Perilaku Simpanse Perkuat Teori Evolusi

Minggu, 14 Juni 2015 - 09:28 WIB
Perilaku Simpanse Perkuat Teori Evolusi
Perilaku Simpanse Perkuat Teori Evolusi
A A A
Simpanse liar yang menikmati tuak dari pohon kelapa menambah secercah petunjuk tentang teori evolusi. Para peneliti mengungkapkan hal itu pekan ini.

Sejumlah simpanse di negara Afrika bagian barat, Guinea, menemukan pohon-pohon kelapa yang disadap niranya oleh warga lokal untuk kemudian difermentasi menjadi minuman tuak yang beralkohol.

Simpanse-simpanse itu melumatkan daun di mulut mereka, membuatnya menjadi seperti sepon yang kemudian dicelupkan dalam wadah penampung nira yang dipasang warga dekat mahkota bunga kelapa. Tes menunjukkan, kandungan alkohol nira itu bervariasi antara 3,1% hingga 6,9%, sama seperti bir yang kuat.

”Mereka (simpanse-simpanse) mengonsumsi etanol (alkohol) dalam jumlah signifikan dan menunjukkan tanda- tanda perilaku mabuk,” tulis para peneliti yang mengamati perilaku kerakera tersebut, dikutip kantor berita AFP. ”Para peneliti jarang mengumpulkan data perilaku kera secara detail sebelum dan sesudah mengonsumsi etanol, tapi beberapa simpanse langsung beristirahat setelah meminum nira yang difermentasi.” Simpanse-simpanse itu bagian dari koloni yang diteliti di Bossou di Guinea bagian selatan.

Pada 2008, salah satu kera itu menjadi berita utama saat dia dapat menggunakan tongkat untuk ”memancing” semut. Ini merupakan penemuan penting dalam penggunaan alat oleh primata tersebut. Temuan tentang hewan-hewan yang mengonsumsi alkohol memang bukan sesuatu yang luar biasa. Beberapa hewan itu antara lain rusa Swedia yang mabuk setelah makan apel yang difermentasi, dan kera di pulau St Kitts, Karibia, yang meminum koktail dari para wisatawan.

Kejadian ini dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=p mnzIhbX2bg. Meski demikian, simpanse-simpanse Bossou yang telah diamati selama 17 tahun merupakan yang pertama yang menyediakan data penting tentang berapa banyak dan kapan alkohol dapat tersedia di alam liar.

”Kadang kala hanya seekorsimpanseyangmemanjat keataspohon kelapa,” papar temuan para peneliti. Tapi pada beberapa kesempatan, akan ada ”sesi minum” di mana beberapa simpanse akan berkumpul di pucuk pohon kelapa. ”Minum sendiri atau pun bersama, dengan para peminum menggunakan daun yang sudah dilumat menjadi semacam sepon yang dimasukkan di wadah nira, atau satu kera yang memonopoli wadah nira, kemudian kera yang lain menunggu gilirannya,” ungkap laporan para peneliti.

Kera-kera itu membuat sepon dari daun yang ditinggalkan warga di atas wadah nira untuk mencegah debu dan serangga mengotori air nira. Temuan ini menegaskan kembali teori ”kera mabuk” yakni kera dan manusia memiliki kemampuan genetik yang sama untuk mengurai alkohol yang diturunkan dari leluhur yang sama.

Dengan metabolisme alkohol, menurut teori ini, para leluhur kita dapat makan buah yang tefermentasi secara alami yang ditemukan di atas tanah, menambah sumber kalori dan vitamin yang penting. Studi terbaru ini dipimpin oleh Kimberley Hockings dari Oxford Brookes University di Inggris bagian selatan. Hasil studi ini juga telah diterbitkan di jurnal Royal Society Open Science. Selain itu, penelitian berbeda menemukan bahwa simpanse dan manusia memiliki kemampuan otak dasar yang diperlukan untuk memasak.

Menurut studi tersebut, temuan ini mungkin semakin menambah penjelasan tentang asal usul manusia. ”Sejumlah eksperimen di tempat penampungan simpanse menunjukkan bahwa leluhur yang sama menurunkan kemampuan kognitif ini sehingga ada kemiripan antara manusia dan kera,” papar studi tersebut. Jika benar, temuan ini menjelaskan bagaimana kita dapat memasak, aktivitas yang sudah sangat biasa sehingga kita kehilangan pandangan tentang pentingnya hal itu.

Menggunakan panas untuk mengurai serat dan tepung, membuat daging dan umbi lebih mudah dicerna, memperluas jenis makanan yang dikonsumsi para leluhur manusia purba kita. Jenis makanan yang diolah dengan panas itu menyediakan kalori yang banyak untuk menyediakan nutrisi pada otak dan mempercepat proses evolusi. Tapi, kapan dan bagaimana manusia memperoleh skill ini?

Para peneliti dari Harvard dan Yale yakin bahwa jawabannya ada pada Pan Troglodytes, simpanse yang menjadi kerabat terdekat sejak leluhur yang sama terpecah menjadi kera dan garis keturunan manusia purba sekitar 13 juta tahun lalu. ”Banyak kemampuan untuk memasak diduga menjadi kemampuan unik manusia. Itulah mengapa kita ingin mempelajari ini pada simpanse,” ungkap Alexandra Rosati, psikologis dari Yale University.

Rosati dan Felix Warneken dari Harvard University melaporkan eksperimen pada 20 simpanse yang lahir di alam liar di Tchimpounga Sanctuary di Republik Kongo. Hasil penelitian mereka terbit di jurnal Proceedings B of the Royal Society, akademi sains de-facto di Inggris. Pada tes pertama para peneliti menempatkan potongan kentang manis di nampan panas, tanpa mentega atau minyakdanmenawarkannya pada para simpanse bersama potongan kentang mentah.

Para simpanse itu dengan segera lebih menyukai kentang yang telah dimasak. Tentu saja simpanse-simpanse itu tidak dapat memasak. Para peneliti menyatakan, binatang itu tidak dapat membuat api, diet mereka berbeda dengan manusia dan mereka tidak berbagi makanan mereka seperti manusia yang menyediakan makanan untuk teman, keluarga, dan lainnya.

Yang bisa dilakukan simpanse ialah, mereka memiliki alat kognitif dasar yang sama untuk memasak. Teori yang sama ialah hominin atau grup primata, termasuk manusia purba mempelajari cara membuat api untuk pertahanan diri dan menghangatkan tubuh, kemudian menggunakannya untuk memasak.

Faktanya, memasak mungkin menjadi motivasi untuk menguasai cara membuat api, bukan konsekuensi dari itu. ”Bukti dari studi kognitif kami menunjukkan, meski sebelum bisa mengontrol api, manusia purba awal memahami manfaatnya dan dapat mengetahui hasil dari menempatkan makanan di api,” papar Rosati. ? syarifudin
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4543 seconds (0.1#10.140)