Pendidikan dan Pasar Tenaga Kerja

Rabu, 10 Juni 2015 - 08:27 WIB
Pendidikan dan Pasar Tenaga Kerja
Pendidikan dan Pasar Tenaga Kerja
A A A
Akhir tahun 2015 ini adalah batas persiapan untuk menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Ada harapan, baik tersirat maupun tersurat, dari negara-negara ASEAN yang memiliki cita-cita bahwa MEA ini akan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi seperti yang terjadi di Masyarakat Uni Eropa. Namun demikian, dibalikharapantersebut ada segaris kecemasan terjadinya kompetisi di antara sumber daya manusia (SDM) negara-negara ASEAN. Mereka yang memiliki kualitas pendidikan terbelakang akan terjungkal dan menjadi jajahan.

Kira-kira demikian ketakutan yang disimpulkan dari berbagai tulisan tentang pendidikan dan MEA. Ketakutan itu adalah wajar karena dunia pendidikan kita selalu menghebohkan setiap kali terjadi pergantian menteri yang biasanya diikuti pergantian kurikulum. Banyak sekolah dasar yang tidak layak dan hampir roboh, namun terus digunakan karena manajemen sekolah yang korup.

Belum lagi dengan tenaga pengajar yang tidak dapat meningkatkan kualitas diri mereka karena penghargaan gaji yang sangat rendah. Jangankan memikirkan untuk meningkatkan kapasitas anak didik, meningkatkan kapasitas diri mereka sendiri saja sudah sangat berat. Apa yang menarik adalah bahwa perasaan ini sebetulnya tidak eksklusif dirasakan oleh Indonesia saja, tetapi juga negara-negara ASEAN lain.

Alih-alih menyambut gembira terbukanya peluang bekerja di luar negeri, sebagian besar justru ketakutan bahwa periuk nasi di dalam negeri akan diambil oleh warga dari negara anggota ASEAN yang lain. Halinirelatifagakberbedadengan pemerintah dan warga masyarakat Uni Eropa yang cenderung bersikap positif terhadap liberalisasi tenaga kerja mereka.

Mereka menyebutnya sebagai kebebasan bergerak bagi pekerja (free movement of workers). Kebebasan bergerak ini dijamin dalam Treaty on the Functioning of the European Union pasal 45. Tidak boleh ada anggota yang melarang warga dari anggota negara lain untuk bekerja. Larangan hanya boleh dikaitkan sepanjang menyangkut keamanan, prosedur administrasi, atau seandainya memang mengganggu pasar tenaga kerja di dalam negeri. Itu pun perlu disertai dengan bukti-bukti.

Larangan yang berlaku di saat ini oleh beberapa negara anggota Uni Eropa dan diterima alasannya oleh Komisi Eropa adalah soal pembatasan akses kerja terhadap warga Kroasia yang baru bergabung pada 1 Juli 2013 lalu. Sejumlah keluhan atas prinsip kebebasan bergerak tersebut tidak berarti hilang.

Keluhan yang paling lantang mengkritisi kebijakan tersebut terutama berasal dari Inggris. Inggris menuduh bahwa kebijakan tersebut telah membuat angka pengangguran meningkat, membebani pelayanan dan fasilitas infrastruktur, dan terutama menuduh bahwa pencari kerja itu hanya mengincar tunjangan yang baik di Inggris.

Keluhan ini dibantah oleh Komite Penasihat Migrasi yang menyatakan bahwa ekonomi Inggris sebetulnya diuntungkan dengan adanya pekerja dari luar Inggris. Tahun ini angka pengangguran di Inggris justru turun paling rendah selama tujuh tahun terakhir. Dengan kata lain, kebebasan pekerja untuk bergerak menguntungkan secara ekonomi walaupun tingkat pengangguran tetap ada.

Perbedaan tanggapan atas MEA tidak lain disebabkan sejak awal ASEAN memang tidak diarahkan untuk bergerak seperti kesatuan Uni Eropa, sehingga tidak realistis sebenarnya untuk mengharapkan capaian keadaan yang sama. MEA dipersepsikan lebih sebagai sarana kompetisi bukan konsolidasi pasar. Apakah negara-negara anggota EU (European Union) juga berkompetisi?

Ya, mereka berkompetisi dan di sini perbedaannya. Kompetisi di antara warga negara EU adalah kompetisi yang adil dan terbuka, karena sistem demokrasi dan hukum di setiap negara relatif sama. EU memiliki konvensi yang wajib diratifikasi oleh setiap negara di dalam sistem hukum nasional mereka.

Misalnya larangan diskriminasi dalam dunia kerja, penetapan standar upah minimum, penjaminan kebebasan berserikat dan berunding, pemberian tunjangan, sistem asuransi, pesangon. Ke mana pun mereka pergi, para pekerja akan mendapatkan perlindungan yang relatif sama.

Di ASEAN hal itu tidak terjadi. Akibatnya, persaingan yang timbul adalah persaingan yang tidak demokratis dan tidak fair. Malaysia dan Singapura hingga saat ini tidak memiliki serikat buruh yang bebas. Serikat buruh di sana sama seperti SPSI di zaman Orde Baru. Sederhananya, apabila ada warga kita yang bekerja di sana dan mengalami masalah, mereka akan mengalami ”penyelesaian” yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru.

Bagi Indonesia, keadaan itu bisa menguntungkan dan juga merugikan. Keuntungannya bahwa MEA bisa memacu investasi lebih besar karena kita memiliki tenaga kerja tidak terampil yang besar. Apabila seluruh sarana infrastruktur yang dibayangkan oleh pemerintah Joko Widodo menjadi kenyataan, perkembangan itu akan lebih mempercepat arus modal yang masuk.

Kerugiannya, kualitas hidup sebagian besar para pekerja kita tidak akan lebih baik dari sekadar upah minimum, apalagi karena jumlah tenaga kerja kurang terampil yang besar, sementara pekerjaan yang bernilai upah tinggi akan tetap dikuasai oleh warga pemilik modal.

Sektor industri padat karya memang sektor produksi yang dapat menciptakan lapangan kerja dengan cepat dan mengatasi pengangguran namun rapuh secara politik, karena tuntutan perbaikan nasib setiap tahun dalam bentuk peningkatan upah minimum selalu terjadi dan menimbulkan gejolak ekonomi dan politik.

Di sisi lain, MEA juga menjadi peluang bagi warga kita yang memiliki keterampilan untuk pergi ke negara ASEAN lain untuk bekerja dengan kondisi politik seperti yang telah dijelaskan di atas. Sebetulnya, di sektor minyak dan gas, pekerja kita yang berketerampilan sudah banyak yang bekerja di luar negeri.

Beberapa teman saya mengatakan posisi-posisi penting dan strategis di perusahaan minyak Malaysia atau Brunei bahkan diisi oleh para pekerja dan eksekutif dari Indonesia. Syaratnya memang para pekerja kita tidak menikmati kebebasan politik seperti yang dirasakan di dalam negeri. Berkaca dari pengalaman di Uni Eropa, kita menyimpulkan bahwa negara-negara anggota ASEAN lebih merasakan MEA sebagai ancaman ketimbang peluang.

Iklan-iklan layanan publik yang diproduksi oleh kementerian mengirimkan pesan bahwa MEA seperti sebuah masa kritis di mana akan ada persaingan untuk merebutkan posisi mendominasi dan mereka yang tidak didominasi akan sengsara. Mungkin para pembuat keputusan yang merancang bangun MEA memiliki rasa positif terhadap penyatuan pasar, namun rasa optimistis itu tidak ditularkan kepada pejabat politik yang berkuasa.

Perbaikan mutu pendidikan mutlak harus dilakukan, namun jangan lantas membebani anak didik dengan berbagai ”persiapan” yang dianggap dapat membantu mereka menang dalam kompetisi pasar tenaga kerja di masa mendatang.

Pendidikan yang baik menurut ukuran saya adalah pendidikan yang dapat mendorong semaksimal mungkin hasrat, potensi, bakat, atau talenta anak didik Indonesia dan bukan pendidikan yang membuat anak Indonesia seperti robot yang dimekanisasi dengan segala persiapan materi belajar ”siap pakai”.

Dalam sistem kapitalisme alias ekonomi pasar, kreativitas memiliki nilai tambah yang lebih dibandingkan dengan pekerjaan yang manual. Yang harus dilakukan negara adalah menjamin melalui sistem kesejahteraan bahwa anak didik kita tidak akan sengsara dan menderita apabila mereka mencoba berkreativitas dan mengeksplorasi diri.

Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5664 seconds (0.1#10.140)