10 Tahun Merantau di Hong Kong, Wiji Astuti Pulang Tinggal Nama
A
A
A
MALANG - Nasib tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri sungguh memprihatinkan. Di negara tempat bekerja, mereka sering mengalami siksaan, bahkan diperlakukan seperti budak.
Namun, pengalaman traumatik itu tak pernah menghentikan niat para TKI untuk mengais rezeki di negeri orang. Apalagi, di dalam negeri para TKI itu digelari pahlawan devisa.Sebab, setiap tahun miliaran dolar devisa hasil kerja mereka di luar negeri mengalir ke Indonesia.
Kepala Biro Humas BI Difi A. Johansyah mengatakan, berdasarkan data BI, jumlah uang yang dikirim TKI dari luar negeri ke Indonesia (remitansi) setiap tahun menunjukkan tren naik. Nilainya mencapai miliaran rupiah. Tergiur akan gaji tinggi serta alasan memperbaiki ekonomi keluarga, para migran ini memilih menjadi TKI dengan segala konsekuensinya.
Namun, tidak semua TKI bernasib mujur dan pulang dengan bergelimang harta. Ada pula yang kembali Tanah Air tanpa membawa apa pun, bahkan ada yang pulang setelah menjadi mayat. Wiji Astuti, 32, misalnya. TKI asal Desa Wonokerto, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Jawa Timur, menambah daftar panjang TKI meninggal di luar negeri.
Anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Supardi dan Sumiyati itu menjadi korban pembunuhan sadis di Hong Kong pada Senin (8/6) lalu. Mayatnya digulung dalam kasur dan dibuang di depan toko di Mong Kok, kawasan kumuh tempat para gelandangan tinggal. Perempuan beranak satu ini direkrut PT Tritama Bina Karya, salah satu perusahaan pengerah jasa tenaga kerja yang beralamat di Kota Malang.
Dia berangkat ke Hong Kong pada Maret 2005. Kepergian istri Supaat (alm) itu juga meninggalkan anak gadisnya, Rahayu Puteri, 11, yang kala itu baru berusia tujuh bulan. Supardi, orang tua Wiji, menuturkan, sejak Wiji pergi merantau, anak semata wayangnya itu diasuh neneknya. ”Waktu ke sana, (Hong Kong) dia bilang mau mencari kerja untuk membantu ekonomi keluarga,” kata Supardi di rumahnya kemarin.
Supardi berharap anaknya, Wiji, bisa mengirim uang dari Hong Kong. Begitu juga, Rahayu yang kini dudu di kelas V SD Negeri 02 Wonokerto memendam rasa rindu kepada sang ibu. Maklum, sejak lahir dia belum melakukan kontak langsung dengan ibu kandungnya itu. Dia mengaku hanya bertemu ibunya melalui Facebook.
Lewat dunia maya, Ayu––nama akrabnya––bisa menumpahkan kerinduannya. Sayang, harapan itu seakan terempas ketika Wiji tidak pernah lagi memberi kabar pasti keberadaannya di Hong Kong. Bahkan ditengarai, selama di san kehidupan Wiji sungguh dramatis. Dia hidup seperti gelandangan. ”Saya lihat tempat tinggal mama seperti kumuh dan tidak layak,” katanya polos.
Jika ditelisik, Wijimemang hanya dikontrak dua tahun. Artinya, setelah putus kontrak, dia dipastikan menganggur. Dia bertahan di Hong Kong dengan status overstaydan hanya memegang ‘paper’dari pengadilan setempat. Namun, dia tidak boleh bekerja karena tidak memiliki visa pekerja. Kabar terakhir, Wiji berpacaran dengan pria asal Asia Tengah.
Karena tidak memiliki uang, pasangan ini memilih hidup dan menetap di teras terbuka di apartemen tua di lantai pertama, kumuh dan tanpa atap. Menurut sang kakak, Sulistiyo, Wiji sempat menyatakan ingin pulang pada November 2014. Dan, akhirnya dia memang pulang, namun sudah tidak bernyawa.
Yosef Naiobe
Namun, pengalaman traumatik itu tak pernah menghentikan niat para TKI untuk mengais rezeki di negeri orang. Apalagi, di dalam negeri para TKI itu digelari pahlawan devisa.Sebab, setiap tahun miliaran dolar devisa hasil kerja mereka di luar negeri mengalir ke Indonesia.
Kepala Biro Humas BI Difi A. Johansyah mengatakan, berdasarkan data BI, jumlah uang yang dikirim TKI dari luar negeri ke Indonesia (remitansi) setiap tahun menunjukkan tren naik. Nilainya mencapai miliaran rupiah. Tergiur akan gaji tinggi serta alasan memperbaiki ekonomi keluarga, para migran ini memilih menjadi TKI dengan segala konsekuensinya.
Namun, tidak semua TKI bernasib mujur dan pulang dengan bergelimang harta. Ada pula yang kembali Tanah Air tanpa membawa apa pun, bahkan ada yang pulang setelah menjadi mayat. Wiji Astuti, 32, misalnya. TKI asal Desa Wonokerto, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Jawa Timur, menambah daftar panjang TKI meninggal di luar negeri.
Anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Supardi dan Sumiyati itu menjadi korban pembunuhan sadis di Hong Kong pada Senin (8/6) lalu. Mayatnya digulung dalam kasur dan dibuang di depan toko di Mong Kok, kawasan kumuh tempat para gelandangan tinggal. Perempuan beranak satu ini direkrut PT Tritama Bina Karya, salah satu perusahaan pengerah jasa tenaga kerja yang beralamat di Kota Malang.
Dia berangkat ke Hong Kong pada Maret 2005. Kepergian istri Supaat (alm) itu juga meninggalkan anak gadisnya, Rahayu Puteri, 11, yang kala itu baru berusia tujuh bulan. Supardi, orang tua Wiji, menuturkan, sejak Wiji pergi merantau, anak semata wayangnya itu diasuh neneknya. ”Waktu ke sana, (Hong Kong) dia bilang mau mencari kerja untuk membantu ekonomi keluarga,” kata Supardi di rumahnya kemarin.
Supardi berharap anaknya, Wiji, bisa mengirim uang dari Hong Kong. Begitu juga, Rahayu yang kini dudu di kelas V SD Negeri 02 Wonokerto memendam rasa rindu kepada sang ibu. Maklum, sejak lahir dia belum melakukan kontak langsung dengan ibu kandungnya itu. Dia mengaku hanya bertemu ibunya melalui Facebook.
Lewat dunia maya, Ayu––nama akrabnya––bisa menumpahkan kerinduannya. Sayang, harapan itu seakan terempas ketika Wiji tidak pernah lagi memberi kabar pasti keberadaannya di Hong Kong. Bahkan ditengarai, selama di san kehidupan Wiji sungguh dramatis. Dia hidup seperti gelandangan. ”Saya lihat tempat tinggal mama seperti kumuh dan tidak layak,” katanya polos.
Jika ditelisik, Wijimemang hanya dikontrak dua tahun. Artinya, setelah putus kontrak, dia dipastikan menganggur. Dia bertahan di Hong Kong dengan status overstaydan hanya memegang ‘paper’dari pengadilan setempat. Namun, dia tidak boleh bekerja karena tidak memiliki visa pekerja. Kabar terakhir, Wiji berpacaran dengan pria asal Asia Tengah.
Karena tidak memiliki uang, pasangan ini memilih hidup dan menetap di teras terbuka di apartemen tua di lantai pertama, kumuh dan tanpa atap. Menurut sang kakak, Sulistiyo, Wiji sempat menyatakan ingin pulang pada November 2014. Dan, akhirnya dia memang pulang, namun sudah tidak bernyawa.
Yosef Naiobe
(ftr)