Dikandaskan Praperadilan Hadi Poernomo, KPK Serahkan Putusan ke MA
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan putusan praperadilan Hadi Poernomo ke Mahkamah Agung (MA). KPK manganggap MA lembaga yang tepat dalam melegitimasi putusan tersebut.
"Kami serahkan kepada yurisprudensi legitimasi (pengesahan sesuai UU yang berlaku) badan peradilan dalam hal ini MA yang sudah memutus lebih dari 300 kasus korupsi dari KPK," kata Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Jakarta, Jumat (29/5/2015).
Dia menerangkan, MA sebagai lembaga peradilan tertinggi, telah memperluas objek praperadilan dengan tidak pernah mempermasalahkan mengenai penyelidik dan penyidik independen KPK, khususnya dalam memutus perkara-perkara korupsi yang telah ditangani KPK sebelumnya. "Putusan MA telah memberikan legitimasi dan (MA) tidak persoalkan sama sekali para penyelidik independen KPK," tandasnya.
Seperti diketahui, Hakim praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo pada Selasa, 26 Mei 2015 lalu. Dalam putusannya, hakim berpendapat bahwa proses penetapan tersangka terhadap pemohon adalah tidak sah.
Putusan ini menjadi ketiga kalinya KPK harus menelan pil pahit. Pertama, kala KPK harus menerima kekalahan saat gugatan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan dikabulkan oleh PN Jaksel. Kedua, permohonan praperadilan atas tersangka mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, dikabulkan oleh hakim praperadilan PN Jaksel. Terakhir adalah putusan terkait mantan Ketua BPK, Hadi Poernomo.
Dalam putusan gugatan praperadilan Hadi Poernomo, Hakim Haswandi menilai penyidikan mantan Dirjen Pajak itu agar diberhentikan. Pasalnya dia mengacu KUHAP pasal 8 ayat (1) Tahun 1981 menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Sementara penyelidik adalah pejabat Polri yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Hal inilah dirasa kontradiktif oleh Indriyanto.
Sedangkan KPK memiliki regulasi tersendiri dalam mengangkat penyelidik dan penyidik. Hal ini termaktub dalam pasal 43 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi: "Penyelidik adalah penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi".
"Kami serahkan kepada yurisprudensi legitimasi (pengesahan sesuai UU yang berlaku) badan peradilan dalam hal ini MA yang sudah memutus lebih dari 300 kasus korupsi dari KPK," kata Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Jakarta, Jumat (29/5/2015).
Dia menerangkan, MA sebagai lembaga peradilan tertinggi, telah memperluas objek praperadilan dengan tidak pernah mempermasalahkan mengenai penyelidik dan penyidik independen KPK, khususnya dalam memutus perkara-perkara korupsi yang telah ditangani KPK sebelumnya. "Putusan MA telah memberikan legitimasi dan (MA) tidak persoalkan sama sekali para penyelidik independen KPK," tandasnya.
Seperti diketahui, Hakim praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo pada Selasa, 26 Mei 2015 lalu. Dalam putusannya, hakim berpendapat bahwa proses penetapan tersangka terhadap pemohon adalah tidak sah.
Putusan ini menjadi ketiga kalinya KPK harus menelan pil pahit. Pertama, kala KPK harus menerima kekalahan saat gugatan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan dikabulkan oleh PN Jaksel. Kedua, permohonan praperadilan atas tersangka mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, dikabulkan oleh hakim praperadilan PN Jaksel. Terakhir adalah putusan terkait mantan Ketua BPK, Hadi Poernomo.
Dalam putusan gugatan praperadilan Hadi Poernomo, Hakim Haswandi menilai penyidikan mantan Dirjen Pajak itu agar diberhentikan. Pasalnya dia mengacu KUHAP pasal 8 ayat (1) Tahun 1981 menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Sementara penyelidik adalah pejabat Polri yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Hal inilah dirasa kontradiktif oleh Indriyanto.
Sedangkan KPK memiliki regulasi tersendiri dalam mengangkat penyelidik dan penyidik. Hal ini termaktub dalam pasal 43 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi: "Penyelidik adalah penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi".
(hyk)