MK Tolak Pernikahan Beda Agama
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak pernikahan berbeda agama. Melalui putusannya, MK menegaskan pernikahan hanya bisa dilakukan secara sah apabila menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Hal itu sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang - Undang (UU) 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. ”Permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menolak seluruh permohonan yang diajukan para pemohon,” tandas Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan di ruang sidang MK, Jakarta, kemarin.
Perkara dengan Nomor 68/ PUU-XII/2014 itu diajukan Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, dan Varita Megawati Simarmata. Dalam permohonan diketahui, mereka menyatakan dalam konteks perkawinan, negara harusnya hanya menjalankan fungi sebagai fasilitator, bukan menghakimi. Bentuk penghakiman ini terlihat saat kedua pasang yang ingin menikah langsung ditolak karena dalam kartu tanda penduduk (KTP) tertera kepercayaan yang berbeda.
Mereka memandang Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan seharusnya memberikan ruang bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan sepanjang dimaknai hukum agama yang diserahkan pada masing-masing calon. Atas dasar itu, MK mementahkan alasan Damian dkk karena dinilai sangat tidak beralasan menurut hukum.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, perkawinan harus dilihat dari berbagai aspek baik itu spiritual dan sosial. Bukan semata-mata aspek formalitas guna membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Bagaimanapun, sebagai negara yang tunduk pada Pancasila dan UUD 1945, setiap kehidupan berbangsa dan bernegara harus dilandasi atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan begitu, ketentuan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama tidaklah melanggar konstitusi. ”Agama menjadi landasan bagi komunitas individu dan wadah dalam hubungan Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum dalam ikatan perkawinan yang sah,” ungkap hakim konstitusi Anwar Usman.
Ketika dimintai tanggapan seusai persidangan, Damian menegaskan, pihaknya menghormati putusan yang telah dikeluarkan MK. Penolakan ini bukan berarti akan menghentikan langkahnya mengupayakan diakuinya perkawinan beda agama. Namun, Damian belum mengetahui upaya hukum apalagi yang akan diajukan. ”Saat ini kami akan mempelajari putusan tersebut dan pertimbangan-pertimbangannya. Baru nanti kami akan menentukan apa yang akan dilakukan selanjutnya,” ungkap Damian.
Bukan hanya itu, pihaknya pun menyatakan harus ada pengkajian ulang atas UU Perkawinan. Ketentuan yang diatur saat ini banyak menimbulkan masalah sosial yang tidak bisa diselesaikan dengan pengaturan yang terkandung dalam UU Perkawinan.
Wanita 16 Tahun Bisa Menikah
Selain menolak permintaan pernikahan berbeda agama, MK pun menyatakan bahwa perempuan berusia 16 tahun sudah dapat melangsungkan perkawinan sesuai Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Putusan ini menjawab permintaan Koalisi 18+ yang menginginkan perempuan hanya bisa menikah ketika sudah mencapai 18 tahun. Dalam pertimbangannya MK mengatakan, batas usia bagi perempuan disesuaikan dengan berbagai aspek seperti kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi.
Bagi MK, tidak ada jaminan menaikkan batas usia akan mengurangi angka perceraian, kesehatan, dan masalah sosial lainnya. Namun, bisa saja batas usia wanita layak nikah dinaikkan jika memang pembuat kebijakan baik itu DPR maupun pemerintah memandang perlu ada perubahan dan dibutuhkan. Dengan begitu, ini kewenangan open legal policy .
Lagipula, pengujian batas usia perkawinan pada perempuan ini lebih pada kasus konkret. Meski demikian, putusan MK tidak diambil secara bulat. Hakim konstitusi Maria Farida menyatakan dissenting opinion (berbeda pendapat) dalam perkara tersebut. Maria menilai, perkawinan harus dilakukan dalam keadaan psikologis dan fisik yang matang.
Perkawinan anak (usia 16 tahun) tidak lepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. ”Saya berpendapat agar permohonan pemohon adalah konstitusional, seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan tersebut,” ungkap Maria.
Nurul adriyana
Hal itu sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang - Undang (UU) 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. ”Permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menolak seluruh permohonan yang diajukan para pemohon,” tandas Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan di ruang sidang MK, Jakarta, kemarin.
Perkara dengan Nomor 68/ PUU-XII/2014 itu diajukan Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, dan Varita Megawati Simarmata. Dalam permohonan diketahui, mereka menyatakan dalam konteks perkawinan, negara harusnya hanya menjalankan fungi sebagai fasilitator, bukan menghakimi. Bentuk penghakiman ini terlihat saat kedua pasang yang ingin menikah langsung ditolak karena dalam kartu tanda penduduk (KTP) tertera kepercayaan yang berbeda.
Mereka memandang Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan seharusnya memberikan ruang bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan sepanjang dimaknai hukum agama yang diserahkan pada masing-masing calon. Atas dasar itu, MK mementahkan alasan Damian dkk karena dinilai sangat tidak beralasan menurut hukum.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, perkawinan harus dilihat dari berbagai aspek baik itu spiritual dan sosial. Bukan semata-mata aspek formalitas guna membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Bagaimanapun, sebagai negara yang tunduk pada Pancasila dan UUD 1945, setiap kehidupan berbangsa dan bernegara harus dilandasi atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan begitu, ketentuan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama tidaklah melanggar konstitusi. ”Agama menjadi landasan bagi komunitas individu dan wadah dalam hubungan Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum dalam ikatan perkawinan yang sah,” ungkap hakim konstitusi Anwar Usman.
Ketika dimintai tanggapan seusai persidangan, Damian menegaskan, pihaknya menghormati putusan yang telah dikeluarkan MK. Penolakan ini bukan berarti akan menghentikan langkahnya mengupayakan diakuinya perkawinan beda agama. Namun, Damian belum mengetahui upaya hukum apalagi yang akan diajukan. ”Saat ini kami akan mempelajari putusan tersebut dan pertimbangan-pertimbangannya. Baru nanti kami akan menentukan apa yang akan dilakukan selanjutnya,” ungkap Damian.
Bukan hanya itu, pihaknya pun menyatakan harus ada pengkajian ulang atas UU Perkawinan. Ketentuan yang diatur saat ini banyak menimbulkan masalah sosial yang tidak bisa diselesaikan dengan pengaturan yang terkandung dalam UU Perkawinan.
Wanita 16 Tahun Bisa Menikah
Selain menolak permintaan pernikahan berbeda agama, MK pun menyatakan bahwa perempuan berusia 16 tahun sudah dapat melangsungkan perkawinan sesuai Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Putusan ini menjawab permintaan Koalisi 18+ yang menginginkan perempuan hanya bisa menikah ketika sudah mencapai 18 tahun. Dalam pertimbangannya MK mengatakan, batas usia bagi perempuan disesuaikan dengan berbagai aspek seperti kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi.
Bagi MK, tidak ada jaminan menaikkan batas usia akan mengurangi angka perceraian, kesehatan, dan masalah sosial lainnya. Namun, bisa saja batas usia wanita layak nikah dinaikkan jika memang pembuat kebijakan baik itu DPR maupun pemerintah memandang perlu ada perubahan dan dibutuhkan. Dengan begitu, ini kewenangan open legal policy .
Lagipula, pengujian batas usia perkawinan pada perempuan ini lebih pada kasus konkret. Meski demikian, putusan MK tidak diambil secara bulat. Hakim konstitusi Maria Farida menyatakan dissenting opinion (berbeda pendapat) dalam perkara tersebut. Maria menilai, perkawinan harus dilakukan dalam keadaan psikologis dan fisik yang matang.
Perkawinan anak (usia 16 tahun) tidak lepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. ”Saya berpendapat agar permohonan pemohon adalah konstitusional, seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan tersebut,” ungkap Maria.
Nurul adriyana
(ars)