Pemimpin Wajib Tepati Janji Kampanye

Jum'at, 12 Juni 2015 - 09:30 WIB
Pemimpin Wajib Tepati Janji Kampanye
Pemimpin Wajib Tepati Janji Kampanye
A A A
TEGAL - Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang hukum berdosa bagi pemimpin yang tidak menepati janjinya saat kampanye. ”MUI meminta para calon pemimpin dari legislatif, yudikatif, maupun eksekutif tidak mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangannya,” kata Ketua Tim Perumus Komisi A Muh Zaitun Rasmin di Tegal, Jawa Tengah, kemarin.

Zaitun mengatakan, seorang pemimpin juga akan mendapatkan kewajiban menunaikan janjinya apabila saat kampanye dia berjanji melaksanakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan syariah dan mengandung unsur kemaslahatan. Sebaliknya, mengingkari janji tersebut hukumnya haram. Calon pemimpin, lanjut dia, dilarang berjanji menetapkan kebijakan yang menyalahi ketentuan agama.

Apabila dia menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan syariah, calon pemimpin tersebut haram dipilih dan apabila terpilih maka janji tersebut untuk tidak ditunaikan. Terhadap pemimpin yang ingkar janji, MUI mengimbau umat untuk tidak memilihnya kembali jika yang bersangkutan kembali mencalonkan diri pada pemilihan umum periode selanjutnya.

Fatwa yang telah disetujui oleh mayoritas ulama MUI itu juga menyoroti masalah suap di saat kampanye. Diputuskan, calon pemimpin yang menjanjikan sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya maka hukumnya haram karena termasuk dalam kategori ”risywah” atau suap. Selain itu, forum ijtima’ ulama pada Komisi Fatwa MUI juga mengeluarkan fatwa tentang pemimpin yang tidak boleh ditaati.

Menurut forum ijtima’ ulama Komisi Fatwa MUI, pemimpin tidak boleh ditaati apabila melegalkan sesuatu yang dilarang agama dan atau melarang sesuatu yang diperintahkan agama. ”Pada dasarnya, jabatan merupakan amanat yang pasti dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah,” kata Muh Zaitun Rasmin.

Dia menuturkan bahwa MUI akan terus memberikan nasihat kepada pemimpin yang mengingkari janji dan sumpahnya. Poin tentang pemimpin yang tidak boleh ditaati dalam fatwa yang disepakati pada ulama dari MUI dan berbagai organisasi massa Islam itu diharapkan dapat menjadi panduan masyarakat yang mengalami keraguan dalam menjalankan agama.

Wakil Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin mengatakan fatwa tersebut merupakan beberapa poin dari pembahasan fatwa tentang hukum kedudukan pemimpin yang tidak menepati janjinya. Secara umum, Ma’ruf menjelaskan, ijtima’ ulama Komisi Fatwa MUI tingkat nasional di Tegal membahas tiga bagian besar fatwa, yaitu soal kebangsaan, fikih kontemporer, dan perundang-undangan.

Fatwa- fatwa para ulama tersebut akan disampaikan kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan lewat pertemuanpertemuan dengan MUI. ”Fatwa ini akan kita edukasikan dan publikasikan kepada khalayak umum,” katanya. Dia menambahkan MUI juga memiliki struktur organisasi sampai tingkat kecamatan yang bisa menyosialisasikan fatwafatwa ulama tersebut.

Selain itu, fatwa akan disampaikan lewat situs resmi MUI di internet dan televisi MUI, ormas, media massa, dan pengajian-pengajian. MUI juga akan menyampaikan fatwa-fatwa ulama ke partai-partai politik. ”Pendukung partai mana pun itu mayoritas adalah muslim. Kami sampaikan aspirasi mayoritas Islam ini,” katanya. Ijtima’ ulama yang berlangsung di Pondok Pesantren Attauhidiyah, Cikura, pada 7-10 Juni antara lain membahas masalah hukum bagi pemimpin terpilih yang tidak menunaikan janjinya ketika kampanye.

Pada pertemuan bertema ”Ulama Menjawab Problematika Umat dan Kebangsaan” itu, para ulama juga membahas hukum bagi orang yang mudah mengafirkan muslim lain dan hukum penguasaan tanah secara berlebihan oleh pihak tertentu. Dalam hal fikih kontemporer, para ulama membahas hukum menunaikan ibadah haji secara berulang, penggusuran masjid, hukuman mati, status dana pensiun, imunisasi, dan hak pengasuhan anak bagi pasangan bercerai karena beda agama.

Berkenaan dengan perundang- undangan, mereka membahas masalah ekonomi syariah, pengelolaan badan penyelenggara jaminan sosial sesuai ketentuan syariah, dan hukum terapan peradilan agama. Merekajugaberdiskusimengenai revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, peraturan daerah tentang rumah potong hewan halal, rancangan undang-undang tentang minuman beralkohol, juga soal kebijakan wisata syariah.

Alfian faizal/ant
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1957 seconds (0.1#10.140)