Pancasila yang Memudar
A
A
A
DIANA SOLEHA
Mahasiswi Jurusan Ilmu Politik,
Fakultas Ilmu Sosial danIlmu Politik,
Universitas Indonesia
Dikumandangkannya Pancasila setiap Senin saat upacara bendera bukanlah suatu hal yang baru bagi rakyat yang menempuh pendidikan dasarnya di sekolah negeri di Indonesia.
Seharusnya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah mengakar dalam diri tiap individu yang tumbuh mendengarnya. Namun, apakah situasi kehidupan modern di negara ini menyuarakan realita yang demikian? Kenyataannya tidak. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai permasalahan yang semakin marak muncul, khususnya diskriminasi agama dan ras.
Indonesia sejak awal bukanlah sebuah negara sekuler dan konstitusinya mengakui kebebasan warga negaranya untuk memeluk kepercayaannya masing-masing. Akan tetapi, beberapa kejadian belakangan ini menunjukkan seberapa hilangnya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Contohnya adalah dengan permasalahan diskriminasi agama, yaitu sulitnya mendapatkan izin untuk membangun gereja yang merupakan bukan hal asing lagi di telinga masyarakat.
Juga dengan kejadian yang baru terjadi belum lama ini, ketika perayaan Waisak umat Buddha di Candi Bahal ditolak ribuan warga dan mahasiswa di Portibi, Sumatera Utara. Begitu pula dengan permasalahan rasial seperti yang dilakukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menjelang akhir Mei lalu.
KAMMI turun ke jalan dan mengangkat isu terkait penuntutan perlindungan pribumi dari nonpribumi dengan menggunakan istilah “asingaseng” untuk merujuk pada golongan nonpribumi yang dimaksud. Istilah “aseng” di sini tentunya bermakna derogatif yang ditujukan pada warga keturunan Tionghoa. Beberapa kejadian ini tentunya sangat tidak mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Sekolah negeri di Indonesia, yang sejak dulu mengumandangkan lima sila Pancasila selama 12 tahun masa pendidikan, terbukti gagal menanamkan nilai-nilai dari kelima sila itu sendiri. Belum lagi pendidikan kewarganegaraan yang diberikan pada pelajar ternyata hanya berhasil pada tahap formal belaka.
Nilainilai yang terkandung dalam Pancasila sebenarnya sudah dirumuskan dengan cukup sederhana untuk dipahami karena pada dasarnya, Pancasila merupakan nilai universal yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Diskriminasi agama dan rasial di Indonesia yang masih terjadi hingga detik ini menunjukkan betapa semakin pudarnya Pancasila itu sendiri dari diri rakyat, di mana nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan keadilan itu sudah jarang hadir dalam kehidupan bermasyarakat.
Mahasiswi Jurusan Ilmu Politik,
Fakultas Ilmu Sosial danIlmu Politik,
Universitas Indonesia
Dikumandangkannya Pancasila setiap Senin saat upacara bendera bukanlah suatu hal yang baru bagi rakyat yang menempuh pendidikan dasarnya di sekolah negeri di Indonesia.
Seharusnya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah mengakar dalam diri tiap individu yang tumbuh mendengarnya. Namun, apakah situasi kehidupan modern di negara ini menyuarakan realita yang demikian? Kenyataannya tidak. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai permasalahan yang semakin marak muncul, khususnya diskriminasi agama dan ras.
Indonesia sejak awal bukanlah sebuah negara sekuler dan konstitusinya mengakui kebebasan warga negaranya untuk memeluk kepercayaannya masing-masing. Akan tetapi, beberapa kejadian belakangan ini menunjukkan seberapa hilangnya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Contohnya adalah dengan permasalahan diskriminasi agama, yaitu sulitnya mendapatkan izin untuk membangun gereja yang merupakan bukan hal asing lagi di telinga masyarakat.
Juga dengan kejadian yang baru terjadi belum lama ini, ketika perayaan Waisak umat Buddha di Candi Bahal ditolak ribuan warga dan mahasiswa di Portibi, Sumatera Utara. Begitu pula dengan permasalahan rasial seperti yang dilakukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menjelang akhir Mei lalu.
KAMMI turun ke jalan dan mengangkat isu terkait penuntutan perlindungan pribumi dari nonpribumi dengan menggunakan istilah “asingaseng” untuk merujuk pada golongan nonpribumi yang dimaksud. Istilah “aseng” di sini tentunya bermakna derogatif yang ditujukan pada warga keturunan Tionghoa. Beberapa kejadian ini tentunya sangat tidak mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Sekolah negeri di Indonesia, yang sejak dulu mengumandangkan lima sila Pancasila selama 12 tahun masa pendidikan, terbukti gagal menanamkan nilai-nilai dari kelima sila itu sendiri. Belum lagi pendidikan kewarganegaraan yang diberikan pada pelajar ternyata hanya berhasil pada tahap formal belaka.
Nilainilai yang terkandung dalam Pancasila sebenarnya sudah dirumuskan dengan cukup sederhana untuk dipahami karena pada dasarnya, Pancasila merupakan nilai universal yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Diskriminasi agama dan rasial di Indonesia yang masih terjadi hingga detik ini menunjukkan betapa semakin pudarnya Pancasila itu sendiri dari diri rakyat, di mana nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan keadilan itu sudah jarang hadir dalam kehidupan bermasyarakat.
(bbg)