Mempersoalkan Suap Australia

Jum'at, 19 Juni 2015 - 10:03 WIB
Mempersoalkan Suap Australia
Mempersoalkan Suap Australia
A A A
Hubungan Indonesia-Australia kembali memanas. Hal ini terkait laporan suap yang dilakukan Angkatan Laut serta Bea dan Cukai Australia terhadap kapten kapal bernama Yohanes Humiang dan enam ABK masing-masing sebesar USD5.000.

Kapal berpenumpang 65 pencari suaka asal Bangladesh, Sri Lanka, dan Myanmar yang berencana berlayar menuju Selandia Baru pun akhirnya kembali ke wilayah Indonesia. Suap ternyata bukan sekali ini. Negeri Kanguru tersebut diyakini sudah melakukan itu selama empat tahun terakhir. Dengan demikian, suap yang terjadi pada era pemerintahan Partai Buruh dan terus berlangsung hingga kepemimpinan Partai Liberal saat ini sudah menjadi bagian dari praktik dan taktik Australia dalam mengatasi persoalan pengungsi ilegal.

Munculnya laporan suap tersebut jelas menjadi tamparan keras bagi Pemerintah Australia. Pro-kontra pun mengalir deras di internal Negeri Down Under tersebut. Namun, sejauh ini elite pemerintahan seperti PM Australia Tonny Abbot dan Menlu Julie Bishop memilih diam atau menangkis jawaban dengan pernyataan-pernyataan yang tidak terkait dengan pokok persoalan. Begitu pun dalam merespons sikap Indonesia melalui Menlu Retno LP Marsudi yang meminta jawaban Australia, mereka memilih bergeming.

Malahan, Bishop melemparkan kesalahan ke Indonesia dengan mengatakan Indonesia tidak kompeten menjaga wilayahnya sehingga pengungsi bisa masuk ke wilayahnya. Lempar batu sembunyi tangan, kira-kira taktik inilah yang kini mereka mainkan dalam menghadapi berbagai tekanan pada masalah tersebut. Tapi, ibarat pepatah ”Tak ada busuk yang tak berbau”, Australia tidak lagi bisa menutupi perilaku tidak beretika yang dilakukannya.

Temuan dari investigasi yang dilakukan PBB mempertegas bukti penyuapan tersebut. Sebelumnya Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) membeberkan barang bukti dugaan suap berupa puluhan lembar uang dolar AS––mulai USD3.500 hingga USD5.400––yang disita dari kapten Yohanis Humiang dan ABK kapal. Selanjutnya, ibarat ”Siapa makan cabai dialah yang terasa pedas”, Australia semestinya malu dan mempertanggungjawabkan tindakan tersebut kepada dunia internasional. Apalagi, negeri tersebut sudah terikat Konvensi Internasional 1951.

Dalam konvensi itu ada prinsip umum yang berlaku bagi anggota maupun bukan anggota yakni prinsip non-refoulment: bahwa setiap negara pihak dilarang mengembalikan seorang pengungsi dalam alasan apa pun ke negara asalnya yang mana hidup atau kebebasannya terancam di negara tersebut. Indonesia juga berhak mempertanyakan karena menjadi korban dari tindakan Australia. Pemerintah bahkan wajib mempertanyakan dalam konteks goodwillnegeri tersebut membangun hubungan baik dengan Indonesia.

Tindakan penyuapan, sikap menyalahkan, dan kemudian membebankan semua persoalan-persoalan pengungsi ke Indonesia bisa menjadi cermin sikap Australia yang tidak mempercayai dan menghormati Indonesia. Padahal, sebelumnya Indonesia melemparkan syarat tersebut sebagai fondasi normalisasi hubungan diplomatik kedua negara setelah mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional AS (NSA), Edward Snowden, pada 2013 membocorkan skandal penyadapan intelijen Australia atas komunikasi telepon petinggi Indonesia, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dengan posisi demikian, pemerintah tidak perlu ragu menempati posisi terdepan untuk mempersoalkan Australia di forum internasional. Sikap permisif terhadap tindakan keras kepada pengungsi dan efeknya terhadap Indonesia justru membuat negeri tersebut semakin tidak tahu diri. Dalam hubungan bilateral, pemerintah tidak perlu takut mengambil sikap keras karena sejatinya Australia lebih membutuhkan Indonesia.
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0805 seconds (0.1#10.140)