Ternyata Ada Salah Tafsir Soal Proses Penahanan Sesuai KUHAP
A
A
A
JAKARTA - Proses penahanan yang diatur dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah ditafsirkan secara salah oleh para penegak hukum di Indonesia. Tafsir yang benar seharusnya penahanan seizin hakim.
Pakar Hukum Pidana Juris Andi Hamzah menjelaskan, proses penahanan sudah diatur dalam pasal 9 Internasional Convenant On Civil and Political Rights dan sudah diratifikasi di Indonesia. Secara universal, yang berhak menahan seseorang adalah hakim.
"Karena sifat penahanan merupakan pelanggaran hak asasi manusia berupa kebebasan bergerak, maka hakimlah yang menentukan apakah seseorang sah dan perlu untuk ditahan," ujar Andi saat diskusi bertema 'Penangguhan Penahanan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia' di kantor DPP PPP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (19/6/2015).
Andi menyampaikan, di sejumlah negara seperti Amerika, Jepang, Belanda, Prancis sampai Malaysia sudah mengatur secara jelas berapa lama sesorang harus dikenakan penahanan. Menurutnya, dalam sejumlah negara tersebut, unsur penangguhan penahanan lebih diutamakan ketimbang penahanan.
"Jadi ketentuan tentang penahanan dalam KUHAP Indonesia jauh menyimpang dari ketentuan universal," ucapnya.
Apa alasannya? Andi menyebutkan, dasar melakukan penahanan terhadap seseorang, jika unsur dalam pasal 21 ayat (4) yakni delik yang disangkakan sah dan dianggap kuat buat ditahan menurut KUHAP.
Namun hal itu pun belum dianggap cukup jika mengacu pada pasal 21 ayat 1. Dalam pasal tersebut, penegak hukum harus mengacu pada KUHP, dimana seseorang sah ditahan jika diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.
Kemudian, ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana. "Dalam kasus Pak SDA (Suryadharma Ali) apanya yang mau lari, apa yang mau dihilangkan? Kalau mau menghilangkan barang bukti, dia bukan menteri lagi," tandasnya.
PILIHAN:
UU KUHAP Baru, Terobosan Hukum Luar Biasa
Mengapa Sarpin (Tidak) Melanggar KUHAP?
Perubahan RUU KUHAP Hanya Ciptakan Polemik Baru
Pakar Hukum Pidana Juris Andi Hamzah menjelaskan, proses penahanan sudah diatur dalam pasal 9 Internasional Convenant On Civil and Political Rights dan sudah diratifikasi di Indonesia. Secara universal, yang berhak menahan seseorang adalah hakim.
"Karena sifat penahanan merupakan pelanggaran hak asasi manusia berupa kebebasan bergerak, maka hakimlah yang menentukan apakah seseorang sah dan perlu untuk ditahan," ujar Andi saat diskusi bertema 'Penangguhan Penahanan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia' di kantor DPP PPP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (19/6/2015).
Andi menyampaikan, di sejumlah negara seperti Amerika, Jepang, Belanda, Prancis sampai Malaysia sudah mengatur secara jelas berapa lama sesorang harus dikenakan penahanan. Menurutnya, dalam sejumlah negara tersebut, unsur penangguhan penahanan lebih diutamakan ketimbang penahanan.
"Jadi ketentuan tentang penahanan dalam KUHAP Indonesia jauh menyimpang dari ketentuan universal," ucapnya.
Apa alasannya? Andi menyebutkan, dasar melakukan penahanan terhadap seseorang, jika unsur dalam pasal 21 ayat (4) yakni delik yang disangkakan sah dan dianggap kuat buat ditahan menurut KUHAP.
Namun hal itu pun belum dianggap cukup jika mengacu pada pasal 21 ayat 1. Dalam pasal tersebut, penegak hukum harus mengacu pada KUHP, dimana seseorang sah ditahan jika diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.
Kemudian, ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana. "Dalam kasus Pak SDA (Suryadharma Ali) apanya yang mau lari, apa yang mau dihilangkan? Kalau mau menghilangkan barang bukti, dia bukan menteri lagi," tandasnya.
PILIHAN:
UU KUHAP Baru, Terobosan Hukum Luar Biasa
Mengapa Sarpin (Tidak) Melanggar KUHAP?
Perubahan RUU KUHAP Hanya Ciptakan Polemik Baru
(hyk)