Masa Depan KPK
A
A
A
Pemberantasan korupsi di Indonesia sejak Reformasi 1998 semakin meningkat dan tampak intensitas kegiatan yang dimotori Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama KPK jilid III.
Intensitas kegiatan pemberantasan korupsi oleh KPK telah menenggelamkan peranan Polri dan kejaksaan sehingga terbentuk persepsi masyarakat bahwa kedua lembaga tersebut memang tidak efektif. Kegiatan KPK yang mendapat tempat lebih besar di dalam pandangan masyarakat dibandingkan Polri dan kejaksaan ternyata juga karena didukung kuat oleh koalisi LSM antikorupsi, termasuk ICW, yang bahkan dapat disebut die hard KPK.
Kekuatan dukungan koalisi LSM tersebut juga dikokohkan oleh pemberitaan yang penulis nilai sangat agresif mengenai perkara korupsi yang ditangani KPK. Apakah semua itu salah? Jawabannya tidak salah dan bukan tidak boleh karena memang korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) sehingga memerlukan cara-cara luar biasa.
Semula keluarbiasaan KPK hanya dalam hal kewenangan saja (kekecualian) sesuai dengan UU KPK 2002, kemudian berkembang dan meluas keluarbiasaan itu pada pola dukungan koalisi LSM antikorupsi dan pemberitaan pers.
Keluarbiasaan sokongan kedua pendukung KPK tersebut tampak nyata dalam mengangkat berita tersangka KPK dengan semua aib-aib yang bersifat personal sifatnya ke hadapan publik sekalipun prinsip praduga tak bersalah telah diakui dalam KUHAP dan UU Nomor 48 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Bahkan keluarbiasaan yang telah diatur dan dibatasi dalam UU KPK telah dikembangkan oleh komisioner KPK jilid III, termasuk status penyelidik dan penyidik; satu alat bukti saja dapat digunakan untuk menetapkan tersangka. Tidak mengherankan bila dalam kurun waktu/periode 2013-2014 telah terjaring tersangka kurang lebih 36 orang.
Idealnya KPK hanya dapat menjaring 10 tersangka per tahun karena keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur. Namun keberhasilan KPK secara kuantitatif tetap memperoleh apresiasi penuh dari masyarakat luas dan koalisi LSM antikorupsi. Sedemikian tingginya apresiasi tersebut sehingga telah menafikan kemungkinan kekeliruan tindakan hukum yang dilakukan KPK sesuai dengan UU KPK dan KUHAP. ***
Bertolak dari kenyataan tersebut dapat saya katakan bahwa bagi KPK dan pendukungnya, KPK telah dijadikan satu-satunya simbol kebenaran dan penguatan simbol tersebut dibenarkan baik oleh koalisi LSM antikorupsi maupun pers. Layaknya pepatah sepandai- pandainya tupai melompat, ia akan terjatuh juga, begitulah KPK di bawah komisioner KPK jilid III.
Satu per satu terkuak kekeliruan atau kesalahan tindakan hukum KPK jilid III dalam hal penetapan tersangka dan tindakan hukum lain sehubungan dengan tiga kekalahan pada sidang praperadilan BG, IAS, dan HP. Kekalahan beruntun KPK dalam sidang praperadilan ini seharusnya dijadikan titik balik introspeksi bagi KPK dan koalisi LSM antikorupsi untuk tetap kritis juga terhadap kinerja KPK.
Kekalahan KPK dalam praperadilan harus dijadikan evaluasi secara serius dari pemerintah dan DPR untuk meninjau kembali substansi UU KPK agar dapat dicegah kekeliruan KPK jilid III di masa depan. Tidak ada UU yang sempurna, begitu kata pepatah, dan hal itu juga berlaku terhadap pimpinan KPK.
Kekalahan yang telah dialami tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi dengan sikap arogan dan jumawa seolah merasa paling benar. Apalagi sikap kritis terhadap KPK secara apriori dianggap memusuhi KPK, termasuk terhadap penulis sendiri yang berperan dalam persiapan dan pembentukan KPK. ***
KPK adalah anak kandung Reformasi dan ia dipersiapkan dan dibentuk untuk menjalankan amanat suci Reformasi membangun sistem pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Ketika KPK telah dijadikan sarana untuk meraih kepentingan pribadi atau kelompok atau tujuan politik, seketika itu pula roh Reformasi suci terkoyak dan tentu membawa dampak buruk terhadap lembaga KPK kini dan di masa depan.
Seyogianya kerja Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK jilid IV harus didukung semua pihak untuk memperoleh calon pimpinan KPK tepercaya dan memiliki integritas serta akuntabilitas yang ”sempurna”. Tidak mudah, tetapi dengan kesungguhan partisipasi masyarakat hal itu pasti ada.
Namun dalam proses rekrutmen calon pimpinan KPK harus terbebas dari sikap apriori bahwa mantan birokrat, petugas Polri atau jaksa selalu buruk kinerjanya karena bukti kinerja KPK jilid III tidak lebih baik pula di samping sukses yang telah dicapainya. Tapi pepatah ”karena nila setitik rusak susu sebelanga” juga terjadi pada KPK jilid III.
Pansel Calon Pimpinan KPK jilid IV harus mampu menemukan sosok yang telah berpengalaman dalam sistem birokrasi, berusia dewasa setidaknya 50 tahun, amanah, dan sudah mapan dalam kehidupan seharihari, bijak, rasional tidak emosional, tidak agresif, dan memiliki sikap patuh pada UU KPK dan KUHAP.
Sosok tersebut juga harus menjauhi terobosan- terobosan yang melanggar UU, memahami manajemen dan ahli hukum, ahli psikologi sosial, memiliki human relationship yang baik, kuat sense of belonging dan sense of solidarity -nya karena kepemimpinan KPK harus kolektif-kolegial, memiliki dan menguasai nilai humanisme dan humanistik yang baik, serta bersikap rendah hati dan tidak arogan.
Manajemen KPK jilid I sd II dalam bentuk SOP yang terbit tahun 2008, baik tentang manajemen administrasi maupun manajemen penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta hambatan-hambatan dan keberhasilannya, perlu diketahui dan didalami Pansel KPK karena dari situlah pansel dapat membuat kriteria calon pimpinan KPK yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6-12 UU KPK dengan benar dan bertanggung jawab.
Romli Atmasasmita
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
Intensitas kegiatan pemberantasan korupsi oleh KPK telah menenggelamkan peranan Polri dan kejaksaan sehingga terbentuk persepsi masyarakat bahwa kedua lembaga tersebut memang tidak efektif. Kegiatan KPK yang mendapat tempat lebih besar di dalam pandangan masyarakat dibandingkan Polri dan kejaksaan ternyata juga karena didukung kuat oleh koalisi LSM antikorupsi, termasuk ICW, yang bahkan dapat disebut die hard KPK.
Kekuatan dukungan koalisi LSM tersebut juga dikokohkan oleh pemberitaan yang penulis nilai sangat agresif mengenai perkara korupsi yang ditangani KPK. Apakah semua itu salah? Jawabannya tidak salah dan bukan tidak boleh karena memang korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) sehingga memerlukan cara-cara luar biasa.
Semula keluarbiasaan KPK hanya dalam hal kewenangan saja (kekecualian) sesuai dengan UU KPK 2002, kemudian berkembang dan meluas keluarbiasaan itu pada pola dukungan koalisi LSM antikorupsi dan pemberitaan pers.
Keluarbiasaan sokongan kedua pendukung KPK tersebut tampak nyata dalam mengangkat berita tersangka KPK dengan semua aib-aib yang bersifat personal sifatnya ke hadapan publik sekalipun prinsip praduga tak bersalah telah diakui dalam KUHAP dan UU Nomor 48 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Bahkan keluarbiasaan yang telah diatur dan dibatasi dalam UU KPK telah dikembangkan oleh komisioner KPK jilid III, termasuk status penyelidik dan penyidik; satu alat bukti saja dapat digunakan untuk menetapkan tersangka. Tidak mengherankan bila dalam kurun waktu/periode 2013-2014 telah terjaring tersangka kurang lebih 36 orang.
Idealnya KPK hanya dapat menjaring 10 tersangka per tahun karena keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur. Namun keberhasilan KPK secara kuantitatif tetap memperoleh apresiasi penuh dari masyarakat luas dan koalisi LSM antikorupsi. Sedemikian tingginya apresiasi tersebut sehingga telah menafikan kemungkinan kekeliruan tindakan hukum yang dilakukan KPK sesuai dengan UU KPK dan KUHAP. ***
Bertolak dari kenyataan tersebut dapat saya katakan bahwa bagi KPK dan pendukungnya, KPK telah dijadikan satu-satunya simbol kebenaran dan penguatan simbol tersebut dibenarkan baik oleh koalisi LSM antikorupsi maupun pers. Layaknya pepatah sepandai- pandainya tupai melompat, ia akan terjatuh juga, begitulah KPK di bawah komisioner KPK jilid III.
Satu per satu terkuak kekeliruan atau kesalahan tindakan hukum KPK jilid III dalam hal penetapan tersangka dan tindakan hukum lain sehubungan dengan tiga kekalahan pada sidang praperadilan BG, IAS, dan HP. Kekalahan beruntun KPK dalam sidang praperadilan ini seharusnya dijadikan titik balik introspeksi bagi KPK dan koalisi LSM antikorupsi untuk tetap kritis juga terhadap kinerja KPK.
Kekalahan KPK dalam praperadilan harus dijadikan evaluasi secara serius dari pemerintah dan DPR untuk meninjau kembali substansi UU KPK agar dapat dicegah kekeliruan KPK jilid III di masa depan. Tidak ada UU yang sempurna, begitu kata pepatah, dan hal itu juga berlaku terhadap pimpinan KPK.
Kekalahan yang telah dialami tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi dengan sikap arogan dan jumawa seolah merasa paling benar. Apalagi sikap kritis terhadap KPK secara apriori dianggap memusuhi KPK, termasuk terhadap penulis sendiri yang berperan dalam persiapan dan pembentukan KPK. ***
KPK adalah anak kandung Reformasi dan ia dipersiapkan dan dibentuk untuk menjalankan amanat suci Reformasi membangun sistem pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Ketika KPK telah dijadikan sarana untuk meraih kepentingan pribadi atau kelompok atau tujuan politik, seketika itu pula roh Reformasi suci terkoyak dan tentu membawa dampak buruk terhadap lembaga KPK kini dan di masa depan.
Seyogianya kerja Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK jilid IV harus didukung semua pihak untuk memperoleh calon pimpinan KPK tepercaya dan memiliki integritas serta akuntabilitas yang ”sempurna”. Tidak mudah, tetapi dengan kesungguhan partisipasi masyarakat hal itu pasti ada.
Namun dalam proses rekrutmen calon pimpinan KPK harus terbebas dari sikap apriori bahwa mantan birokrat, petugas Polri atau jaksa selalu buruk kinerjanya karena bukti kinerja KPK jilid III tidak lebih baik pula di samping sukses yang telah dicapainya. Tapi pepatah ”karena nila setitik rusak susu sebelanga” juga terjadi pada KPK jilid III.
Pansel Calon Pimpinan KPK jilid IV harus mampu menemukan sosok yang telah berpengalaman dalam sistem birokrasi, berusia dewasa setidaknya 50 tahun, amanah, dan sudah mapan dalam kehidupan seharihari, bijak, rasional tidak emosional, tidak agresif, dan memiliki sikap patuh pada UU KPK dan KUHAP.
Sosok tersebut juga harus menjauhi terobosan- terobosan yang melanggar UU, memahami manajemen dan ahli hukum, ahli psikologi sosial, memiliki human relationship yang baik, kuat sense of belonging dan sense of solidarity -nya karena kepemimpinan KPK harus kolektif-kolegial, memiliki dan menguasai nilai humanisme dan humanistik yang baik, serta bersikap rendah hati dan tidak arogan.
Manajemen KPK jilid I sd II dalam bentuk SOP yang terbit tahun 2008, baik tentang manajemen administrasi maupun manajemen penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta hambatan-hambatan dan keberhasilannya, perlu diketahui dan didalami Pansel KPK karena dari situlah pansel dapat membuat kriteria calon pimpinan KPK yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6-12 UU KPK dengan benar dan bertanggung jawab.
Romli Atmasasmita
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
(ftr)