Bukan Sekadar Jongos Kapal
A
A
A
Kita sudah sering mendengar bahwa secara geografis Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau, dilintasi garis khatulistiwa, terletak diantara benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
Luas perairannya yang terdiri atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman seluas lebih kurang 2,7 juta kilometer persegi atau sekitar 70% dari luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 3,1 kilometer persegi menambah luas wilayah laut yurisdiksi nasional Indonesia menjadi 5.8 juta kilometer persegi.
Karena itu, suatu keniscayaan bahwa Indonesia adalah negara berciri maritim. Mencermati kondisi geografi Indonesia yang sedemikian rupa, bangsa Indonesia menyadari bahwa laut merupakan media pemersatu dan sebagai media penghubung antarpulau dan bahkan penghubung antarnegara-negara di dunia.
Jika kita melihat alur perpolitikan di Indonesia, salah satu yang menyedot perhatian publik baik di dalam maupun luar negeri sepanjang 2014 adalah gagasan yang diusung pemerintahan Jokowi-JK yakni menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. “Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya.
Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”
Itulah penggalan pidato Presiden Pertama RI Soekarno pada 1953. Pidato tersebut tampaknya sangat relevan untuk diwujudkan pada pemerintahan Jokowi-JK. Mengapa demikian? Hingga kini kita masih memiliki sejumlah masalah besar yang perlu segera diatasi sebelum kita mampu mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, khususnya dalam infrastruktur laut.
Restorasi maritim Indonesia tak dapat ditunda lagi. Sudah menjadi rahasia umum, salah satu pemicu pengusaha kurang antusias mengalihkan pengiriman barang melalui jalur laut karena proses masuk dan keluar barang di pelabuhan cukup rumit. Bagi pemilik barang jarak menengah, persoalan itu mungkin bisa dialihkan melalui darat. Namun, tidak berlaku bagi pelaku ekspor impor.
Selain permasalahan dwelling time (waktu tunggu bongkar muat) yang cukup lama, ini juga diperburuk melangitnya tarif sewa gudang per hari yang jumlahnya bisa mencapai 200- 500% dari tarif dasar. Selain itu, bayangkan, kejahatan illegal fishing yang dilakukan oleh ribuan kapal asing terus saja marak terjadi.
Data Badan Pemeriksa Keuangan (2013) menunjukkan, potensi pendapatan sektor perikanan laut kita jika tanpa illegal fishing mencapai Rp365 triliun per tahun. Namun, akibat illegal fishing, menurut hitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011), pendapatan tersebut hanya berkisar Rp65 triliun per tahun.
Jadi ratusan triliun rupiah devisa negara hilang setiap tahun. Sudah saatnya pemerintah mengubah mindset dari nalar daratan ke nalar maritim. Puluhan tahun lamanya nalar daratan dipakai di negara ini meninggalkan nalar maritim.
Segera perkuat infrastruktur transportasi laut dan jadikan bangsa ini menjadi bangsa pelaut kembali, tidak sekadar jongos di kapal.
Ghoffar Albab Maarif
Mahasiswa Jurusan Teknik Industri
Luas perairannya yang terdiri atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman seluas lebih kurang 2,7 juta kilometer persegi atau sekitar 70% dari luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 3,1 kilometer persegi menambah luas wilayah laut yurisdiksi nasional Indonesia menjadi 5.8 juta kilometer persegi.
Karena itu, suatu keniscayaan bahwa Indonesia adalah negara berciri maritim. Mencermati kondisi geografi Indonesia yang sedemikian rupa, bangsa Indonesia menyadari bahwa laut merupakan media pemersatu dan sebagai media penghubung antarpulau dan bahkan penghubung antarnegara-negara di dunia.
Jika kita melihat alur perpolitikan di Indonesia, salah satu yang menyedot perhatian publik baik di dalam maupun luar negeri sepanjang 2014 adalah gagasan yang diusung pemerintahan Jokowi-JK yakni menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. “Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya.
Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”
Itulah penggalan pidato Presiden Pertama RI Soekarno pada 1953. Pidato tersebut tampaknya sangat relevan untuk diwujudkan pada pemerintahan Jokowi-JK. Mengapa demikian? Hingga kini kita masih memiliki sejumlah masalah besar yang perlu segera diatasi sebelum kita mampu mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, khususnya dalam infrastruktur laut.
Restorasi maritim Indonesia tak dapat ditunda lagi. Sudah menjadi rahasia umum, salah satu pemicu pengusaha kurang antusias mengalihkan pengiriman barang melalui jalur laut karena proses masuk dan keluar barang di pelabuhan cukup rumit. Bagi pemilik barang jarak menengah, persoalan itu mungkin bisa dialihkan melalui darat. Namun, tidak berlaku bagi pelaku ekspor impor.
Selain permasalahan dwelling time (waktu tunggu bongkar muat) yang cukup lama, ini juga diperburuk melangitnya tarif sewa gudang per hari yang jumlahnya bisa mencapai 200- 500% dari tarif dasar. Selain itu, bayangkan, kejahatan illegal fishing yang dilakukan oleh ribuan kapal asing terus saja marak terjadi.
Data Badan Pemeriksa Keuangan (2013) menunjukkan, potensi pendapatan sektor perikanan laut kita jika tanpa illegal fishing mencapai Rp365 triliun per tahun. Namun, akibat illegal fishing, menurut hitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011), pendapatan tersebut hanya berkisar Rp65 triliun per tahun.
Jadi ratusan triliun rupiah devisa negara hilang setiap tahun. Sudah saatnya pemerintah mengubah mindset dari nalar daratan ke nalar maritim. Puluhan tahun lamanya nalar daratan dipakai di negara ini meninggalkan nalar maritim.
Segera perkuat infrastruktur transportasi laut dan jadikan bangsa ini menjadi bangsa pelaut kembali, tidak sekadar jongos di kapal.
Ghoffar Albab Maarif
Mahasiswa Jurusan Teknik Industri
(ftr)