Pegiat HAM Tolak Tim Rekonsiliasi
A
A
A
JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama tokoh pegiat demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) seperti Marzuki Darusman, Franz Magnis Suseno, dan HS Dillon menolak pembentukan Tim Gabungan Rekonsiliasi Pelanggaran HAM Berat yang dibentuk di bawah koordinasi menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Direktur KontraS Harits Azhar mengatakan, lembaga pemerintah yang tergabung dalam tim gabungan itu tidak memiliki kapasitas untuk menetapkan jalur rekonsiliasi terhadap kasus pelanggaran HAM berat. ”Komnas HAM tidak dalam kapasitas mewakili korban. Jaksa agung dan menko polhukam juga tidak bisa memutuskan sepihak,” kata Harits Azhar di Jakarta kemarin. KontraS menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM dilakukan melalui jalur yudisial.
Rekonsiliasi dinilai tidak akan memberikan keadilan dan kepuasan bagi korban. Keadilan dapat tercapai jika dilakukan pengungkapan kebenaran dan fakta serta membawa pelaku ke pengadilan. ”Masih bisa dilakukan melaluiyudisial. Masalahnya, negara mau tidak,” kata Harits. Penolakan KontraS terhadap upaya rekonsiliasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM cukup beralasan.
Pasalnya, menurut Harits, penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu sudah dilakukan Komnas HAM, tetapi tidak pernah ditindaklanjuti dengan penyidikan oleh jaksa agung. Dengan begitu, alasan kesulitan melakukan penelusuran saksi dan alat bukti yang dijadikan salah satu dasar rekonsiliasi itu tidak bisa diterima. ”Sulit bagaimana? belum dikerjakan penyidikan sudah bilang sulit,” kata Harits.
Harits juga menyesalkan sikap Komnas HAM yang memberikan pembenaran karena turut tergabung dalam tim itu. Komnas HAM lah yang melakukan proses penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu dan mendorong agar kasus itu diproses secara hukum untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarga. Karena itu, langkah Komnas HAM semestinya tetap menempuh jalur yudisial dengan menggunakan tujuh berkas utama laporan penyelidikan Komnas HAM terhadap kasus itu.
”Ini kan janggal. Dulu mereka getol berjuang, kini memilih rekonsiliasi. Kita akan pertanyakan nanti ke Komnas HAM,” katanya. Mantan jaksa agung periode 1999-2001 Marzuki Darusman menilai upaya pengungkapan kebenaran terhadap kasus pelanggaran HAM berat harus melibatkan dukungan publik seluasnya. Pemerintah tidak boleh membuat isu keadilan dan kebenaran pada penanganan kejahatan masa lalu sebagai isu eksklusif, sehingga langkah rekonsiliasi yang dipilih pemerintah telah kehilangan momentumnya.
”Rekonsiliasi tidak berpihak kepada korban, tapi berpihak kepada para pelaku yang terus menikmati ruang impunitas,” katanya. Pegiat HAM dan rohaniwan Franz Magnis Suseno memandang, rekonsiliasi mustahil tercapai sebelum ada upaya memulihkan martabat para korban pelanggaran HAM masa lalu. Franz menyebut ada sesat pikir pemerintah yang secara vulgar menawarkan rekonsiliasi kepada para korban.
Khoirul muzakki
Direktur KontraS Harits Azhar mengatakan, lembaga pemerintah yang tergabung dalam tim gabungan itu tidak memiliki kapasitas untuk menetapkan jalur rekonsiliasi terhadap kasus pelanggaran HAM berat. ”Komnas HAM tidak dalam kapasitas mewakili korban. Jaksa agung dan menko polhukam juga tidak bisa memutuskan sepihak,” kata Harits Azhar di Jakarta kemarin. KontraS menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM dilakukan melalui jalur yudisial.
Rekonsiliasi dinilai tidak akan memberikan keadilan dan kepuasan bagi korban. Keadilan dapat tercapai jika dilakukan pengungkapan kebenaran dan fakta serta membawa pelaku ke pengadilan. ”Masih bisa dilakukan melaluiyudisial. Masalahnya, negara mau tidak,” kata Harits. Penolakan KontraS terhadap upaya rekonsiliasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM cukup beralasan.
Pasalnya, menurut Harits, penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu sudah dilakukan Komnas HAM, tetapi tidak pernah ditindaklanjuti dengan penyidikan oleh jaksa agung. Dengan begitu, alasan kesulitan melakukan penelusuran saksi dan alat bukti yang dijadikan salah satu dasar rekonsiliasi itu tidak bisa diterima. ”Sulit bagaimana? belum dikerjakan penyidikan sudah bilang sulit,” kata Harits.
Harits juga menyesalkan sikap Komnas HAM yang memberikan pembenaran karena turut tergabung dalam tim itu. Komnas HAM lah yang melakukan proses penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu dan mendorong agar kasus itu diproses secara hukum untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarga. Karena itu, langkah Komnas HAM semestinya tetap menempuh jalur yudisial dengan menggunakan tujuh berkas utama laporan penyelidikan Komnas HAM terhadap kasus itu.
”Ini kan janggal. Dulu mereka getol berjuang, kini memilih rekonsiliasi. Kita akan pertanyakan nanti ke Komnas HAM,” katanya. Mantan jaksa agung periode 1999-2001 Marzuki Darusman menilai upaya pengungkapan kebenaran terhadap kasus pelanggaran HAM berat harus melibatkan dukungan publik seluasnya. Pemerintah tidak boleh membuat isu keadilan dan kebenaran pada penanganan kejahatan masa lalu sebagai isu eksklusif, sehingga langkah rekonsiliasi yang dipilih pemerintah telah kehilangan momentumnya.
”Rekonsiliasi tidak berpihak kepada korban, tapi berpihak kepada para pelaku yang terus menikmati ruang impunitas,” katanya. Pegiat HAM dan rohaniwan Franz Magnis Suseno memandang, rekonsiliasi mustahil tercapai sebelum ada upaya memulihkan martabat para korban pelanggaran HAM masa lalu. Franz menyebut ada sesat pikir pemerintah yang secara vulgar menawarkan rekonsiliasi kepada para korban.
Khoirul muzakki
(ars)