Sosok Inisiator Aceh Merdeka

Minggu, 31 Mei 2015 - 10:46 WIB
Sosok Inisiator Aceh Merdeka
Sosok Inisiator Aceh Merdeka
A A A
Hasan Tiro dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) jelas dua hal yang tak terpisahkan. Tidak mungkin membahas GAM tanpa menyebut Hasan Tiro atau sebaliknya. Namun, memang harus diakui, sosok Hasan Tiro selama ini seperti misteri.

Tak banyak bahan bahasan yang bisa disajikan untuk mengulas inisiator Aceh Merdeka ini. Di sinilah letak kehebatan lelaki asal Kampung Tiro, Pidie tersebut.

Meski dia hampir tak lagi tampak secara fisik, termasuk melalui media rekam seperti televisi atau video, bahkan juga tak ada rekaman pidato yang menggelora, namun dia tetap menjadi inspirator utama perjuangan para pengikutnya selama lebih dari 30 tahun. Karisma besar pria yang secara fisik bertubuh kecil ini terlihat jelas dari bagaimana tingginya antusiasme warga Aceh menyambut kedatangannya ke tanah Aceh setelah 30 tahun bermukim di luar negeri.

Pada 11 Oktober 2008, berduyun- duyun puluhan ribu orang datang dari berbagai penjuru Aceh, termasuk daerah pedalaman. Dunia menyaksikan betapa rakyat Aceh merindukan sosok yang selama ini hanya mereka dengarkan dari bisik-bisik sangat sunyi, tentang seorang Wali Nanggroe yang memperjuangkan nasib bangsa Aceh. Dia selama ini hanya tercatat secara terbatas, jalan hidupnya hanya sepotong-sepotong tersampaikan kepada khalayak dengan hampir-hampir tanpa ada yang berani memberikan konfirmasi.

Ketekunan Murizal Hamzah, seorang jurnalis Aceh, dalam mencatat dan mengumpulkan banyak sekali informasi mengenai Dr Tengku Hasan Muhammad di Tiro, BS. M.A., LL.D. Ph.D tersebut berbuah buku, yang mungkin saat ini paling komplit menggambarkan legenda Aceh pascamasa kolonial Barat itu. Buku biografi berjudul Hasan Tiro -Jalan Panjang Menuju Damai Aceh ini banyak mengonfirmasi berbagai cerita yang selama ini hanya sekadar sebagai buah bibir saja.

Hal ini bisa dimaklumi karena dalam situasi konflik, hampir tidak mungkin secara leluasa orang membicarakan perihal pemimpin tertinggi GAM itu. Sebaliknya, menjadi kepentingan pihak aparat Indonesia untuk mengecilkan citra tokoh pemimpin kelompok yang bagi mereka adalah pemberontak ini. Berangkat dari cerita di balik proses menuju kesepakatan untuk perdamaian Aceh pasca tsunami, buku ini sedikit demi sedikit membedah siapa tokoh pendiri GAM yang pernah berkuliah di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, serta pernah menjadi aparat pemerintah Indonesia di luar negeri di awal kemerdekaan itu, dan apa saja yang terjadi di sekelilingnya.

Tentu saja, Murizal berusaha menyajikan pula apa yang melatarbelakangi pemikiran Hasan Tiro untuk meneruskan jejak pendahulunya dalam membawa Aceh terlepas dari Republik Indonesia. Bahkan juga terpapar pergolakan batin di saat dia memulai menjalankan garis ideologi yang dipercayainya. Berbagai kesaksian langsung didapatkan penulis buku dari para saksi hidup, yang meski adalah para orang-orang spesial namun sebagian besar dari mereka selama masa konflik telah berhasil menyembunyikan identitasnya.

Tak heran, buku ini menebarkan banyak nama yang tak pernah muncul ke permukaan. Buku ini juga mengungkap peran penting sejumlah orang dalam membantu perjuangan Hasan Tiro. Mengenai siapa saja pengawalnya, juga orang-orang yang secara diam-diam atau terus terang memberikan dukungan materiil dan ikut berjuang. Termasuk juga di sini dikisahkan bagaimana orang yang pernah paling dicari pemerintah Indonesia itu menyeberang ke Malaysia dan kemudian memimpin organisasinya dari luar negeri hingga tiga dekade setelahnya.

Bagian mengenai peran orang-orang biasa yang tidak biasa ini menjadi kisah yang menarik karena sekaligus menunjukkan dukungan rakyat atas perjuangan Hasan Tiro. Kisah ini antara lain seperti yang berdasarkan kesaksian seseorang bernama Abdul Gani Ahmad yang menjadi pengawal Hasan Tiro dan kemudian masih sempat bertemu kembali dengan junjungannya itu 30 tahun kemudian ketika sang Wali pulang kampung 2008 lalu.

Setidaknya dukungan itu nyata adanya di masa awal GAM itu. Ini bisa menjadi konfirmasi atas berbagai desas-desus tentang hal yang sebaliknya, yang banyak dihembuskan di masa konflik dan tak terkonfirmasi hingga saat ini. Siapa saja dan apa peran orang-orang dekat Hasan Tiro yang juga banyak dipaparkan di buku setebal total 680 halaman juga membuka khasanah baru tentang tokoh-tokoh GAM.

Tak banyak orang tahu mengenai orang-orang itu, juga apa yang sebenarnya mereka lakukan di dalam GAM. Beberapa di antaranya kini menjadi petinggi di pemerintahan Provinsi Aceh, juga berbagai kabupaten/kota di sana. Kalaupun sempat terekspos media, mereka pun hanya beberapa nama, seperti antara lain Malik Mahmud yang sempat menjadi perdana menteri GAM dan Zaini Abdullah sebagai menteri luar negerinya dan kini menjabat gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pascakonflik. Selama ini, publik hanya sebatas mengenal para panglima di lapangan,atau beberapa tokoh sipil mendukung GAM, seperti antara lain Irwandi Yusuf yang menjadi gubernur Aceh pertama di masa damai.

Buku yang diterbitkan oleh penerbit lokal Bandar Publishing ini sudah pasti akan melengkapi deretan referensi mengenai jalan panjang perjuangan rakyat Aceh dalam memperjuangkan nasibnya. Aceh memang dikenal sebagai daerah dengan sejumlah kisah dramatis, lengkap dengan tokoh-tokoh besarnya. Tidak ayal, Hasan Tiro adalah tokoh besar paling akhir hingga saat ini.

Buku ini tak hanya akan menjadi sekadar biografi seorang tokoh, namun juga rujukan bagi warga Nanggroe Aceh Darussalam dalam menemukan jejak sejarah negerinya. Bagaimanapun, apa pun penilaian yang akan muncul, sejarah memang harus dituliskan.

Husni Arifin,
Pecinta buku, pernah meliput konflik Aceh
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4521 seconds (0.1#10.140)