Dana Aspirasi DPR

Senin, 29 Juni 2015 - 10:38 WIB
Dana Aspirasi DPR
Dana Aspirasi DPR
A A A
DPR kembali membuat kontroversi. Kali ini Dewan sedang mendapat sorotan tajam dari masyarakat terkait Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau lebih akrab disebut dana aspirasi DPR.

Program ini dinilai mengabaikan kondisi ekonomi negara, sekaligus berpotensi memecah belah bangsa. Mungkin secara konsep dan teori, program dana aspirasi ini bagus di atas kertas. Secara hukum, pengajuan dana aspirasi Rp20 miliar per anggota DPR untuk pembangunan daerah juga tidak ada yang salah. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) merupakan pijakan hukum bagi usulan dana aspirasi tersebut.

Namun, pertanyaannya apakah dalam praktiknya nanti dana aspirasi yang menggunakan dana rakyat tersebut benar-benar tepat sasaran? Apakah benar dana aspirasi ini nanti tidak mempunyai efek lain yang justru kontraproduktif bagi pembangunan dan kesatuan bangsa? Marilah kita mencermati lebih dalam tentang usulan dana aspirasi yang rancangannya telah disetujui dalam sidang paripurna, Selasa (23/6) lalu.

Secara umum, pengajuan dana aspirasi di kala kondisi ekonomi negara sedang sulit tentunya tidak etis. Hitung-hitungannya, jika satu anggota Dewan mendapat Rp20 miliar berarti dibutuhkan anggaran sekitar Rp11,2 triliun untuk 560 anggota DPR per tahun. Tentu itu bukan angka yang kecil bagi negara ini. Dewan boleh saja beralasan pengajuan dana aspirasi tersebut untuk menjaga prinsip pemerataan dan keadilan di setiap daerah pemilihan (dapil).

Namun, berdasarkan pengalaman, sulit untuk mempercayai bahwa dana aspirasi ini bisa diterapkan tepat sasaran. Banyak yang khawatir dana tersebut tidak akan dibelanjakan untuk kepentingan publik di dapilnya. Dana aspirasi ini bisa saja “diselewengkan” untuk kepentingan pribadi sang anggota Dewan, terutama untuk kepentingan mempertahankan suara konstituen mereka agar pada pemilu mendatang bisa dipilih kembali.

Secara tak langsung, mereka akan memanfaatkan dana aspirasi tersebut untuk kepentingan “kampanye”. Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut muncul karena pengalaman selama ini, pengawasan dalam setiap penggunaan anggaran sangat lemah sehingga dana sangat rawan untuk diselewengkan dari fungsinya. Dengan kata lain, program dana aspirasi ini sangat berpotensi memunculkan peluang-peluang korupsi baru.

Bayangkan saja, sudah banyak para pelaku korupsi yang diseret di pengadilan toh tak juga menyurutkan orang berbuat korupsi selama ada kesempatan. Ini pertanda bahwa pengawasan belum berfungsi secara baik, sehingga akan lebih baik kita menutup peluang korupsi tersebut daripada memberikan celah bagi orang untuk menyelewengkan uang rakyat.

Karena itu, pemerintah layak untuk menolak usulan dana aspirasi demi kemaslahatan bersama. Setidaknya kita bisa menunda program ini sampai sistem pengawasan di negara ini benar-benar berfungsi baik. Jangan sampai uang rakyat dihambur-hamburkan secara tidak bertanggung jawab.

Satu hal lagi, dana aspirasi juga sangat berpotensi untuk memecah belah kesatuan bangsa. Ingat bahwa sebagian besar anggota DPR berada di Pulau Jawa. Sekitar 55% anggota Dewan mewakili rakyat di Pulau Jawa yang luasnya hanya 6% dari total wilayah Indonesia. Ini berartidanaaspirasiakanlebihbanyakberedardiPulauJawa. Padahal.

kita semua tahu wilayah luar Jawa saat ini juga lebih urgent untuk mendapat perhatian lebih terutama soal pembangunan infrastruktur. Kalau sampai, program dana aspirasi disetujui, sama saja pemerintah semakin memperjauh gap pembangunan antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.

Pemerintah dan DPR harus menyadari hal ini kalau tidak ingin bangsa ini terpecah belah. Kita mengakui bahwa usulan dana aspirasi memang tidak menyalahi aturan. Namun, DPR dan pemerintah harus juga mempertimbangkan hal yang lebih urgent, yakni keutuhan Republik ini.

Jangan sampai kebijakan dana aspirasi DPR justru menjadi kontra produktif untuk pembangunan negara ini.
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6957 seconds (0.1#10.140)