari kabinet Jokowi adalah transaksional, bukan didasarkan pada meritokrasi," ujarnya.
Kendati begitu, model politik transaksional sah-sah saja dilakukan Presiden Jokowi dalam merombak kabinet nanti. Syaratnya, menurut Bakir, perombakan atau reshuffle kabinet didasarkan pada kapasitas dan kapabilitas menteri meski berasal dari partai politik.
"Karena itu, kalau Jokowi mau bekerja secara maksimal, maka pilih menteri, dalam reshuffle nanti, menteri yang punya kapasitas dan didukung oleh parpol," paparnya.
Sekadar catatan, dari penelusuran Sindonews, istilah meritokrasi sempat diperkenalkan oleh seorang sosiolog Inggris bernama M. Young dalam novel 'The Rise of Meritocracy' 1870-2033 pada tahun 1958.
Meritokrasi digunakan untuk mempelajari teori politik seperti dalam satu penjelasan menyebutkan, meritokrasi adalah konsep yang digunakan dalam ilmu politik untuk menandakan suatu masyarakat yang diperintah oleh suatu pemerintahan dari orang-orang yang dipilih atas dasar jasa-jasa dan kemampuannya.
Pilihan:
Presiden Jokowi Tahu Menteri yang Merendahkan Dirinya
Siapakah Menteri yang Masuk Radar Jokowi?
Meski belum tahu kapan waktu pastinya, sinyalemen reshuffle kabinet bisa dilakukan sebelum atau sesudah Idul Fitri, seperti dikatakan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK).
Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bakir Ihsan memberi catatan terhadap rencana reshuffle tersebut.
Menurutnya, syarat yang harus dikantongi Presiden Jokowi dalam merombak Kabinet Kerja adalah dengan evaluasi secara mendetail masing-masing kementerian.
"Reshuffle sejatinya didasarkan pada hasil evaluasi yang komprehensif terhadap kinerja menteri," kata Bakir saat dihubungi Sindonews, di Jakarta, Rabu (1/7/2015).
Bakir berpendapat, era sistem politik yang dianut Indonesia pasca reformasi dinilai identik dengan politik akomodatif. Menurutnya, sistem akomodasi tersebut lebih dicirikan kepada politik transaksional untuk memenuhi kuasa politik dari partai politik.
Dikatakannya, pemerintahan berkuasa tanpa dukungan penuh partai politik sulit rasanya akan mampu bertahan. Dalam konteks Kabinet Kerja Jokowi sekarang, dinilai sistem politik dalam pemerintahan belum beranjak dari yang disebut politik transaksional.
Sebab, kendati Jokowi sejak awal ingin banyak mengisi pos kementeriannya dari kalangan profesional, tetapi hal tersebut terbantahkan dengan masuknya menteri-menteri dari lingkaran partai.
Diprediksi kata Bakir, dugaan politik transaksional akan kembali dilakukan Jokowi saat merombak kabinetnya nanti. "Problem bawaan dari kabinet Jokowi adalah transaksional, bukan didasarkan pada meritokrasi," ujarnya.
Kendati begitu, model politik transaksional sah-sah saja dilakukan Presiden Jokowi dalam merombak kabinet nanti. Syaratnya, menurut Bakir, perombakan atau reshuffle kabinet didasarkan pada kapasitas dan kapabilitas menteri meski berasal dari partai politik.
"Karena itu, kalau Jokowi mau bekerja secara maksimal, maka pilih menteri, dalam reshuffle nanti, menteri yang punya kapasitas dan didukung oleh parpol," paparnya.
Sekadar catatan, dari penelusuran Sindonews, istilah meritokrasi sempat diperkenalkan oleh seorang sosiolog Inggris bernama M. Young dalam novel 'The Rise of Meritocracy' 1870-2033 pada tahun 1958.
Meritokrasi digunakan untuk mempelajari teori politik seperti dalam satu penjelasan menyebutkan, meritokrasi adalah konsep yang digunakan dalam ilmu politik untuk menandakan suatu masyarakat yang diperintah oleh suatu pemerintahan dari orang-orang yang dipilih atas dasar jasa-jasa dan kemampuannya.
Pilihan:
Presiden Jokowi Tahu Menteri yang Merendahkan Dirinya
Siapakah Menteri yang Masuk Radar Jokowi?
(maf)