Beras Plastik dan Perlindungan Konsumen
A
A
A
DR H ABUSTAN
Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN),
Pengajar Hukum Perlindungan Konsumen
Dengan jumlah penduduk 237 juta jiwa, konsumen Indonesia merupakan konsumen keempat terbesar di dunia di belakang China, India, dan Amerika Serikat. Sungguh secara kualitatif merupakan anugerah yang tak ternilai harganya.
Karena itu, sangat wajar jika isu yang terkait kebutuhan pokok konsumen pasti akan mengundang sorotan tajam dan perbincangan serius di tengah masyarakat. Katakanlah kemunculan beras plastik ternyata cukup menghebohkan jagat Indonesia. Bagaimana tidak, berita tersebut ternyata mampu menenggelamkan berita peristiwa besar lain. Harus diakui, hebohnya isu ini cukup membawa dampak yang tidak kecil bagi masyarakat dan pemerintah.
Bahkan, kehebohan isu beras plastik menggiring masyarakat beralih membeli kebutuhan pokok ini dari pasar tradisional ke pasar modern. Masalah ini terus menggelinding bak bola salju, kini mengalir ke meja Badan Reserse Kriminal (Bareskrim). Uji laboratorium dilakukan oleh Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Laboratorium Sucofindo. Hasilnya, seperti yang kita ketahui terdapat campuran kimia yang terkandung dalam beras itu. Pertanyaan yang mendasar, siapa di belakang semua ini?
Sikap kritis konsumen
Sesungguhnya konsumen adalah pengguna semua bentuk barang dan jasa yang harus diberi kepastian atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan terhadap barang yang dikonsumsinya. Pelayanan yang berkualitas dan optimal terhadap publik menjadi sebuah keniscayaan. Namun, hal itu bisa dilakukan jika pemerintah dan pelaku usaha (produsen) memberikan perlindungan yang optimal kepada konsumen dan pada gilirannya akan meningkatkan harkat dan martabat konsumen.
Perlu kiranya ditumbuhkan kebiasaan mengadu yang merupakan bagian dari sikap kritis konsumen sekaligus menjadi indikator baik atau tidaknya perlindungan konsumen di suatu negara. Budaya mengadu konsumen Indonesia masih sangat rendah. Sebaliknya sikap pasrah atau nrimo masih menjadi suatu pilihan dari masyarakat. Karena itu, apa yang dilakukan Dewi Septiani, pelapor akan adanya beras sintetis di Bekasi, adalah refleksi dari sikap kritis konsumen.
Bukan sebaliknya yang bersangkutan diancam untuk dipidanakan karena dianggap menyebarkan isu yang meresahkan masyarakat. Masalah beras plastik ini sesungguhnya di satu sisi memberi dampak positif (hikmah), yaitu membangun sikap kritis konsumen terhadap hak-hak dasar yang dimilikinya.
Terbukti dari masalah tersebut konsumen tampak lebih reaktif terhadap berbagai ketidaknyamanan dan berbagai ancaman terhadap makanan yang bisa merusak kesehatan konsumen. Hal lainnya, kita juga menyaksikan berbagai pemangku kepentingan dalam hal ini berperan aktif mengkritik persoalan beras plastik yang ditemukan di daerah Bekasi.
Bahkan Badan Urusan Logistik (Bulog) dibuat panik. Tidak hanya itu, Kementrian by safeweb"> Perdagangan dan Kementrian Pertanian juga menunjukkan rasa empati atas kejadian yang menimpa kepada konsumen. Penemuan beras palsu atau beras sintesis asal China mengingatkan kepada kita semua (konsumen) bahwa lingkungan kita saat ini tidak terbebas dari produk makanan dan minuman berbahaya. Fenomena beras sintetis hanya sekian kasus dari berbagai penemuan produk makanan dan minuman ”aspal” alias asli tapi palsu di Tanah Air.
Lebih Dilindungi
Pemerintah tentu diharapkan lebih antusias dan berempati kepada hak-hak konsumen (vide UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen). Sebab, sangat mustahil kita berbicara kualitas perlindungan terhadap hak-hak konsumen jika pemerintahan yang berjalan tidak peduli pada halhal yang berkaitan dengan konsumen itu sendiri.
Dengan demikian, sekali lagi harapan kita (konsumen) terkait kebijakan atau regulasi pemerintah selaku regulator haruslah benar-benar memberi pemihakan dan atau perlindungan kepada konsumen. Dengan kata lain, kebijakan yang dikeluarkan oleh para menteri terkait haruslah inheren dan berkorelasi dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat (konsumen).
Dalam kemerosotan wibawa pemerintah yang terjadi akhirakhir ini, tentu akibat berbagai kebijakan yang tidak prokonsumen atau tidak memberikan pemihakan kepada konsumen selaku objek kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal, tanpa kebijakan yang memberi perlindungan kepada konsumen atau tanpa agenda perlindungan konsumen yang jelas, mustahil pemerintah mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen.
Kesemuanya itu dapat dibuktikan ketika kecemasan konsumen semakin memprihatinkan akhir-akhir ini. Dapat dilihat ketika kebutuhan pokok seperti beras plastik di Bekasi, terungkapnya pabrik es batu di Cakung Jakarta Timur, terbongkarnya pembuatan nata de coco yang dicampur pupuk ZA, bahan kimia berbahaya lain yang sering digunakan adalah formalin, pabrik susu di Klaten diduga menggunakan zat pewarna kimia.
Padahal bagaimanapun negara harus hadir ketika terjadi gangguan kebutuhan dasar konsumen yang berdampak pada terjadinya ketidaknyamanan konsumen. Dengan kata lain, negara harus memberi pemihakan yang jelas untuk melindungi kepentingan rakyat sebagai sebuah wujud nyata peranan negara kepada rakyatnya.
Bukan sebaliknya, sejumlah kebijakan pemerintah justru membuat rakyat negeri ini, selaku konsumen, merasa dirugikan. Atau seperti istilah para tukang ojek dan bincang-bincang di warung kopi, kebijakan pemerintah hanya membuat ”pusing kepala rakyat”. Artinya, dampak dari berbagai kebijakan pemerintah sekarang yang membuat rasa tidak puas, kekecewaan, dan kecemasan konsumen.
Akhirnya, kita semua berharap peringatan Hari Konsumen Nasional (Harkonas 2015) yang diperingati pada 20 April lalu akan menjadi titik berangkat para stakeholder untukmenghormatihak- hakkonsumen. Jikahal ini terus berlanjut, mau tak mau efek positifnya adalah berkurangnya kecemasan konsumen dalam mengonsumsi bahan makanan dan minuman.
Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN),
Pengajar Hukum Perlindungan Konsumen
Dengan jumlah penduduk 237 juta jiwa, konsumen Indonesia merupakan konsumen keempat terbesar di dunia di belakang China, India, dan Amerika Serikat. Sungguh secara kualitatif merupakan anugerah yang tak ternilai harganya.
Karena itu, sangat wajar jika isu yang terkait kebutuhan pokok konsumen pasti akan mengundang sorotan tajam dan perbincangan serius di tengah masyarakat. Katakanlah kemunculan beras plastik ternyata cukup menghebohkan jagat Indonesia. Bagaimana tidak, berita tersebut ternyata mampu menenggelamkan berita peristiwa besar lain. Harus diakui, hebohnya isu ini cukup membawa dampak yang tidak kecil bagi masyarakat dan pemerintah.
Bahkan, kehebohan isu beras plastik menggiring masyarakat beralih membeli kebutuhan pokok ini dari pasar tradisional ke pasar modern. Masalah ini terus menggelinding bak bola salju, kini mengalir ke meja Badan Reserse Kriminal (Bareskrim). Uji laboratorium dilakukan oleh Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Laboratorium Sucofindo. Hasilnya, seperti yang kita ketahui terdapat campuran kimia yang terkandung dalam beras itu. Pertanyaan yang mendasar, siapa di belakang semua ini?
Sikap kritis konsumen
Sesungguhnya konsumen adalah pengguna semua bentuk barang dan jasa yang harus diberi kepastian atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan terhadap barang yang dikonsumsinya. Pelayanan yang berkualitas dan optimal terhadap publik menjadi sebuah keniscayaan. Namun, hal itu bisa dilakukan jika pemerintah dan pelaku usaha (produsen) memberikan perlindungan yang optimal kepada konsumen dan pada gilirannya akan meningkatkan harkat dan martabat konsumen.
Perlu kiranya ditumbuhkan kebiasaan mengadu yang merupakan bagian dari sikap kritis konsumen sekaligus menjadi indikator baik atau tidaknya perlindungan konsumen di suatu negara. Budaya mengadu konsumen Indonesia masih sangat rendah. Sebaliknya sikap pasrah atau nrimo masih menjadi suatu pilihan dari masyarakat. Karena itu, apa yang dilakukan Dewi Septiani, pelapor akan adanya beras sintetis di Bekasi, adalah refleksi dari sikap kritis konsumen.
Bukan sebaliknya yang bersangkutan diancam untuk dipidanakan karena dianggap menyebarkan isu yang meresahkan masyarakat. Masalah beras plastik ini sesungguhnya di satu sisi memberi dampak positif (hikmah), yaitu membangun sikap kritis konsumen terhadap hak-hak dasar yang dimilikinya.
Terbukti dari masalah tersebut konsumen tampak lebih reaktif terhadap berbagai ketidaknyamanan dan berbagai ancaman terhadap makanan yang bisa merusak kesehatan konsumen. Hal lainnya, kita juga menyaksikan berbagai pemangku kepentingan dalam hal ini berperan aktif mengkritik persoalan beras plastik yang ditemukan di daerah Bekasi.
Bahkan Badan Urusan Logistik (Bulog) dibuat panik. Tidak hanya itu, Kementrian by safeweb"> Perdagangan dan Kementrian Pertanian juga menunjukkan rasa empati atas kejadian yang menimpa kepada konsumen. Penemuan beras palsu atau beras sintesis asal China mengingatkan kepada kita semua (konsumen) bahwa lingkungan kita saat ini tidak terbebas dari produk makanan dan minuman berbahaya. Fenomena beras sintetis hanya sekian kasus dari berbagai penemuan produk makanan dan minuman ”aspal” alias asli tapi palsu di Tanah Air.
Lebih Dilindungi
Pemerintah tentu diharapkan lebih antusias dan berempati kepada hak-hak konsumen (vide UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen). Sebab, sangat mustahil kita berbicara kualitas perlindungan terhadap hak-hak konsumen jika pemerintahan yang berjalan tidak peduli pada halhal yang berkaitan dengan konsumen itu sendiri.
Dengan demikian, sekali lagi harapan kita (konsumen) terkait kebijakan atau regulasi pemerintah selaku regulator haruslah benar-benar memberi pemihakan dan atau perlindungan kepada konsumen. Dengan kata lain, kebijakan yang dikeluarkan oleh para menteri terkait haruslah inheren dan berkorelasi dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat (konsumen).
Dalam kemerosotan wibawa pemerintah yang terjadi akhirakhir ini, tentu akibat berbagai kebijakan yang tidak prokonsumen atau tidak memberikan pemihakan kepada konsumen selaku objek kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal, tanpa kebijakan yang memberi perlindungan kepada konsumen atau tanpa agenda perlindungan konsumen yang jelas, mustahil pemerintah mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen.
Kesemuanya itu dapat dibuktikan ketika kecemasan konsumen semakin memprihatinkan akhir-akhir ini. Dapat dilihat ketika kebutuhan pokok seperti beras plastik di Bekasi, terungkapnya pabrik es batu di Cakung Jakarta Timur, terbongkarnya pembuatan nata de coco yang dicampur pupuk ZA, bahan kimia berbahaya lain yang sering digunakan adalah formalin, pabrik susu di Klaten diduga menggunakan zat pewarna kimia.
Padahal bagaimanapun negara harus hadir ketika terjadi gangguan kebutuhan dasar konsumen yang berdampak pada terjadinya ketidaknyamanan konsumen. Dengan kata lain, negara harus memberi pemihakan yang jelas untuk melindungi kepentingan rakyat sebagai sebuah wujud nyata peranan negara kepada rakyatnya.
Bukan sebaliknya, sejumlah kebijakan pemerintah justru membuat rakyat negeri ini, selaku konsumen, merasa dirugikan. Atau seperti istilah para tukang ojek dan bincang-bincang di warung kopi, kebijakan pemerintah hanya membuat ”pusing kepala rakyat”. Artinya, dampak dari berbagai kebijakan pemerintah sekarang yang membuat rasa tidak puas, kekecewaan, dan kecemasan konsumen.
Akhirnya, kita semua berharap peringatan Hari Konsumen Nasional (Harkonas 2015) yang diperingati pada 20 April lalu akan menjadi titik berangkat para stakeholder untukmenghormatihak- hakkonsumen. Jikahal ini terus berlanjut, mau tak mau efek positifnya adalah berkurangnya kecemasan konsumen dalam mengonsumsi bahan makanan dan minuman.
(bbg)