Awalnya Hanya Bantu Terjemahkan Tugas Teman, Kini Jadi Miliarder
A
A
A
Keahlian menguasai banyak bahasa bisa menciptakan peluang bisnis yang menjanjikan. Hal tersebut disadari Simon Lee yang menguasai enam bahasa yakni Korea, Inggris, Prancis, Arab, Mandarin, dan Jepang.
Simon pun memanfaatkan kelebihannya itu untuk membuka aplikasi terjemahan bernama Flitto yang dia dirikan pada September 2012. Langkah Simon membuka bisnis ini bukan secara sengaja. Mulanya banyak teman di kampusnya di Seoul, Korea Selatan (Korsel) yang minta bantuannya untuk menerjemahkan pekerjaan rumah (PR) mereka.
”Temanteman berkata kepada saya, Simon, jika Anda menerjemahkan pekerjaan ini ke dalam bahasa Inggris, saya akan traktir makan malam,” ucapnya menirukan ucapan teman-teman kampusnya dulu kepada BBC. Semakin hari semakin banyak yang meminta bantuannya menerjemahkan tugas kuliah. Hingga akhirnya dia tidak memiliki cukup waktu untuk mengerjakan tugas teman-temannya tersebut.
Menyadari hal tersebut, Simon mulai mencari teman yang memiliki keahlian multibahasa untuk membantunya. Dari sinilah lahir ide untuk mendirikan perusahaan terjemahan bahasa asing. Hampir tiga tahun berdiri, Flitto memiliki lebih dari 5 juta pengguna di seluruh dunia, dan sudah menikmati pendapatan yang cukup signifikan, mencapai USD2,1 miliar (Rp27 triliun) setiap tahun.
Tidak seperti kebanyakan perusahaan penerjemah profesional, Flitto tidak langsung mempekerjakan penerjemah. Sebaliknya, Flitto mengajak siapa pun yang menguasai lebih dari satu bahasa untuk menawarkan jasa mereka melalui websitedan aplikasi telepon seluler (ponsel). Kini Flitto memiliki 1 juta penerjemah yang tersebar di 170 negara dengan menawarkan terjemahan 17 bahasa berbeda.
Mereka semua dibayar untuk setiap bagian dari pekerjaan yang mereka lakukan, sedangkan Flitto mengambil persentase lebih kecil. Kepandaian Simon dalam menguasai berbagai bahasa asing ternyata disebabkan masa kecilnya yang selalu berpindah dari satu negara ke negara lain untuk mengikuti orang tuanya. Simon Lee lahir di Kuwait sampai berusia empat tahun.
Dia dan keluarganya kemudian pindah ke Inggris. Setelah tiga tahun di Inggris, keluarganya pindah lagi ke Amerika Serikat, selanjutnya ke Jeddah, Arab Saudi. Dididik di sekolah internasional, dia dengan cepat menangkap bahasa Inggris, Prancis, dan Arab. Tentunya setelah bahasa Korea, bahasa asli orang tuanya. ”Saya bertemu orangorang berbeda dari negara yang berbeda.
Dan yang saya sadari, semua manusia sama. Hanya karena bahasa yang berbeda, kita bisa salah paham satu sama lain,” ungkap Simon. Setelah tujuh tahun tinggal di Arab Saudi, keluarga Lee kemudian pindah kembali ke Korsel, bertepatan saat dia lulus sekolah menengah atas (SMA). Dia kemudian melanjutkan pendidikan ke universitas bergengsi di Korsel. Setelah mendirikan Flitto dan bertekad untuk mengembangkan bisnisnya, Simon memutuskan untuk pindah ke London.
Alasannya, dia ingin untuk sementara menjauh dari teman-temannya. Alasan lainnya, dia meyakini London adalah kota multibudaya. ”Saya baru memulai bisnis jadi saya tidak punya uang. Ketika saya tinggal di Seoul, saya akan membandingkan diri saya dengan teman-teman, dan itu akan membuat saya sedih,” ungkapnya.
Karena itu, dia ingin pergi ke tempat yang tenang untuk fokus mengembangkan bisnis. Berkantor pusat di Seoul dan memiliki 34 karyawan tetap, Flitto mendapat 70.000 permintaan terjemahan per hari. Permintaannya pun beragam seperti menerjemahkan beberapa tulisan untuk keperluan bisnis. Dalam menjalankan usahanya, bukan berarti Simon tidak pernah gagal.
Pada 2007 dia pernah membuat perusahaan serupa seperti Flitto bernama Flyingcane. Dia mengatakan itu ide yang tepat, hanya waktunya yang salah. ”Masalahnya pada era 2007 belum ada ponsel pintar,” katanya. Kini dengan menjadi pengusaha, dia bisa menikmati kehidupannya.
Simon berpesan kepada siapa pun baik pengusaha atau karyawan untuk melakukan pekerjaan dengan hati. ”Apa yang menjadi impian Anda, percayalah pada diri sendiri. Itu saran saya. Setiap hari Anda rasakan detak jantung Anda, itu tanda Anda benar-benar menjalani hidup,” tuturnya.
Ananda Nararya
Simon pun memanfaatkan kelebihannya itu untuk membuka aplikasi terjemahan bernama Flitto yang dia dirikan pada September 2012. Langkah Simon membuka bisnis ini bukan secara sengaja. Mulanya banyak teman di kampusnya di Seoul, Korea Selatan (Korsel) yang minta bantuannya untuk menerjemahkan pekerjaan rumah (PR) mereka.
”Temanteman berkata kepada saya, Simon, jika Anda menerjemahkan pekerjaan ini ke dalam bahasa Inggris, saya akan traktir makan malam,” ucapnya menirukan ucapan teman-teman kampusnya dulu kepada BBC. Semakin hari semakin banyak yang meminta bantuannya menerjemahkan tugas kuliah. Hingga akhirnya dia tidak memiliki cukup waktu untuk mengerjakan tugas teman-temannya tersebut.
Menyadari hal tersebut, Simon mulai mencari teman yang memiliki keahlian multibahasa untuk membantunya. Dari sinilah lahir ide untuk mendirikan perusahaan terjemahan bahasa asing. Hampir tiga tahun berdiri, Flitto memiliki lebih dari 5 juta pengguna di seluruh dunia, dan sudah menikmati pendapatan yang cukup signifikan, mencapai USD2,1 miliar (Rp27 triliun) setiap tahun.
Tidak seperti kebanyakan perusahaan penerjemah profesional, Flitto tidak langsung mempekerjakan penerjemah. Sebaliknya, Flitto mengajak siapa pun yang menguasai lebih dari satu bahasa untuk menawarkan jasa mereka melalui websitedan aplikasi telepon seluler (ponsel). Kini Flitto memiliki 1 juta penerjemah yang tersebar di 170 negara dengan menawarkan terjemahan 17 bahasa berbeda.
Mereka semua dibayar untuk setiap bagian dari pekerjaan yang mereka lakukan, sedangkan Flitto mengambil persentase lebih kecil. Kepandaian Simon dalam menguasai berbagai bahasa asing ternyata disebabkan masa kecilnya yang selalu berpindah dari satu negara ke negara lain untuk mengikuti orang tuanya. Simon Lee lahir di Kuwait sampai berusia empat tahun.
Dia dan keluarganya kemudian pindah ke Inggris. Setelah tiga tahun di Inggris, keluarganya pindah lagi ke Amerika Serikat, selanjutnya ke Jeddah, Arab Saudi. Dididik di sekolah internasional, dia dengan cepat menangkap bahasa Inggris, Prancis, dan Arab. Tentunya setelah bahasa Korea, bahasa asli orang tuanya. ”Saya bertemu orangorang berbeda dari negara yang berbeda.
Dan yang saya sadari, semua manusia sama. Hanya karena bahasa yang berbeda, kita bisa salah paham satu sama lain,” ungkap Simon. Setelah tujuh tahun tinggal di Arab Saudi, keluarga Lee kemudian pindah kembali ke Korsel, bertepatan saat dia lulus sekolah menengah atas (SMA). Dia kemudian melanjutkan pendidikan ke universitas bergengsi di Korsel. Setelah mendirikan Flitto dan bertekad untuk mengembangkan bisnisnya, Simon memutuskan untuk pindah ke London.
Alasannya, dia ingin untuk sementara menjauh dari teman-temannya. Alasan lainnya, dia meyakini London adalah kota multibudaya. ”Saya baru memulai bisnis jadi saya tidak punya uang. Ketika saya tinggal di Seoul, saya akan membandingkan diri saya dengan teman-teman, dan itu akan membuat saya sedih,” ungkapnya.
Karena itu, dia ingin pergi ke tempat yang tenang untuk fokus mengembangkan bisnis. Berkantor pusat di Seoul dan memiliki 34 karyawan tetap, Flitto mendapat 70.000 permintaan terjemahan per hari. Permintaannya pun beragam seperti menerjemahkan beberapa tulisan untuk keperluan bisnis. Dalam menjalankan usahanya, bukan berarti Simon tidak pernah gagal.
Pada 2007 dia pernah membuat perusahaan serupa seperti Flitto bernama Flyingcane. Dia mengatakan itu ide yang tepat, hanya waktunya yang salah. ”Masalahnya pada era 2007 belum ada ponsel pintar,” katanya. Kini dengan menjadi pengusaha, dia bisa menikmati kehidupannya.
Simon berpesan kepada siapa pun baik pengusaha atau karyawan untuk melakukan pekerjaan dengan hati. ”Apa yang menjadi impian Anda, percayalah pada diri sendiri. Itu saran saya. Setiap hari Anda rasakan detak jantung Anda, itu tanda Anda benar-benar menjalani hidup,” tuturnya.
Ananda Nararya
(bbg)