Cyber Arkeologi Selamatkan Karya Seni

Minggu, 24 Mei 2015 - 12:06 WIB
Cyber Arkeologi Selamatkan...
Cyber Arkeologi Selamatkan Karya Seni
A A A
Berbagai artifak bersejarah yang tak ternilai harganya telah hilang beberapa waktu ini, baik akibat kekerasan di Irak atau pun gempa bumi di Nepal.

Meski demikian, para ”cyber arkeologis” bekerja keras bersama para relawan untuk membuat Anda hanya melakukan beberapa klik untuk melihat harta karunharta karun itu, dalam detail tiga dimensi yang berwarna.

Upaya ini dimulai dari percakapan antara dua peneliti muda pada Februari lalu, beberapa hari setelah tayangan mengejutkan para militan Negara Islam yang merobohkan dan menghancurkan banyak karya seni di Museum Mosul di Irak bagian utara. Chance Coughenour dan Matthew Vincent adalah kandidat PhD yang bekerja untuk Initial Training Network for Digital Cultural Heritage (ITNDCH), proyek yang didanai Uni Eropa (UE) untuk menerapkan teknologi baru pada berbagai isu warisan budaya.

”Kami berbicara tentang kerusakan dan peluang yang ditawarkan bahwa kami menggunakan banyak sumber (crowd source ) untuk merekonstruksi gambar-gambar ini, menggunakan photogrammetry dan foto dari publik,” kata Vincent pada program Science in Action, BBC . Photogrammetry merupakan teknik populer dalam proyek warisan budaya modern, menggunakan software untuk mengubah sejumlah foto dua dimensi (2D) dari satu obyek tunggal menjadi gambar tiga dimensi (3D).

”Ini secara luar biasa menggunakan teknologi yang dapat menciptakan model 3D hanya menggunakan fotofoto dari kamera digital biasa,” papar Vincent. Dia dan mitranya menyadari, jika mereka dapat menemukan cukup fotofoto dari karya seni yang hancur, mereka dapat menyelamatkannya di dunia cyber.

Jadi, mereka membentuk Project Mosul. Orang yang pernah mengunjungi situs-situs yang sekarang hancur, dimulai dengan Mosul Museum, dapat mengirimkan foto-foto mereka. Lantas para relawan bergabung untuk membantu menyortir foto-foto itu dan mereka yang tahu cara mengoperasikan software tertentu dapat membangun kembali artifak yang hancur tersebut.

Sejauh ini, proyek tersebut telah menerima lebih dari 700 foto, termasuk 543 foto yang menunjukkan sejumlah artifak dari Mosul. Satu galeri di website menayangkan 15 artifak hasil rekonstruksi 3D, yang diselesaikan oleh sembilan relawan. ”Kami memiliki beberapa orang yang ingin belajar cara melakukan photogrammetry dan membantu kami,” papar Vincent yang menambahkan, tujuan utamanya saat ini ialah meluangkan waktu untuk mengelola dan mengembangkan platform tersebut.

Sembilan relawan telah menggunakan software pilihan mereka untuk menciptakan kembali replika artifak yang hancur dan kemudian mengunggahnya melalui platform 3D, Sketchfab. Sejauh ini artifak yang menjadi favorit di galeri itu ialah seekor singa dari Mosul Museum. Saat patung itu masih ada, patung itu menjadi subjek populer para pengunjung untuk berfoto.

Sekitar 16 foto singa itu didapatkan sehingga memungkinkan para relawan merekonstruksi artifak yang kini sudah hancur tersebut. ”Semakin banyak foto yang Anda miliki, semakin berpotensi Anda menciptakan lebih banyak poin 3D dan memiliki detailnya,” kata Vincent. Hasil ini memang tidak sama persis jika para peneliti mampu memindai artifak- artifak tersebut dengan peralatan khusus.

Meski demikian, hasil rekonstruksi para relawan ini tetap saja menghasilkan produk gambar 3D yang luar biasa menarik. ”Model-model artifak ini tidak memiliki nilai sains yang sama dibandingkan jika kita mampu melakukannya dengan kamera terkalibrasi, scan laser, dan lainnya. Tapi, model-model 3D ini tetap memiliki nilai visualisasi, mampu menampilkan bagaimana artifak itu saat masih utuh.

Kami dapat menciptakan pengalaman berada di museum, di dunia cyber,” ungkap Vincent. Dan, pengalaman itu memberikan sesuatu yang unik. Vincent memberi contoh patung singa yang memiliki desain yang dapat dilihat sepenuhnya dalam tiga dimensi. ”Jika Anda melihat relief singa itu, Anda akan mengira singa itu memiliki lima lengan. Dari sisi itu, singa memiliki empat kaki sedang bergerak; jika Anda melihatnya dari depan, singa itu sama saat masih berdiri.

Itu bagian dari sejarah seni Suriah kuno. Lalu jika Anda melihat dari dekat di samping relief singa, Anda tetap dapat melihat aksara paku,” tutur Vincent. ”Sedihnya, kita tidak akan pernah tahu dengan pasti presisi gambar digital ini karena patung aslinya sudah hilang. Kita tidak memiliki semua parameter yang kita perlukan, untuk menjelaskan pada Anda bagaimana akurasi modelmodel itu,” ujar Vincent.

Profesor Roger Matthews dari Reading University, Inggris, menilai karya ini sangat penting. Dia menekankan upaya serupa yang dilakukan setelah National Museum of Iraq dijarah saat invasi 2003. ”Tentu saja ini akan jauh lebih baik untuk tidak melakukan ini, tapi ini tindakan yang hebat, di mana orang mendapatkan pendanaan dan publik berpartisipasi untuk mewujudkannya,” ujarnya.

Dia menambahkan, penting untuk melihat artifak-artifak Mosul sebagai bagian dari gambaran besar harta yang tak ternilai harganya di kawasan itu. ”Mereka menjarah Mosul Museum, menghancurkan banyak patung dan benda lainnya. Tapi, mereka juga menghancurkan Istana Ashurnasipal II di Nimrud, yang menjadi sumber banyak objek di museum itu. Penghancuran dan penjarahan situs-situs arkeologi yang aktif seperti Nimrud sangat menyedihkan,” paparnya.

”Situs seperti Nimrud memiliki gedung-gedung tinggi yang digali, tapi juga memiliki daerah luas yang belum pernah digali dan secara ilegal dijarah. Kami hanya tidak tahu apa yang sudah diambil dari situs-situs itu,” tutur Matthews. Pekan lalu ada kekhawatiran Negara Islam akan menghancurkan kota kuno Palmyra.

Saat ini ancaman itu berkurang, tapi Vincent dan teman-temannya di banyak disiplin akademik mengkhawatirkan hilangnya rekaman fisik sejarah manusia. Melihat lebih jauh dari Proyek Mosul, Vincent khawatir upaya pelestarian digital lainnya harus dilakukan secara proaktif. Saat catatan digital dibuat maka memungkinkan untuk mencetak kembali karya itu secara fisik menggunakan mesin cetak 3D.

Syarifudin
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1055 seconds (0.1#10.140)