Kemaskulinan KPK

Kamis, 11 Juni 2015 - 08:55 WIB
Kemaskulinan KPK
Kemaskulinan KPK
A A A
Komisi Pemberantasan Korupsi (terutama) Jilid III sejauh ini tampil dengan gaya maskulin. Sesuai dengan asal katanya, muscle, yang berarti otot.

Istilah maskulin menunjuk pada sifat-sifat kekuatan otot atau fisik. Karakter maskulin ini dicirikan dengan tendensi untuk tampil menonjol, memenangkan persaingan, aktualisasi diri—yang kadang berlebihan dan unjuk kekuatan. Maskulinitas juga cenderung melihat pihak lain sebagai pesaing atau musuh yang akan mengancam eksistensi dan kehebatannya, bukan sebagai mitra.

Lawan dari maskulin adalah feminin. Istilah feminin mengacu pada ibu menyusui bayi. Di dalam femininitas, ada kelembutan, kasih sayang, kehangatan dan kebersamaan, kehalusan rasa, dan kepercayaan akan masa depan. Ibu menyusui tidak memikirkan hari ini, tapi hari esok.

Maskulinitas yang tidak diimbangi kehadiran karakter feminin tentu berpotensi menimbulkan sisi negatif yang tidak terkontrol seperti dominasi, eksploitasi, syahwat menguasai, intimidasi, tekanan, dan sejenisnya. Dampak paling buruk adalah tendensi untuk melakukan ”kekerasan” dan ”menghalalkan segala cara” untuk mencapai keunggulan.

Sisi maskulin KPK tampak dari kewenangan yang cenderung diselenggarakan secara eksesif, kurang akuntabel, tidak proporsional, antikritik, dan mengutamakan kemenangan semata. KPK juga tampak ingin tampil dominan, cenderung menguasai, enggan berkoordinasi, dan meremehkan institusi lain.

Belakangan publik menyaksikan terjadi ontran-ontran di KPK karena kehadiran pimpinan yang ambisius, haus kekuasaan, tidak taat asas dan menyusupkan kepentingan pribadi, serta integritasnya ternyata meragukan. Tidak sesuai dengan slogan KPK, Berani Jujur Hebat. Kita bisa mempelajari beberapa hal yang bisa disebut sebagai penanda maskulinitas KPK pada tataran praksis.

Pertama, KPK sangat mengutamakan penindakan. Undang- undang menugaskan KPK bukan hanya untuk menindak, tetapi juga mencegah. Sejauh ini citra KPK dibangun di atas rezim penindakan yang sangat ditonjolkan. Pada lahan penindakan itu pula popularitas dan kepercayaan publik kepada KPK ditanam salah satunya lewat operasi tangkap tangan.

Dengan aksi penindakan yang dikedepankan, popularitas, citra kelembagaan, dan kepercayaan publik kepada lembaga KPK dibangun, termasuk kepada personalianya. Padahal, ada fungsi-fungsi lain seperti koordinasi, supervisi, pencegahan, dan monitoring yang tenggelam oleh hingar-bingar penindakan.

Kedua, kreasi dan pendayagunaan pengadilan opini. Pengumuman status tersangka, pemanggilan saksi-saksi, atau penggeledahan misalnya adalah bagian dari rangkaian kerja penting dalam proses hukum di KPK untuk sejak awal menggiring seseorang wajib bersalah.

Penahanan tersangka juga menjadi ritual yang dipasarkan, menjadi semacam reality show. Lahirlah kemudian istilah ”Jumat keramat”. Siapa saja yang menjadi tersangka dan atau ditersangkakan KPK sejak awal sudah diadili oleh pemberitaan yang diorkestrasi sedemikian rupa sehingga sudah bersalah sebelum persidangan.

Teater opini ini juga cenderung menyudutkan hakim untuk dapat mengambil putusan secara jernih dan mandiri. Konstruksi opini bersalah yang sudah terbangun sejak awal adalah tembok tebal yang acapkali menghalangi hakim untuk menjalankan ”tugas ketuhanannya” secara benar dan adil.

Ketiga, selama ini ada kesan kuat bahwa cara-cara yang ditempuh KPK dalam memeriksa, menggeledah, menyita, mendakwa, dan menuntut dilakukan secara berlebihan. Perlakuan terhadap para tahanan juga tidak sama dengan rumah tahanan pada umumnya. Ihwal demikian dilakukan untuk menguatkan citra bahwa KPK adalah lembaga khusus dan sangat perkasa, tidak tertandingi dan tidak terkalahkan.

KPK memegang dan menyelenggarakan kewenangan yang identik dengan klaim kebenaran. Konsekuensi lebih lanjut dari maskulinitas itu adalah fokus KPK mengejar kemenangan terhadap terdakwa sebagai target dan bukan lagi memuliakan keadilan. Dengan mazhab ”wajib menang”, segala cara ditempuh agar rekor tak terkalahkan bisa dijaga.

Kadang di persidangan yang terjadi bukan kontestasi bukti-bukti hukum dan kebenaran untuk menghasilkan keadilan, melainkan pencapaian tujuan kemenangan. Dalam beberapa kasus tampak jelas fokus KPK pada tujuan pemujaan kemenangan ini. Ihwal demikianlah yang membuat KPK seolah ingin tampil sendirian dan meninggalkan kejaksaan dan kepolisian.

Tampil secara ”solo” dan bukan ”trio” cenderung menjadi pilihan cara kerja KPK. Apalagi ini selalu didukung oleh publik yang terkesima oleh citra KPK sehingga bisa maklum dan toleran jika KPK melakukan ketidakpatutan dan kekeliruan.

Berani Feminin Hebat

Lalu, bagaimana KPK yang tampil feminin? Feminin bukan dimaknai sempit dengan menunjuk pada sosok perempuan. Feminin bukan pula berarti lembek, lunak, dan lemah. Sebaliknya, perempuan mengajarkan kekuatan sejati. Mengandung dan melahirkan adalah tugas berat dan tak jarang harus melewati ambang antara hidup dan mati.

Femininitas adalah ketulusan menunaikan tugas dan tanggung jawabnya secara lurus dan adil seperti seorang perempuan menjalankan tugasnya. Nilai keperempuanan juga mencakup sikap tegas dan terukur, proporsional dan tidak ”sok kuasa”, dilandasi cinta dan kelembutan.

Femininitas KPK adalah menyelenggarakan kewenangan pemberantasan korupsi berdasarkan spirit cinta Tanah Air, cinta pemerintahan bersih dan menjauhkan diri dari kebencian-kebencian yang tidak perlu, berlebih- lebihan, apalagi terseret masuk pada urusan dan kepentingan pribadi. Untuk itu, ada sejumlah langkah yang harus ditempuh lembaga KPK yang didukung bersama ini.

Pertama, KPK haruslah berani menunaikan tugasnya secara menyeluruh dan seimbang, baik fungsi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, maupun monitoring. Yang paling penting ditekankan adalah keseimbangan antara pencegahan dan penindakan. Meski fungsi pencegahan sunyi dari pemberitaan dan hampir tidak mempunyai insentif popularitas bagi lembaga dan pribadi, jalan ini haruslah ditempuh.

Bukan hanya karena perintah UU, melainkan juga dari titik inilah ada harapan besar agar ”lahan” korupsi makin lama makin sempit. Kalau hanya berkutat pada penindakan dan kurang serius terhadap pencegahan, tidak ubahnya sebagai kesengajaan untuk mengawetkan sumbersumber terjadinya korupsi. Dengan bekerjanya fungsi pencegahan secara baik, pendekatan proses diperlakukan sama berharganya dengan hasil.

Kedua, KPK harus berani taat asas dan menempuh penegakan hukum melalui metode yang tepat untuk menegakkan keadilan. Mandat KPK memang menegakkan hukum dalam konteks pemberantasan korupsi. Tetapi, di atas itu ada nilai keadilan. Tujuan keadilan haruslah dimuliakan melampaui penegakan hukum. Bukan sebaliknya, menegakkan hukum dan menjalankan pemberantasan korupsi dengan ”kacamata kuda” dan menerabas sisi keadilan.

Apalagi, memaksakan dan mencari-cari kesalahan. Tidaklah relevan mempertahankan prinsip ”menghalalkan segala cara” untuk menegakkan hukum dan pemberantasan korupsi. Tujuan kebaikan baik musti diselenggarakan dengan cara yang baik pula. Bagaimana dengan komisioner perempuan? Tentu saja nilai feminin tidak wajib dihadirkan dalam sosok perempuan secara fisik.

Tetapi, sosok perempuan lazimnya lebih familier dan menghayati karakter feminin. Dari lima orang pimpinan KPK Jilid IV nanti, kehadiran komisioner perempuan boleh jadi akan membawa cuaca baru. Yang lebih penting adalah harus berani adil dan setia pada khitah awal pembentukan KPK dan menunaikan tugas secara lurus, adil, dan bertanggung jawab. Tak diragukan Indonesia membutuhkan KPK.

Kita mendukung KPK yang berani, lurus, dan rendah hati. Bukan KPK yang suka dumeh (Jawa: mentang- mentang) dan bergaya sopo siro sopo ingsun (Jawa: siapa kamu, siapa saya). KPK yang feminin, bukan maskulin.

Anas Urbaningrum
Pengamat Politik
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0750 seconds (0.1#10.140)